بسم
الله الرحمن الرحيم
Risalah Jihad (8)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang
jihad, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bagaimana bermuamalah
dengan kafir dzimmi (orang kafir yang melakukan akad dzimmah)?
Bermuamalah dengan kafir
dzimmi sama seperti bermuamalah dengan orang-orang kafir lainnya selain kafir
harbi, yaitu dengan memberikan haknya dan menuntut dari mereka kewajibannya,
dan tidak diperbolehkan memulai salam kepada mereka karena Nabi shallallahu
alaihi wa sallam melarang hal tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ، فَإِذَا
لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ، فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ»
“Janganlah
kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian
menjumpai mereka di jalan, maka desaklah ke bagian paling sempit.” (Hr. Muslim,
Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Maksud sabda Beliau “Jika
kalian menjumpai mereka di jalan, maka desaklah ke bagian paling sempit,”
adalah jangan memberikan kesempatan kepada mereka ketika kita berjalan lalu
ditemui oleh kafir dzimmi, bahkan kita tetap di jalan kita sehingga membuat
mereka berada di jalan bagian yang sempit, yakni tetaplah berjalan di tengah
meskipun berhadapan dengan kafir dzimmiy agar mereka terpaksa ke pinggirnya, wallahu
a’lam.
Demikian juga
sebagaimana kita tidak diperbolehkan memulai salam kepada mereka, kita juga
tidak diperbolehkan mengucapkan kalimat-kalimat selamat terhadap kedatangan mereka,
seperti “Ahlan wa Sahlan wa Marhaban” (selamat datang), karena yang
demikian sama saja memuliakan mereka, dan itu tidak diperbolehkan.
Tetapi jika mereka
memulai salam kepada kita, maka kita jawab, akan tetapi cukup menjawabnya
dengan kalimat “Wa alaikum” karena ucapan salam mereka terkadang disamarkan
yang maksud mereka adalah “As Saam” (kematian). Pernah suatu ketika orang
Yahudi datang, saat itu ada Aisyah radhiyallahu anha, lalu orang Yahudi itu
mengatakan “As Saamu alaikum” (artinya: kematian atasmu), lalu Aisyah menjawab,
“Alaikumus sam wal la’nah” (artinya: atasmu juga kematian dan laknat), maka
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah setelah melarang
hal itu,
َإِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْفُحْشَ وَالتَّفَحُّشَ
وَإِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak menyukai berkata keji dan berbuat keji. Jika orang-orang Ahli Kitab
mengucapkan salam kepadamu, maka ucapkanlah “Wa alaikum” (demikian pula
atasmu).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam juga menerangkan, bahwa doa buruk mereka untuk kita tidaklah
dikabulkan, sedangkan doa kita untuk mereka dikabulkan.
Singkatnya, tidak
diperbolehkan memuliakan mereka,
menempatkan mereka di depan dalam majlis, dan mengangkat mereka sebagai
pemimpin terhadap kaum muslimin, karena hal itu sama saja merendahkan kaum
muslimin, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلًا
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
menguasai orang-orang yang beriman.” (Qs. An Nisaa’: 141)
Jika orang kafir dzimmi
itu sebagai insinyur, lalu kita jadikan sebagai kepala proyek maka tidak
mengapa, karena kita tidak menjadikannya sebagai pemimpin bagi kaum muslimin
tetapi sekedar kepala terhadap suatu pekerjaan yang kaum muslimin tidak mampu,
karena pada hakikatnya ia ditugaskan untuk mengerjakan suatu proyek. Oleh
karena itu, ketika orang kafir itu berkata kepada seorang muslim, “Tolong
bawakan alat ini atau alat itu” bukan maksudnya menjadikan orang muslim sebagai
pelayannya, tetapi hanya untuk membantu pekerjaannya. Akan tetapi jika orang kafir
itu berkata, “Bawakan untuk saya makanan,” maka ia jangan menaatinya.
Disyaratkan juga tidak
mengangkat mereka sebagai pegawai kecuali jika sangat dibutuhkan sekali serta
tidak menimbulkan mafsadat (bahaya) karena dikhawatirkan mereka adalah
mata-mata orang kafir.
Catatan:
Kaum kafir dzimmi harus
membedakan diri dengan kaum muslimin seperti dalam hal pakaian atau lainnya
agar mereka dapat dikenali, dan mereka tidak boleh dikuburkan di pemakaman kaum
muslimin. Demikian pula kita tidak boleh berdiri memuliakan mereka serta tidak diawali
dengan mengucapkan salam, dan mereka tidak boleh duduk di depan majlis.
Demikian pula rumah
mereka tidak boleh tinggi mengalahkan rumah-rumah kaum muslimin.
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
الْإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى
“Islam
itu tinggi dan tidak terkalahkan ketinggiannya.” (Hr. Ruyani, Daruquthni,
Baihaqi, dan Adh Dhiya, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami
no. 2778).
Dan mereka juga tidak
boleh menampakkan diri di hadapan kaum muslimin dengan mengenakan salib,
meminum khamr (arak), memakan daging babi, makan dan minum di siang hari bulan
Ramadhan, membuka aurat, bahkan mereka harus menyembunyikan diri melakukan
perbuatan yang diharamkan bagi kaum muslimin agar tidak menggoda kaum muslimin.
Hukum mengucapkan
selamat, berta’ziyah, atau menjenguk orang yang sakit dari kalangan kafir
dzimmi
Jika ucapan selamat
terkait dengan agama dan hari raya mereka, maka hukumnya haram. Tetapi jika
ucapan selamat terkait dengan masalah duniawi, seperti di antara mereka ada
yang mendapatkan anak atau menemukan kembali kerabatnya yang hilang, maka perlu
dilihat; jika ada maslahatnya seperti membuat dia senang dan mau masuk Islam,
atau sebagai balas budi karena mereka telah melakukannya kepada kita, maka
tidak mengapa. Tetapi jika tidak ada maslahatnya, maka tidak boleh karena hal
itu termasuk bentuk memuliakan.
Adapun ta’ziyah
(menghibur) orang terkena musibah di antara mereka, maka tidak boleh. Allah
Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ تَرَبَّصُونَ بِنَا إِلَّا إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ
وَنَحْنُ نَتَرَبَّصُ بِكُمْ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ أَوْ
بِأَيْدِينَا فَتَرَبَّصُوا إِنَّا مَعَكُمْ مُتَرَبِّصُونَ
“Katakanlah,
"tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi Kami, kecuali salah satu dari dua
kebaikan (menang atau syahid). Dan Kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah
akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya
kami menunggu-nunggu bersamamu." (At Taubah: 52)
Menurut Syaikh Ibnu
Utsaimin, bahwa ayat di atas terkait dengan kaum kafir harbi (yang memerangi
kaum muslimin), akan tetapi terhadap kafir dzimmiy, maka menurut sebagian Ahli
Ilmu, boleh berta’ziyah kepada mereka jika ada maslahat, misalnya untuk
melunakkan hati mereka agar mau masuk Islam, atau sebagai balas budi karena
mereka melakukan hal yang sama terhadap kita, wallahu a’lam. (Lihat kitab Samahatul
Islam karya Dr. Umar bin Abdul Aziz)
Namun perlu diingat,
tidak boleh kita mengucapkan selamat terhadap hari raya mereka dan ikut serta
merayakannya dengan mereka atau menghadirinya.
Sedangkan menjenguk
orang yang sakit di antara kafir dzimmi adalah boleh jika ada maslahat seperti
diharapkan dia mau masuk Islam (Lihat Asy Syarhul Mumti 3/192).
Syarat-Syarat yang dibuat
Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu terhadap kafir dzimmi
Sufyan Ats Tsauriy
meriwayatkan dari Masruq dari Abdurrahman bin Ghanam ia berkata, “Aku pernah
menjadi juru tulis Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu saat ia mengadakan
perjanjian damai dengan kaum Nasrani di Syam, dimana dalam perjanjian itu ia
mensyaratkan beberapa hal, yaitu: mereka (kaum Nasrani) tidak boleh membangun
di kota mereka biara maupun gereja, atau menara (untuk ibadah), serta biara
untuk rahib. Mereka juga tidak boleh memperbaharui gereja yang telah roboh
serta tidak melarang seorang pun dari kalangan kaum muslimin yang hendak
singgah di gereja mereka. Mereka juga tidak mengajarkan Al Qur’an kepada
anak-anak mereka, serta tidak menampakkan kemusyrikan. Demikian pula mereka tidak
menghalangi kerabat mereka memeluk Islam jika mengingikannya, serta menghormati
kaum muslimin, dan memberikan tempat duduk kepada kaum muslimin saat mereka
hendak duduk, dan tidak menyerupai kaum muslimin dalam pakaian, dan tidak
berkunyah (memiliki nama panggilan) dengan kunyah kaum muslimin. Mereka juga
tidak menaiki pelana, tidak menyandang pedang, tidak menjual arak, serta agar memotong
bagian depan rambut mereka, serta tetap berpegang dengan mode mereka di mana
saja mereka berada, dan agar mereka memakai ikat pinggang (tampak dari
luar). Mereka tidak boleh menampakkan
salib, atau salah satu di antara kitab mereka di jalan kaum muslimin, serta
mayit-mayit mereka tidak dikubur berdampingan dengan mayit kaum muslimin (di
pemakaman). Mereka juga tidak boleh memukul lonceng kecuali pelan, dan tidak
boleh mengeraskan bacaan mereka di gereja di hadapan kaum muslimn. Mereka juga
tidak boleh merayakan paskah dan tidak mengeraskan suara mereka di hadapan
mayit mereka, dan tidak menampakkan api (ritual keagamaan mereka), serta tidak
membeli budak yang di dalamnya terdapat bagian kaum muslimin. Jika mereka
menyelisihi salah satu syarat itu, maka tidak ada lagi akad dzimmah bagi
mereka, dan halal bagi kaum muslimin yang dihalalkan bagi mereka terhadap
orang-orang yang menentang dan memusuhi (kafir harbi).”
Syarat ini sangat
masyhur sehingga para ulama menerimanya (Lihat Ahkam Ahlidz Dzimmah
2/663).
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan), Mudzakkiratul
Fiqh (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah (Adil bin
Yusuf Al Azzazi), Mujmal Masa’ilil Iman Al Ilmiyyah (Lima murid Syaikh Al
Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar