بسم
الله الرحمن الرحيم
Risalah Jihad (5)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang
jihad, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pemberian keamanan
Pemberian keamanan
terbagi dua:
Pertama, keamanan secara umum, yaitu keamanan yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk sebuah kelompok yang tidak ditentukan,
misalnya imam mengadakan akad keamanan dengan negeri musuh. Termasuk dalam hal
ini akad hudnah (genjatan senjata)
Kedua, keamanan secara khusus, yaitu keamanan
untuk seseorang atau sekumpulan orang tertentu (menurut sebagian ulama bahwa
jumlahnya tidak lebih dari 10 orang)
Keamanan ini boleh
dilakukan oleh perorangan kaum muslimin baik laki-laki maupun wanita.
Keamanan akan berakhir
karena: (1) waktu yang ditentukan habis jika ditentukan waktunya, (2) imam mengembalikan
(membatalkan) perjanjian jika khawatir musuh berkhianat (lihat Qs. Al Anfal
ayat 58), (3) ketika musuh meminta dibatalkan perjanjian.
Catatan:
Disyaratkan untuk
memberikan keamanan tidak menimpakan bahaya kepada kaum muslimin, baik ada
maslahat di balik itu maupun tidak. Ini adalah pendapat ulama madzhab Syafi’i
dan Hanbali. Oleh karena itu, tIdak boleh memberikan keamanan kepada mata-mata
karena berbahaya bagi kaum muslimin.
Ulama madzhab Hanafi dan
Maliki berpendapat, bahwa untuk memberikan keamanan disyaratkan harus ada
maslahat untuk kaum muslimin, yakni bukan hanya tidak ada bahaya, tetapi ada
manfaat atau maslahat yang dihasilkan.
Catatan:
1. Akad aman berlaku
meskipun secara tampilan tidak jelas selama adat yang berlaku menyatakan bahwa
hal itu merupakan bentuk pemberian keamanan. Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata, “Barang siapa yang berkata kepada orang kafir ‘Engkau aman’, atau
‘tidak mengapa bagimu’, atau ‘aku lindungi dirimu’, atau ‘berdirilah’, atau
‘tarulah senjatamu’, atau ‘engkau telah terperisai’ maka berarti ia telah
mengamankannya.”
Syaikh Al Azzazi
berkata, “Termasuk pula orang-orang yang masuk ke negeri kaum muslimin dengan
visa masuk, surat izin bekerja, atau surat izin tinggal, dsb.” (Tamamul
Minnah hal. 412-413)
2. Akad kemanan juga
berlaku dalam hal yang secara adat yang berlaku, bahwa hal itu merupakan
keamanan meskipun tanpa ada akad.
Ibnu Qudamah
rahimahullah berkata, “Barang siapa yang masuk negeri Islam tanpa keamanan,
namun mengaku bahwa dia utusan atau pedagang dengan membawa barang, maka
diterima daripadanya.” (Al Muqni’ 1/518-519)
3. Semua yang ikut
dengan musta’min (orang kafir yang mendapatkan keamanan) dan tidak berpisah
darinya, seperti anak-anaknya yang belum baligh, maka tidak perlu mengadakan
akad keamanan terhadap mereka.
4. Kemanan juga berlaku
meskipun maksud kita bukan ‘pemberian keamanan’ ketika orang kafir harbi itu
menafsirkan hal itu sebagai bentuk keamanan.
Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Apabila diisyaratkan kepada orang kafir sesuatu yang bukan merupakan
keamanan, tetapi ia mengiranya sebagai keamanan, maka itu adalah bentuk
keamanan. Dan segala sesuatu yang disangka orang kafir sebagai bentuk keamanan,
maka itu adalah pemberian keamanan.” (Al Muqni 1/517)
Kafir Mu’ahad dan kafir
Musta’man
Kafir mu’ahad adalah orang kafir yang mengadakan
perjanjian dengan kita kaum muslimin, dan bukan akad dzimmah, karena akad
dzimmah menghendaki pelakunya mengikuti hukum-hukum Islam, dan kaum muslimin
memberikan perlindungan kepada mereka. Adapun kafir mu’ahad, maka ia tidak
harus mengikuti hukum-hukum Islam, ia juga tinggal di negerinya; bukan negeri
Islam. Akan tetapi kaum muslimin tidak memeranginya. Dan jika ada bangsa lain
yang memeranginya, maka kaum muslimin tidak bertanggung jawab terhadapnya. Contohnya
adalah perjanjian yang terjadi antara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
dengan kaum musyrik Mekkah, yaitu
perjanjian Hudaibiyah, dimana jangka waktunya 10 tahun.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا
إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Kecuali
orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan
mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula)
mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.”
