بسم
الله الرحمن الرحيم
Risalah Jihad (7)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang
jihad, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Akad Dzimmah
Peperangan juga dapat
berakhir dengan adanya akad dzimmah.
Imam atau wakilnya juga
dibolehkan mengadakan akad dzimmah terhadap Ahli Kitab dan Majusi, yakni
membiarkan mereka di atas agama mereka dengan syarat mereka harus membayar
jizyah (pajak) serta mengikuti hukum-hukum Islam seperti dalam hal madaniyah
(bersosial-kemasyarakatan) maupun jinayat (hudud), dalam masalah jiwa maupun
harta. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا
بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ
دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ
يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Qs. At Taubah: 29)
Oleh karena itu, jika
mereka mengerjakan perbuatan yang berhak mendapatkan sanksi had dimana mereka
meyakini haramnya, maka kta tegakkan had terhadapnya. Jika mereka tidak datang
kepada kita, maka kita tinggalkan. Tetapi jika mereka mengerjakan perbuatan
yang mengharuskan diberi hukuman had, namun mereka tidak meyakini keharamannya
seperti meminum arak, maka kita tidak tegakkan had terhadapnya, akan tetapi
mereka tidak boleh menampakkan hal itu di hadapan kaum muslimin. Jika mereka tampakkan,
maka kita berikan hukum ta’zir (yang membuat jera sesuai pendapat imam).
Adapun dalam masalah
ibadah, maka mereka berhak melakukannya.
Hikmah dari adanya akad
dzimmah adalah untuk memberikan kesempatan kepada non muslim mengetahui hakikat
Islam yang sesungguhnya.
Jumlah jizyah yang
dipungut
Jizyah adalah harta yang
dipungut dari orang-orang kafir sebagai tanda ketundukan mereka pada setiap
tahun agar keamanan mereka terjaga dan mereka bisa tinggal di negeri kaum
muslimin. Akan tetapi jizyah ini tidak dipungut dari anak-anak, wanita, orang
gila, orang yang sakit kronis, orang buta, orang tua (lansia), dan orang fakir
yang tidak mampu membayar. Oleh karena itu, syarat diambilnya jizyah dari
orang-orang kafir adalah laki-laki, mukalaf (baligh), dan merdeka.
Para pemilik kitab Sunan
meriwayatkan dari Mu’adz radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam saat mengutusnya ke Yaman memerintahkan dirinya mengambil dari setiap
orang yang dewasa 1 dinar atau yang seimbang dengannya berupa kain mu’afir
(dari Yaman). Selanjutnya Umar menambahkan jumlah jizyah dengan menetapkan 4
dinar bagi para pemilik emas dan 40 dirham pagi para pemilik perak pada setiap
tahunnya.
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah
menerangkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan demikian
karena tahu kondisi orang-orang Yaman, sedangkan Umar menetapkan demikian
karena mengetahui kaya dan mampunya mereka, wallahu a’lam.
Imam Bukhari
meriwayatkan, bahwa Mujahid (tabi’in murid Ibnu Abbas) pernah ditanya, “Mengapa
penduduk Syam dikenakan 4 dinar, namun penduduk Yaman dikenakan jizyah/pajak
satu dinar, Mujahid menjawab, “Beliau menetapkan demikian melihat kelapangan
seseorang.” Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan menjadi salah satu riwayat
Imam Ahmad, ia berkata, “Orang yang mampu dikenakan jizyah berjumlah 48 dirham,
orang kelas menengah dikenakan 24 dirham, sedangkan orang miskin 12 dirham.” Ia
menetapkan jumlah minimalnya dan maksimalnya.
Namun Imam Syafi’i
berpendapat -dan ini menjadi salah satu riwayat dari Imam Ahmad-, bahwa jumlah
minimalnya sudah ditetapkan, yaitu 1 dinar, adapun jumlah maksimalnya, maka
tidak ditentukan, bahkan diserahkan kepada ijtihad pemerintah.
Ulama madzhab Syafi’i
berpendapat, bahwa jumlah minimal jizyah adalah 1 dinar pada setiap tahunnya,
dan bagi yang ekonominya pertengahan, maka jumlah jizyahnya 2 dinar, sedangkan
dari yang kaya 4 dinar.
Menurut Imam Malik dan
salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa tidak ada jumlah minimal jizyah dan
maksimalnya, bahkan jumlahnya sesuai ijtihad pemerintah agar mereka menetapkan
untuk setiap orangnya sesuai kondisinya. Inilah pendapat yang rajih (kuat)
insya Allah. Dan tidak patut membebani seseorang di luar kesanggupannya.
Jika mereka telah
membayar jizyah, maka wajib diterima dari mereka dan haram diperangi, serta
wajib melindungi mereka dari orang yang hendak menimpakan bahaya kepada mereka.
Hal ini berdasarkan ayat di atas dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam berikut,
فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ، فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ
فَاقْبَلْ مِنْهُمْ، وَكُفَّ عَنْهُمْ
“Maka
mintalah jizyah dari mereka. Jika mereka bersedia, maka terimalah dan tahan
dirimu dari mereka.” (Hr. Muslim)
Jizyah ini dialihkan
untuk kepentingan kaum muslimin secara umum.
Catatan:
1 dinar = 4.25 gram
emas, 1 dirham = 2,975 gram perak.
Akad Dzimmah Untuk
Selain Ahli Kitab dan Selain Mjausi
Para ulama berbeda
pendapat tentang masalah ini hingga timbul dua pendapat:
Pendapat pertama, akad dzimmah hanya untuk Ahli Kitab dan
Majusi saja. Hal ini berdasarkan surat At Taubah ayat 29 yang merangkan bahwa
jiyzah diambil dari Ahli Kitab, dan As Sunnah menyebutkan, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam mengambil jizyah dari Majusi wilayah Hajar (Hr.
Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad dan Darimi)
Adapun selain Ahli Kitab
dan Majusi, maka mereka diperangi hingga beriman, berdasarkan hadits “Umirtu
an uqatilun naas hatta yasyhadu allaa ilaaha illlallah…dst.” (artinya: aku
diperintahkan memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan
yang berhak disembah kecuali Allah…dst.”)
Pendapat kedua, bahwa akad dzimmah juga boleh diambil dari
selain tiga kelompok itu (Yahudi, Nasrani, dan Majusi). Hal itu karena Nabi
shallallahu alaihi wa sallam mengambil jizyah dari orang-orang Majusi di Hajar,
padahal mereka bukan Ahli Kitab. Hal ini menunjukkan bolehnya mengambil jizyah
dari orang-orang kafir lainnya. Dalil lainnya adalah hadits Buraidah bin Hashib
yang menerangkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika
mengangkat komandan perang, memberinya wasiat agar berbuat baik kepada kaum
muslimin yang bersamanya, dan memerintahkannya untuk mengajak kaum musyrik kepada
salah satu dari tiga hal ini; yaitu Islam, jizyah, atau perang. Ini menunjukkan
bahwa jizyah juga diambil dari kaum musyrik secara umum. Inilah yang rajih
(kuat) menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan Ibnul Qayyim, yakni bahwa akad dzimmah berlaku untuk semua orang
kafir.
Kapan jizyah gugur?
Jizyah gugur ketika
mereka memeluk Islam, dan ketika mereka meninggal dunia.
Konsekwensi Akad Dzimmah
Jika telah diadakan akad
dzimmah antara imam (pemerintah) dengan orang-orang kafir, maka di antara
konsekwensinya adalah:
1. Orang-orang kafir
yang telah mengikat perjanjian itu mendapat perlindungan, sehingga tidak boleh
diganggu atau disakiti baik darahnya, hartanya, maupun kehormatannya. Jika ada
musuh dari luar yang hendak menyerang mereka, maka kita melindunginya. Tentunya
hal ini jika mereka tetap berada di negeri kita, tetap membayar jizyah, dan
menjalankan kewajiban-kewajiban. Adapun selain kafir dzimmi (kafir yang
melakukan akad dzimmah) itu, maka kita tidak memberikan perlindungan, akan
tetapi kita tidak menzalimi mereka.
Bagi kafir dzimmi harus
mengikuti hukum-hukum Islam dalam masalah harta, darah, dan kehormatan, yakni
jika mereka membinasakan harta, menumpahkan darah, atau menodai kehormatan,
maka mereka diberikan hukuman terhadapnya yang sesuai dengan kaidah-kaidah
syariat, karena Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan
jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara
mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (Qs. Al Maidah: 42)
Demikian pula dari akad
dzimmah, kita memberlakukan kepada mereka hukuman hudud (tindak pidana)
terhadap hal yang mereka yakini keharamannya, seperti zina yang diharamkan
dalam semua syariat. Oleh karena itu, jika kafir dzimmi melakukan zina, maka
ditegakkan hukuman hudud, yaitu dengan dirajam jika ia sudah menikah, dan
didera serta diasingkan satu tahun jika ia masih bujangan atau gadis. Telah
shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Beliau merajam dua orang
Yahudi yang berzina, yaitu laki-laki dan wanita yang berzina, namun orang-orang
Yahudi tidak merajamnya. Hal itu, karena banyaknya zina yang terjadi pada
kalangan terhormat di antara mereka, sehingga mereka tidak suka pezina itu
dirajam, lalu mereka buat hukumannya sendiri, yaitu dengan cara pezina
laki-laki dan perempuan dinaikkan ke atas hewan, dimana wajah salah satu di
antara mereka berdua menghadap ke duburnya, lalu diarak di pasar dan dihitamkan
wajahnya. Setelah Islam datang dan terjadi lagi perbuatan zina di tengah-tengah
mereka, lalu mereka melapor kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
maka Beliau merajam mereka, lalu mereka berkata, “Sesungguhnya hukuman ini
(rajam) tidak ada dalam syariat kami,” maka Beliau meminta dibawakan kitab
Taurat, kemudian yang membacakan kitab Taurat ketika itu menutup ayat yang
isinya perintah rajam, lalu Abdullah bin Sallam –salah seorang ulama Yahudi
yang sudah masuk Islam- berkata, “Angkatlah tanganmu!” Saat tangannya diangkat,
di sana terdapat ayat perintah rajam, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam memerintahkan dua orang Yahudi itu dirajam, maka diberlakukanlah rajam.
Dengan demikian,
penegakkan hukum kepada mereka adalah dalam hal yang mereka yakini haramnya,
tetapi jika mereka meyakini halalnya seperti khamr (arak) dan daging babi, maka
mereka tidak diberikan hukuman hudud ketika mengkonsumsinya, namun mereka
dilarang menampakkannya di negeri Islam; yakni mereka dilarang menampakkan yang
halal dalam syariat mereka namun halal dalam syariat kita.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan), Mudzakkiratul
Fiqh (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah (Adil bin
Yusuf Al Azzazi), Mujmal Masa’ilil Iman Al Ilmiyyah (Lima murid Syaikh Al
Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar