بسم
الله الرحمن الرحيم
Risalah Jihad (9)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang
jihad, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tentang membangun gereja
dan tempat peribadatan orang kafir
Di jazirah Arab tidak
terdapat gereja, karena bangsa Arab sebelumnya menyembah patung dan berhala.
Setelah Islam datang, maka patung dan berhala itu dimusnahkan. Oleh karena di
jazirah Arab tidak ada gereja, maka tidak boleh dibangun gereja di sana.
Pada saat perluasan
wilayah Islam dan ditaklukkan berbagai negara termasuk Romawi dan Persia yang
di sana terdapat gereja-gereja, maka gereja-gereja itu dibiarkan. Akan tetapi
tidak boleh membangun gereja yang baru. Intinya tidak boleh membangun gereja di
wilayah yang sebelumnya tidak ada gereja, apalagi di Negara Arab, dimana
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memperkenankan adanya dua agama
atau lebih di sana. Beliau bersabda,
لَأُخْرِجَنَّ الْيَهُودَ، وَالنَّصَارَى مِنْ جَزِيرَةِ
الْعَرَبِ حَتَّى لَا أَدَعَ إِلَّا مُسْلِمًا
“Aku
akan keluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari jazirah Arab sehingga tidak
aku biarkan selain orang muslim saja.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian,
membangun gereja termasuk mengakui kemungkaran. Larangan ini berlaku untuk
semua negara-negara Islam, karena bangunan-bangunan yang dilakukan di dalamnya
peribadatan kepada selain Allah Ta’ala adalah hal yang munkar, sedangkan Allah
Ta’ala berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Janganlah
kalian tolong-menolong di atas dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 3)
Jika seorang berkata,
“Mengapa kalian melarang pembangunan gereja di negeri Islam, padahal negeri
kafir saja tidak melarang pembangunan masjid di negerinya?”
Jawab, “Jika mereka
mengakui pembangunan masjid di negeri mereka, maka sesungguhnya sikap mereka
itu mengakui kebenaran. Adapun jika kami mengakui pembangunan gereja di negeri
kami, maka sama saja kami mengakui kebatilan. Sudah barang tentu, orang yang
ridha dengan kebenaran dan mengingkari kebatilan bukanlah dipandang zalim atau
tidak adil. Kalau seandainya agama mereka benar, tentu termasuk zalim jika kita
melarang mereka membangun tempat peribadatan mereka di wilayah kita, akan
tetapi karena agama mereka batil, maka tidak boleh mengakuinya, sedangkan Allah
Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ
يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang
siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali Imran: 85)
Jika suatu negeri
ditaklukkan, dan di negeri itu terdapat gereja-gereja, lalu negeri itu berubah
menjadi negeri Islam, maka gereja, sinagog, atau tempat peribadatan itu
tidaklah dihancurkan, karena yang dilarang adalah membangun tempat peribadatan
yang sebelumnya tidak ada. Tetapi jika ada gereja yang roboh karena termakan
usia, maka tidak boleh bagi kita membangunnya kembali. Kecuali jika ada gereja
yang dirobohkan secara zalim, maka mereka boleh memperbaharui bangunannya
selama kita tidak mengetahui adanya upaya tipu daya dari mereka meskipun
pendapat yang masyhur di kalangan ulama madzhab Hanbali adalah tidak boleh
membangun kembali gereja yang telah roboh meskipun secara zalim (dirobohkan).
Tetapi pendapat sebelumnya menurut Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah lebih
tepat.
Yang membatalkan akad
dzimmah
Jika terjadi tindakan
pelecehan terhadap agama Islam, misalnya orang kafir dzimmi itu masuk masjid
dan mengotorinya dengan buang air di dalamnya, maka karena sebab ini darah dan
hartanya menjadi halal. Demikian pula ketika ia mencaci-maki Allah dan
Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, atau mencela Islam, atau menampakkan
syiar-syiar kekafiran di negeri Islam, atau memperkosa wanita muslimah, maka
darah dan hartanya menjadi halal. Hal itu, karena kafir dzimmi diharuskan
mengikuti hukum-hukum Islam. Jika ia tidak mau mengikutinya, maka akad
dzimmahnya pun batal, dan ketika batal akad dzimmahnya, maka ia menjadi kafir
harbi, sedangkan kafir harbi halal darah dan hartanya. Oleh karena itu, jika
salah seorang kaum muslimin melihat seorang kafir dzimmi buang air di dalam
masjid atau menodai kehormatan Islam, lalu ia mendatanginya dan membunuhnya,
maka ketika itu darah kafir dzimmi itu sia-sia. Meskipun demikian, orang muslim
yang membunuhnya perlu diberi adab atau sanksi, karena ia telah masuk ke dalam
wilayah ulil amri (pemerintah) dan bukan haknya memberikan hukuman. Dan hukuman
terhadap orang-orang yang melanggar perjanjian bukan dikembalikan kepada
rakyat, tetapi dikembalikan kepada pihak berwenang (pemerintah).
Tindakan membunuh kafir
dzimmiy yang membatalkan perjanjian ini sebenarnya tidak ada sanksi dari sisi
Allah, namun ada sanksi adab dari pihak ulil amri (ta’zir).
Singkatnya, di antara
hal yang menjadikan akad dzimmah batal adalah enggan membayar jizyah, tidak
mengikuti hukum-hukum Islam (secara lahiriah) yang merupakan syarat dalam akad,
menzalimi kaum muslimin baik dengan membunuh, membegal, mencari-cari aib,
melindungi mata-mata, atau memperkosa wanita muslimah. Demikian pula yang
menjadikan akad dzimmah mereka batal adalah ketika mereka menyebut atau
menuliskan buruk tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu
alaihi wa sallam.
Jika kafir dzimmi itu
membatalkan akad dzimmah, maka halal darah dan harta mereka, tidak termasuk
istri dan anak mereka, karena seseorang tidaklah dihukum karena dosa orang
lain.
Ghanimah
Ghanimah adalah harta
yang diambil dari orang-orang kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin).
Harta yang diambil dari
orang-orang kafir itu ada yang berupa kharaj (pajak dari hasil tanah), fai
(tanpa melalui peperangan), dan ghanimah (melalui peperangan).
Ghanimah meliputi harta,
adapun tanah ada hukum khusus tentangnya. Termasuk ghanimah juga adalah
anak-anak dan wanita, karena mereka akan menjadi budak, dan ketika menjadi
budak, tentu mereka menjadi milik kaum muslimin yang kemudian dibagikan antar
mereka.
Harta ghanimah itu untuk
mereka yang hadir dalam perang itu dengan maksud berperang, baik ia menyerang
maupun tidak, karena hal itu termasuk membantu para penyerang dan siap
berperang sehingga seperti prajurit yang berperang. Di samping itu, hal ini
juga berdasarkan pernyataan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, bahwa
ghanimah itu untuk orang yang hadir dalam perang (sebagaimana disebutkan oleh
Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf dan Baihaqi).
Cara Membagikan Ghanimah
(Harta Rampasan Perang)
Ghanimah dibuat 5
bagian, seperlima daripadanya diberikan untuk Allah dan Rasul-Nya shallalahu
alaihi wa sallam (untuk maslahat umum)[i], kerabat Rasul shallallahu
alaihi wa sallam, anak yatim, orang-orang miskin, dan Ibnussabil. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ
لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
وَابْنِ السَّبِيلِ
“Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, dan ibnussabil.”[ii] (Qs. Al Anfaal: 41)
Selanjutnya 4/5 lagi
dibagikan kepada seluruh prajurit; satu bagian untuk pejalan kaki, tiga bagian
untuk penunggang kuda (dua bagian untuk kuda, dan satu bagian untuknya), karena
Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan tiga bagian untuk penunggang kuda;
dua bagian untuk kudanya, dan satu bagian untuknya, sebagaimana disebutkan
dalam hadits yang shahih. Jadi, jika mereka berjumlah 40 orang; 10 orang di
antaranya penunggang kuda, sedangkan 30 orang pejalan kaki, maka totalnya
adalah 60; 30 untuk penunggang kuda, dan 30 untuk pejalan kaki.
Menurut Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah, bahwa di zaman kita sekarang, karena berperang biasanya
tidak menaiki kuda, maka zhahirnya –wallahu a’lam- bahwa apa saja yang bisa
disamakan dengan kuda seperti peralatan tempur misalnya roket dan jet-jet
tempur, maka dihukumi seperti kuda. Sedangkan tank dan mobil seperti unta.
Penyusun Tamamul
Minnah menyatakan, penunggang kuda
di zaman sekarang seperti yang menaiki pesawat, penunggang unta seperti orang
yang menaiki tank dan kendaraan, maka mereka memperoleh tiga bagian; sedangkan
pejalan kaki memperoleh satu bagian.
Jika seorang bertanya,
“Bukankah pesawat dan tank adalah milik pemerintah?” Jawab, “Ya. Untuk
kendaraan perang tersebut memperoleh dua bagian yang dikembalikan kepada Baitul
Mal (perbendaharaan negara), kecuali jika pemerintah memandang perlu memberikan
kepada pengendali pesawat, maka tidak mengapa.” (Lihat Tamamul Minnah
hal. 424)
Pembagian ini harus
adil, dan tidak ada yang dilebihkan. Tetapi jika ada orang yang dikenal
memiliki jasa karena kemampuan yang dimilikinya, maka tidak mengapa diberikan
lebih dari yang ditentukan sebagai bentuk motivasi.
Pembagian ghanimah ini
bisa dilakukan oleh wakilnya.
Demikian juga boleh
menyatakan, “Siapa saja yang dapat menunjukkan kepada kami benteng musuh, tapal
batasnya, atau tempat persembunyiannya, maka dia akan memperoleh ghanimah
sekian dan sekian.” Hal ini boleh karena seperti hadiah dalam perlombaan,
apalagi di dalamnya terdapat motivasi untuk berperang dan bersiap-siap untuk
menghadapinya. Hal ini disebut juga nafl.
Syaikh Abu Bakar Al
Jazairiy berkata, “Nafl adalah imbalan yang diberikan imam bagi orang yang
diminta mengerjakan tugas penting dalam perang, dimana imam memberikan lebih
dari saham ghanimah yang diberikan kepada para prajurit setelah dikeluarkan
khumusnya. Tentunya jumlah nafl ini tidak lebih dari ¼ jika pengutusan mereka
di saat memasuki negeri musuh, dan tidak lebih 1/3 jika sepulang mereka dari
negeri musuh. Hal ini berdasarkan pernyataan Habib bin Maslamah, “Aku hadir
ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan nafl ¼ di awal dan 1/3
setelah pulang.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Syaikh Sayyid Sabiq
berkata, “Boleh bagi imam menambahkan bagian bagi sebagian prajurit seukuran
1/3 atau ¼ , dan bahwa tambahan itu dari ghanimah itu sendiri. Jika ia berhasil
memukul mundur musuh sehingga ia berhak memperoleh tambahan itu. Inilah madzhab
Ahmad dan Abu Ubaid[iii].”
Alasannya hadits Habib
bin Maslamah di atas. Bahkan Salamah bin Akwa pernah diberikan lima bagian pada
sebagian perang yang dilakukannya, yaitu bagian pejalan kaki dan penunggang
kuda, sehingga ia memperoleh lima bagian karena perannya yang begitu besar dalam
perang tersebut.
Salab adalah sesuatu yang ditemukan pada musuh
berupa senjata dan perlengkapan perang. Termasuk pula perhiasan perangnya.
Adapun jika berupa mutiara, uang, atau benda-benda mulia dan berharga lainnya,
maka itu bukan salb, tetapi ghanimah. Terkadang komandan pasukan memberikan
motivasi kepada pasukan untuk mengambil salab musuh yang tewas, serta
mendahulukannya kepada pembunuhnya bukan kepada pasukan yang lain. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam telah memutuskan bahwa salab untuk pembunuhnya,
dan tidak membaginya dalam khumus.
Dari Salamah bin Akwa ia
berkata, “Salah seorang mata-mata kaum musyrik pernah datang kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam ketika Beliau sedang safar, lalu Beliau duduk
bersama para sahabatnya berbincang-bincang, kemudian mata-mata itu menghilang,
maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Carilah dia dan bunuhlah.”
Salamah berkata, “Aku pun membunuhnya, lalu salabnya diberikan Beliau
kepadaku.”
Dan diharamkan melakukan
ghulul, yakni menyembunyikan sebagian harta yang dirampas oleh prajurit, karena
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ
يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak
mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang
siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari Kiamat
ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (Qs. Ali Imran: 161)
Pelaku ghulul harus
diberi hukuman ta’zir (hukuman di luar hudud) sesuai pandangan imam agar
membuatnya jera.
Jika harta ghanimah
berupa tanah, maka imam memberikan pilihan antara membagikannya kepada mereka
yang berhak mendapatkan ghanimah atau mewaqafkannya untuk maslahat kaum
muslimin dengan cara diambil hasilnya (pajaknya) terus-menerus dari orang yang
mengurusnya.
Catatan:
Pasukan besar ikut serta
dengan pasukan kecil dalam ghanimah. Ketika imam mengirimkan pasukan kecil yang
diambil dari pasukan besar, lalu pasukan kecil memperoleh ghanimah, maka
ghanimah itu dibagikan untuk seluruh pasukan; tidak hanya pasukan kecil saja.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan), Mudzakkiratul
Fiqh (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah (Adil bin
Yusuf Al Azzazi), Mujmal Masa’ilil Iman Al Ilmiyyah (Lima murid Syaikh Al
Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Contohnya untuk
membangun masjid, memperbaiki jalan, membangun sekolah, mencetak buku-buku
agama, gaji para guru, imam, dan muazin.
[ii] Yang dimaksud dengan rampasan perang (ghanimah) adalah
harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, sedang
yang diperoleh tidak dengan pertempuran dinamakan fa'i. Pembagian dalam ayat
ini berhubungan dengan ghanimah saja. Fa'i dibahas dalam surat al-Hasyr.
Maksud ayat di atas adalah,
bahwa seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan Rasul-Nya. b.
Kerabat Rasul (Bani Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir-miskin. e.
Ibnussabil. Sedangkan empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang
ikut berperang.
[iii] Menurut Imam Malik,
bahwa nafl ini dari khumus yang wajib untuk Baitul Mal. Namun Imam Syafi’i
berpendapat, bahwa itu diambil dari khumus(seperlima)nya seperlima, yakni
bagian imam.
0 komentar:
Posting Komentar