(Qs. At Taubah: 4)
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
نَسْتَعِينُ اللَّهَ عَلَيْهِمْ، وَنَفِي بِعَهْدِهِمْ
“Kita
meminta pertolongan kepada Allah terhadap mereka dan kita penuhi perjanjian
dengan mereka.” (Hr. Hakim, dan dishahihkan oleh Adz Dzahabi)
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam melarang membunuh kafir mu’ahad, Beliau bersabda,
«مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ
رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا»
“Barang
siapa yang membunuh kafir yang telah terikat perjanjian, maka ia tidak mencium
wanginya surga, padahal wanginya dapat tercium sejauh perjalanan empat puluh
tahun.” (Hr. Bukhari)
Maksud “kafir yang telah
terikat perjanjian” meliputi kafir dzimmi dan kafir mu’ahad.
Beliau juga bersabda,
إِنِّي لَا أَخِيسُ بِالْعَهْدِ وَلَا أَحْبِسُ
الْبُرُدَ،
“Sesungguhnya
aku tidak melanggar perjanjian dan tidak akan menahan utusan.” (Hr. Abu Dawud
dan lain-lain, dishahihkan oleh Al Albani)
Kafir musta’min adalah orang kafir yang meminta keamanan
saat memasuki negeri Islam. Jika masuknya ke negeri Islam untuk mengenal Islam,
maka kita harus memberinya kesempatan untuk itu, karena Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ
فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan
jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah
ia ke tempat yang aman baginya. Hal itu karena mereka kaum yang tidak
mengetahui.” (Qs. At Taubah: 6)
Dan jika ia meminta
keamanan masuk ke negeri Islam dengan maksud bisnis dan jual-beli, maka boleh
kita berikan, namun tidak wajib.
Singkatnya, bahwa boleh
hukumnya memberikan keamanan kepada seorang kafir jika ia tidak menimpakan
bahaya kepada kaum muslimin, berdasarkan ayat di atas. Dan sebagian ulama
mensyaratkan di samping tidak membahayakan adalah adanya maslahat.
Hal ini bisa dilakukan
oleh setiap muslim laki-laki maupun wanita sebagaimana yang dilakukan Ummu Hani
binti Abi Thalib saat ia memberikan keamanan kepada salah seorang dari kaum
musyrik pada saat Fathu (penaklukkan) Mekkah, lalu Ummu Hani menyampaikan hal
itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, “Kami
lindungi orang yang engkau lindungi dan kami amankan orang yang engkau amankan
wahai Ummu Hani.” (Hr. Bukhari)
Bolehkah kafir musta’min
(mendapatkan kemanan) masuk ke tanah haram (suci) Mekkah dan ke Masjidil haram?
Ulama madzhab Syafi’I
dan Hanbali berpendapat, bahwa non muslim tidak boleh masuk ke Mekkah
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ
نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
“Wahai
orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka
janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini (9 H).” (Qs. At Taubah: 28)
Maksud Masjidilharam di
ayat ini adalah tanah haram (suci) Mekkah. Mereka (ulama madzhab Syafi’i dan
Hanbali) juga berpendapat bahwa non muslim tidak boleh masuk ke Hijaz dan
tinggal di sana. Hal ini berdasarkan hadits Umar radhiyallahu anhu bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
«لَئِنْ عِشْتُ، إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَأُخْرِجَنَّ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى
مِنْ جَزِيرَةِ العَرَبِ فَلَا أَتْرُكُ فِيهَا إِلَّا مُسْلِمًا
“Jika
aku masih hidup, maka aku akan keluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari
jazirah Arab dan tidak aku biarkan selain seorang muslim.” (Hr. Muslim, Abu
Dawud, dan Tirmidzi)
Yang dimaksud hadits ini
adalah Hijaz saja (Mekkah, Madinah, Yamamah dan sekitarnya) bukan Yaman
meskipun Yaman bagian dari Jazirah Arab, karena Umar radhiyallahu anhu pernah
mengusir mereka dari Hijaz; bukan Yaman.
Ulama madzhab Maliki
berpendapat bolehnya non muslim masuk ke Mekkah; tetapi tidak masuk ke
Baitulharam. Namun dengan syarat lamanya tinggal di Mekkah selama tiga hari,
dan boleh lebih jika ada maslahatnya menurut imam. Mereka juga berpendapat,
bahwa non muslim tidak boleh tinggal menetap di Jazirah Arab, dan mereka
menafsirkan jazirah Arab dengan Hijaz dan Yaman.
Adapun ulama madzhab
Hanafi berpendapat, bahwa boleh bagi non muslim masuk ke tempat mana saja di
negeri Islam sekalipun Mekkah dan Masjidilharam selama dalam masa musafir
menetap, yaitu tiga hari. Mereka berpendapat, bahwa maksud ayat di atas adalah
dilarangnya bagi mereka melakukan haji atau umrah ke Baitulharam sebagaimana
yang dilakukan kaum Jahiliyyah.
Yang rajih (kuat) menurut
penyusun kitab Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab was Sunnah adalah pendapat
ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali, wallahu a’lam. (Lihat Tamamul
Minnah hal. 411-412)
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan), Mudzakkiratul
Fiqh (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah (Adil bin
Yusuf Al Azzazi), Mujmal Masa’ilil Iman Al Ilmiyyah (Lima murid Syaikh Al
Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar