بسم
الله الرحمن الرحيم
Risalah Jihad (10)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang
jihad, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Orang yang tidak berhak
memperoleh ghanimah
Syarat memperoleh
ghanimah adalah baligh, berakal, laki-laki, dan merdeka. Jika syarat ini tidak
ada, maka ia tidak berhak memperoleh ghanimah, meskipun ia boleh diberikan
bagian namun bukan saham ghanimah.
Sa’id bin Musayyib
berkata, “Dahulu generasi pertama umat ini, yaitu kalangan anak-anak dan budak
diberikan bagian dari ghanimah (sekedarnya) ketika mereka hadir peperangan.”
Ummu Athiyyah berkata,
“Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu
kami obati orang yang terluka dan kami rawat orang yang sakit, dan Beliau
membagi sekedarnya untuk kami dari ghanimah itu.”
Tentang Fai’
Adapun harta yang
ditinggalkan kaum kafir karena takut kepada kaum muslimin serta harta yang
tidak memiliki ahli waris, seperlimanya adalah bagian untuk Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, dimana harta itu disebut fai’ yang kemudian
dialihkan untuk kepentingan kaum muslimin. Seperlima lagi untuk kerabat
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (Bani Hasyim dan Bani Muthalib),
seperlima untuk anak-anak yatim, seperlima untuk orang miskin, dan seperlima lagi
untuk Ibnus Sabil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ
فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ
رُسُلَهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ -- مَا أَفَاءَ
اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ
الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor
kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan
kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu.--Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan
Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota
maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukumannya.” (Qs. Al Hasyr: 6-7)
Imam Al Qurthubi rahimahullah
berkata, “Pembagiannya tergantung pandangan dan ijtihad imam, ia boleh
mengambil tanpa batasan tertentu, lalu ia berikan kepada kerabat sesuai
ijtihadnya, sisanya dialihkan untuk maslahat kaum muslimin. Inilah yang
dipegang oleh khalifah yang empat dan yang mereka amalkan. Hal ini juga
ditunjukkan oleh sabda Rasululah shallallahu alaihi wa sallam, “Hartaku dari
harta fai yang Allah berikan hanyalah seperlima, dan seperlima itu juga
dikembalikan kepada kalian.”
Beliau tidak membagi
lima atau tiga bagian, disebutkan dalam ayat di atas hal tersebut adalah untuk
mengingatkan mereka, bahwa pihak-pihak itu lebih berhak diberikan.”
Az Zuzaj juga berdalih
untuk menguatkan pendapat Imam Malik dengan firman Allah Ta’ala,
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ
مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ
Mereka bertanya tentang
apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Apa saja harta yang kamu nafkahkan
hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." (Qs. Al Baqarah: 215)
Ia (Az Zujaj)
menyatakan, seseorang sudah barang tentu boleh berinfak kepada selain yang
disebutkan jika ia memandang perlu.
Nasa’i meriwayatkan dari
Atha, ia berkata, “Seperlima untuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa
sallam itu jadi satu. Ketika itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
membawa daripadanya, memberikan, dan menempatkan di mana saja yang Beliau
kehendaki, serta berbuat sesuai yang Beliau kehendaki.”
Umar bin Khaththab
radhiyallahu anhu berkata, “Harta Bani Nadhir termasuk fai yang Allah berikan
kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, dan itu khusus untuk Beliau,
lalu Beliau mengeluarkannya untuk nafkah keluarganya selama setahun, sisanya
Beliau jadikan untuk kurra’ (hewan yang terdiri dari kuda, bighal, dan keledai)
serta untuk senjata.” (Hr. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i)
Saat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam wafat, maka fai dialihkan untuk maslahat kaum
muslimin secara umum, baik harta itu bisa dipindah maupun harta yang tidak bisa
dipindah. Ini adalah madzhab jumhur (mayoritas) ulama, namun ulama madzhab
Syafi’i membedakan antara benda yang bisa dipindah dan benda yang tidak bisa
dipindah. Menurut mereka (ulama madzhab Syafi’i), bahwa benda yang tidak dapat
dipindah (aqar) untuk maslahat kaum muslimin, sedangkan yang dapat dipindah,
maka dibuat khumus seperti ghanimah, yaitu dengan menjadikan lima bagian;
bagian untuk Rasul shallallahu alaihi wa sallam (sekarang untuk maslahat kaum
muslimin), bagian untuk kerabat Rasul (Bani Hasyim dan Bani Muthalib), bagian
untuk anak yatim, bagian untuk orang-orang miskin, dan bagian untuk Ibnussabil.
(Lihat Tamamul Minnah hal. 421-422).
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah menyatakan, jika beberapa orang mendatangi orang-orang kafir,
memata-matai mereka lalu mengambil harta mereka, maka harta itu menjadi fai
yang diberikan kepada orang yang mengambilnya. Demikian juga ketika ada seorang
dari kaum muslimin yang wafat tanpa meninggalkan ahli waris, serta
perkara-perkara yang tidak jelas lainnya, yakni yang tidak diketahui untuk
siapa harta itu, maka sebagai fai yang diberikan kepada Baitul Mal, dan
dialihkan untuk kepentingan kaum muslimin. (Mudzakkiratul Fiqh hal.
158-159)
Tawanan Perang
Terhadap tawanan perang,
seorang imam diberikan pilihan antara membunuhnya, menebusnya dengan harta atau
dengan tawanan muslim, atau menjadikannya budak. Dan boleh juga membebaskannya
tanpa tebusan. Ini semua tergantung maslahat. Allah Subhaanahu wa Ta’ala
berfirman,
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ
الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ
وَإِمَّا فِدَاءً
“Apabila
kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang
leher mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah
mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan.” (Qs. Muhammad: 4)
Negeri Islam dan Negeri
Kufur
Imam Bukhari
meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apabila hendak menyerang suatu kaum
tidak menyerangnya sampai tiba waktu Subuh. Jika Beliau mendengar suara azan,
maka Beliau menahan diri, dan jika tidak mendengar azan, maka Beliau
menyerangnya setelah Subuh.
Imam Al Qurthubi
berkata, “Azan adalah tanda yang membedakan antara negeri Islam dan negeri
kufur.”
Imam Al Khaththabi
berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil, bahwa azan merupakan syiar
Islam, dan tidak boleh ditinggalkan. Jika suatu daerah sepakat meninggalkannya,
maka penguasa berhak memeranginya.”
Al Qadhi Abu Ya’la Al
Hanbali berkata, “Setiap wilayah yang dominan hukum-hukum kufur di sana bukan
hukum-hukum Islam berarti negeri kufur.”
Abu Yusuf berkata,
“Negeri Islam berubah menjadi negeri kufur disebabkan karena dominannya
hukum-hukum kufur di dalamnya.”
Ad Dasuqi berkata,
“Negeri Islam tidaklah berubah menjadi negeri kufur karena pemerintahan
dipimpin oleh orang-orang kafir, tetapi hingga terputus penegakkan syiar-syiar
Islam di dalamnya.”
Sebagian ulama berkata,
“Negeri syirik (kufur) adalah negeri yang di sana syiar-syiar kekufuran tegak,
dan tidak ditegakkan syiar-syiar Islam seperti azan, shalat berjamaah, shalat
hari raya, shalat Jum’at dan sebagainya secara menyeluruh. Kita katakan secara
menyeluruh untuk menerangkan, bahwa tidak termasuk di dalamnya negeri-negeri
yang di dalamnya ditegakkan syiar-syiar namun terbatas, seperti negeri
orang-orang kafir yang terdapat orang muslim namun sedikit. Sedangkan pada
negeri Islam ditegakkan syiar-syiar itu secara umum dan menyeluruh.”
Bolehkah membunuh orang
asing yang ada di negeri Islam?
Dr. Sayyid Husain Al
Affani berkata, “Sesungguhnya orang-orang asing itu, baik sebagai wisatawan,
dokter, peneliti atau lainnya datang ke negeri kaum muslimin dengan membawa
lebih dari pernyataan keamanan; bukan hanya satu keamanan. Mereka masuk membawa
paspor yang sah dan surat izin, atau yang sekarang disebut visa. Bahkan sebagian
mereka seperti para peneliti, para dokter, para ilmuan, dan para pedagang telah
membawa surat izin bekerja, atau surat izin tinggal, atau undangan kunjungan.
Itu semua adalah bentuk yang sah, jelas, dan tertulis sebagai bentuk keamanan.
Oleh karena itu, membunuh mereka adalah kesalahan yang sya’i dan fatal,
menumpahkan darah dengan tanpa alasan yang dibenarkan, serta tanpa ada
ketetapan syariat, sehingga setiap muslim yang berpegang dengan syariat Allah
harus menahan diri terhadap hal itu, serta mengingatkan yang lain, dan
mengingkari pelakunya dengan berbagai cara pengingkaran yang bisa dilakukan.” (Fursanun
Nahar karya Dr. Sayyid Husain Al Affani)
Shulh (Perjanjian Damai)
Kaum muslimin boleh
mengadakan shulh dengan musuh mereka jika mereka butuh melakukannya, dan
tentunya shulh itu menghasilkan faedah bagi mereka yang tidak diperoleh tanpa
shulh. Hal itu, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan shulh
dengan penduduk Mekkah dengan nama Shulh Hudaibiyah, sebagaimana Beliau juga
melakukan shulh dengan penduduk Najran dengan syarat mereka memberikan harta
yang telah ditentukan, dan Beliau juga melakukan shulh dengan penduduk Bahrain
dengan syarat mereka membayar jizyah dalam jumlah tertentu, dan Beliau juga
melakukan shulh dengan Ukaidar Daumah (orang Arab Ghassan), lalu Beliau jaga
darahnya dengan syarat ia membayar jizyah.
Jika seorang imam
mengadakan shulh dengan musuh dengan syarat mereka mengeluarkan pajak dalam
jumlah tertentu dari tanah itu, lalu penduduknya masuk Islam, maka pajak itu
gugur karena masuk Islamnya mereka, kecuali jika suatu daerah ditaklukkan
secara paksa (seperti dengan perang; bukan damai dan genjatan senjata), maka
meskipun penduduknya masuk Islam, pajak tetap terhadap tanah itu tetap berlangsung.
(Minhajul Muslim hal. 278).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan), Mudzakkiratul
Fiqh (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah (Adil bin
Yusuf Al Azzazi), Mujmal Masa’ilil Iman Al Ilmiyyah (Lima murid Syaikh Al
Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar