بسم
الله الرحمن الرحيم
Risalah Jihad (6)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang
jihad, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hudnah (genjatan
senjata)
Perang juga dapat
berakhir dengan adanya hudnah.
Bagi imam juga boleh
mengadakan hudnah (gencatan senjata) dengan orang-orang kafir dalam jangka
waktu tertentu sesuai kebutuhan jika memang ada maslahatnya bagi kaum muslimin
melakukan hal tersebut. Di antaranya menunda jihad karena lemahnya kaum
muslimin, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengadakan gencatan
senjata dengan orang-orang kafir dalam perjanjian Hudaibiyah, dan Beliau juga
mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi, hingga ketika mereka
melanggar perjanjian, maka Beliau memerangi mereka dan mengusirnya dari Madinah.
Maslahat lainnya dari hudnah misalnya agar kaum kafir masuk Islam dengan dakwah,
atau diperoleh maslahat ekonomi maupun militer, dsb.
Hudnah ini dilakukan
oleh imam atau wakilnya, dan tidak sah dari orang-perorang dari kaum muslimin.
Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama meskipun ulama madzhab Hanafi
memandang boleh hudnah dari jamaah kaum muslimin jika ada maslahatnya, karena
hal itu salah satu bentuk keamanan.
Menurut Syaikh Sayyid
Sabiq rahimahullah, bahwa hudnah wajib dalam dua keadaan:
Pertama, ketika musuh memintanya, maka permintaannya
dipenuhi meskipun maksud mereka adalah hendak menipu, namun kita harus waspada
dan memiliki persiapan. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan
jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” (Qs. Al Anfaal: 61)
Dalam perdamaian
Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan genjatan senjata
dengan orang-orang musyrik selama sepuluh tahun lamanya untuk menjaga darah
serta karena ingin mengharapkan keislaman mereka.
Al Miswar bin Makhramah
radhiyallahu anhu menyatakan, bahwa mereka mengadakan perjanjian gencatan
senjata selama sepuluh tahun; dimana manusia merasakan keamanan pada tahun-tahun
itu, dan di antara kami seperti tempat pakaian yang sudah diikat, tidak ada pencurian
dan pengkhianatan. (Hr. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud) Yakni tidak
membicarakan lagi masa lalu, hati menjadi bersih, berada dalam keamanan dan
kesejahteraan.
Kedua, pada bulan-bulan haram (Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), yakni tidak boleh memulai peperangan pada
bulan-bulan itu, kecuali jika musuh memulai peperangan lebih dulu, maka wajib
berperang pada saat itu sebagai bentuk pembelaan diri. Demikian pula
diperbolehkan berperang pada bulan haram ketika perang terus berlanjut hingga
masuk bulan haram sedangkan musuh tidak mau menerima genjatan senjata.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا
عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu pada bulan
yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)
Adapun pernyataan
mansukh hal tersebut (sudah dihapus hukumnya), maka itu adalah dhaif (lemah).
(Lihat Fiqhus Sunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq pada pembahasan tentang hudnah)
Jika imam
mengkhawatirkan musuh melanggar perjanjian, maka ia boleh mengumumkan berhenti
hudnah sebelum memerangi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ
إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
“Dan
jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka
kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfaal: 58)
Maksudnya beritahukanlah
kepada mereka pembatalan perjanjian agar kalian dan mereka sama-sama tahu.
Catatan:
1. Hudnah boleh
dilakukan dengan iwadh (bayaran) yang kita berikan maupun iwadh yang kita
terima, dan boleh tanpa iwadh.
2. Jika hudnah telah
sempurna dilakukan, maka mulai berlaku keamanan terhadap musuh sebagaimana
dalam akad keamanan, sehingga kita menahan diri, serta wajib memenuhi
syarat-syarat yang telah disepakati, dan tidak boleh khianat.
3. Akad hudnah adalah
akad yang mesti menurut jumhur ulama, sehingga tidak boleh dibatalkan kecuali
jika dikhawatirkan pengkhianatan dari musuh (Lihat Qs. Al Anfal: 58)
Contoh pengkhianatan
dari musuh adalah ketika mereka memerangi kaum muslimin, menolong musuh
memerangi kaum muslimin, atau mereka mencaci-maki Allah, Rasul-Nya shallallahu
alaihi wa sallam, dan kitab-Nya, atau memata-matai kaum muslimin, dsb. Jika hal
itu terjadi, maka sama saja mereka telah membatalkan perjanjian, dan
diperbolehkan memerangi mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ
وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ
لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
“Jika
mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca
agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)
janjinya, supaya mereka berhenti.” (Qs. At Taubah: 12)
Mereka yang melanggar
perjanjian ini kita perangi mereka, dan tidak mesti kita harus sampaikan
pembatalan perjanjian yang diadakan antara kita dengan mereka. Oleh Karena itu,
ketika kaum Quraisy membatalkan perjanjian, maka Nabi shallallahu alaihi wa
sallam memerangi mereka sehingga terjadi Fathu Makkah.
Tetapi jika mereka
istiqamah dengan janjinya, maka kita tidak boleh memerangi mereka, karena Allah
Ta’ala berfirman,
فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Maka
selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula)
terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (Qs. At Taubah: 7)
Intinya tetap-tidaknya
perjanjian terbagi tiga:
Pertama, jika mereka tetap menjaga perjanjian, maka
kita jaga pula perjanjian.
Kedua, jika dikhawatirkan pelanggaran dan
pengkhianatan, maka kita bisa sampaikan pembatalan perjanjian sebelum memerangi
mereka.
Ketiga, jika mereka melanggar dan mengkhianati,
maka kita bisa langsung memerangi tanpa harus memberitahukan pembatalan
perjanjian.
4. Apakah waktu hudnah
itu dibatasi atau tidak ada batasnya?
Dalam hal ini ada
beberapa pendapat ulama, di antaranya:
Pendapat pertama, waktunya dibatasi dan tidak boleh lebih
dari 10 tahun. Alasan mereka adalah perdamaian Hudaibiyah yang tidak lebih dari
10 tahun.
Pendapat kedua, dibatasi, namun tidak disyaratkan harus 10
tahun, bahkan boleh lebih dari itu jika dibutuhkan, karena dalil-dalil yang ada
umum tentang hudnah tanpa pembatasan, adapun kenapa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam mengadakan perjanjian damai selama 10 tahun adalah karena waktu tersebut
sudah cukup bagi mereka.
Pendapat ketiga, boleh tanpa ada pembatasan waktunya sama
sekali, dengan syarat akadnya tidak lazim (mesti berlaku) dan kaum muslimin
berhak membatalkan perjanjian jika mereka mau. Inilah yang dirajihkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Akan tetapi dalam keadaan ini, kita
harus memberitahukan kepada mereka, bahwa perjanjian sudah tidak ada lagi
antara kita dengan mereka jika kita hendak membatalkan perjanjian. (Lihat Tamamul
Minnah jilid 4 hal. 414-415)
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan), Mudzakkiratul
Fiqh (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah (Adil bin
Yusuf Al Azzazi), Mujmal Masa’ilil Iman Al Ilmiyyah (Lima murid Syaikh Al
Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar