Fiqh Nikah (9)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (9)
[Adab di Malam Pertama (2)]
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Adab di malam pertama[1]
6.     Haram bagi suami menggauli istri ketika haidh, dan menggaulinya di duburnya, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى حَائِضًا، أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا، أَوْ كَاهِنًا، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
      “Barang siapa yang menggauli istrinya ketika haidh atau di duburnya, atau mendatangi dukun dan membenarkan kata-katanya, maka sungguh ia telah kufur kepada Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.”(HR. Pemilik kitab Sunan selain Nasa’i).
      Imam Nawawi berkata, “Kalau seorang muslim meyakini halal menjima’i wanita yang haidh di farjinya maka ia menjadi kafir murtad. Dan kalau seseorang melakukannya namun tidak beranggapan bahwa hal itu halal (maka ada beberapa hukum): Kalau ia lupa atau tidak tahu adanya haidh atau tidak tahu tentang keharamannya atau dipaksa maka ia tidak berdosa dan tidak kena kaffarat, namun jika ia menjima’i dengan sengaja sedangkan ia mengetahui adanya haidh dan mengetahui hukumnya tetapi tetap melakukannya maka ia telah melakukan dosa besar, Imam Syaafi’i menjelaskan bahwa itu dosa besar, ia wajib bertobat …dst."
      Orang yang menggauli istrinya ketika haidh ini juga wajib membayar kaffarat.
      Kaffaratnya adalah dengan bersedekah 1 dinar atau ½ dinar (1 dinar adalah 4 ½ gram emas). Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas berikut, bahwa Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang menggauli istrinya ketika haidh:
يَتَصَدَّقُ بِدِيْنَارٍ أَوْ نِصْفِ دِيْنَارٍ
      “Ia bersedekah satu dinar atau setengah dinar.” (HR. Para pemilik kitab Sunan, Thabrani, Ibnul A'rabiy dalam Mu'jamnya, Darimi, Hakim, dan Baihaqi dengan isnad yang shahih sesuai syarat Bukhari, dan dishahihkan oleh Hakim serta disepakati oleh Adz Dzahabi, Ibnu Daqiqil 'Ied, Ibnut Turkumani, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar Al 'Asqalani, Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah Al badril Munir, serta dikuatkan oleh Imam Ahmad dan dijadikan sebagai madzhabnya).
      Ibnu Abbas berkata, “Jika ia menggauli ketika baru haidh maka ia bersedekah satu dinar, dan jika ia menggauli ketika di akhir haidhnya maka ia bersedekah ½ dinar.”
Catatan:
-        Jumhur ulama berpendapat, bahwa jika wanita telah berhenti haidh maka belum halal dijima’i sampai ia mandi atau bertayammum apabila memenuhi syarat tayammum (seperti tidak ada air dsb.) Namun menurut ulama yang lain, tidak mengapa menggaulinya jika telah berhenti haidhnya dan telah dicuci bagian yang terkena darah haidh meskipun belum mandi.
-        Dibolehkan bersenang-senang dengan istri yang sedang haidh selama tidak menjimainya. Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحُ
     “Lakukanlah semuanya selain jima’.” (HR. Muslim)
      Salah seorang istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ مِنَ الْحَائِضِ شَيْئًا أَلْقَى عَلَى فَرْجِهَا ثَوْبًا» [ ثُمَّ صَنَعَ مَا أَرَادَ]
      “Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mendatangi istri yang haidh, maka Beliau menaruh di farjinya kain, lalu berbuat yang Beliau inginkan.” (HR. Abu Dawud, dan sanadnya shahih sesuai syarat Muslim)
7.       Hendaknya suami dan istri meniatkan di hatinya bahwa hubungan intim yang dilakukannya itu untuk menjaga dirinya dari perbuatan haram, berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالُوا لِلنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ . قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ » . 
      Dari Abu Dzar, bahwa beberapa orang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa banyak pahala, mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa sebagaimana kami berpuasa dan mengeluarkan sedekah dengan kelebihan harta mereka.” Beliau pun bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang bisa kalian sedekahkan. Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan 'Laailaahaillallah') adalah sedekah, amr ma’ruf adalah sedekah, nahy mungkar juga sedekah, bahkan menggauli istrimu juga sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah apabila salah salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurutmu, jika kamu meletakkan di tempat yang haram, bukankah akan dikenakan dosa? Demikian juga sebaliknya, jika diletakkan di tempat yang halal maka akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
8.     Jika suami hendak mengulangi jimanya dianjurkan berwudhu’, berdasarkan hadits berikut:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ، فَلْيَتَوَضَّأْ [بَيْنَهُمَا وُضُوْءاً] (وَفِي رِوَايَةٍ: وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ ) [فَإِنَّهُ أَنْشَطُ فِي الْعَوْدِ]
      “Apabila salah seorang di antara kamu mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulangi (jimanya), maka hendaklah ia berwudhu’ [di tengah-tengahnya] -dalam sebuah riwayat disebutkan “Seperti wudhunya ketika hendak shalat”- [karena hal itu lebih membuat semangat dalam mengulangi].” (HR. Muslim, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dan Abu Nu’aim dalam Ath Thibb, tambahan di atas adalah tambahannya).
      bisa juga dengan melakukan mandi, dan ini lebih utama. Hal ini berdasarkan hadits Abu Raafi’ berikut:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَافَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى نِسَائِهِ، يَغْتَسِلُ عِنْدَ هَذِهِ وَعِنْدَ هَذِهِ» ، قَالَ: قُلْتُ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَجْعَلُهُ غُسْلًا وَاحِدًا، قَالَ: «هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ
      “Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam suatu hari mendatangi secara bergantian istri-istrinya, mandi dari sini dan dari sini, aku (Abu Raafi’) berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak sekali mandi saja,” Beliau menjawab, “Ini lebih bersih, nikmat dan lebih suci.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Thabrani, Abu Nu'aim dalam Ath Thibb dengan sanad hasan, dan dikuatkan oleh Al Hafizh).
9.     Setelah berhubungan intim, suami dan istri boleh mandi bersama. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah berikut:
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ وَاحِد [تَخْتَلِفُ أَيْدِيْنَا فِيْهِ]، فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُولَ: دَعْ لِي، دَعْ لِي. قَالَتْ: وَهُمَا جُنُبَانِ
      “Aku mandi bersama Rasulullah dari satu wadah, tangan-tangan kami saling bergantian, terkadang Beliau mendahuluiku sampai aku mengatakan, “Berilah kesempatan kepadaku, berilah kesempatan kepadaku,” ketika itu keduanya junub.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Awanah)[2]
10. Apabila suami-istri ingin tidur sehabis melakukan jima’, dianjurkan berwudhu’ terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah berikut:
((كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَن [يَأْكُلَ أَوْ] يَنَامَ، وَهُوَ جُنُبٌ، غَسَلَ فَرْجَهُ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ))
      “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak makan atau tidur pada saat junub, mencuci farjinya dan berwudhu’ seperti wudhunya ketika shalat.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu ‘Uwaanah)
      Dalam hadits Ammar bin Yaasir disebutkan bahwa Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تَقْرَبُهُمُ الْمَلَائِكَةُ: جِيفَةُ الْكَافِرِ، وَالْمُتَضَمِّخُ بِالْخَلُوقِ، وَالْجُنُبُ، إِلَّا أَنْ يَتَوَضَّأَ
      “Ada tiga orang yang tidak didekati oleh malaikat; bangkai orang kafir, laki-laki yang memakai wewangian khaluq (wewangian campuran dari za’faran dan lainnya)[3] dan orang yang junub, kecuali bila sebelumnya ia berwudhu’.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Thahawi dan Baihaqi, dan dihasankan oleh Al Albani)
      Wudhu bagi yang junub ketika hendak tidur hukumnya sunnah mu’akkadah (yang ditekankan), karena dalam hadits Aisyah yang lain disebutkan,
((كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمَسَّ مَاءً [حَتَّى يَقُوْمَ بَعْدَ ذَلِكَ فَيَغْتَسِلُ]  ))
      “Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tidur dalam keadaan junub tanpa menyentuh air sebelumnya, lalu bangun kemudian mandi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan para pemilik kitab Sunan selain Nasa’i, Thahawi, Thayalisi, Ahmad, Baghawi dalam hadits Ali bin Al Ja'd, Abu Ya'la dalam Musnadnya, Baihaqi, Hakim, dan Afifuddin Abul Ma'ali dalam Sittina hadiitsan)
      Boleh juga sesekali seseorang mengganti wudhu’ dengan tayammum, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha berikut:
((كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَجْنَبَ فَأَرَادَ أَنْ يَنَامَ تَوَضَّأَ، أَوْ تَيَمَّمَ ))
      “Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam apabila junub, lalu ingin tidur, Beliau berwudhu atau bertayammum.” (HR. Baihaqi, Al Haafizh dalam Al Fat-h berkata, “Isnadnya hasan.”)[4]
      Kalau pun ia mandi sebelum tidur, maka hal itu lebih utama. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Qais berikut:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ قُلْتُ: كَيْفَ كَانَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي الْجَنَابَةِ؟ أَكَانَ يَغْتَسِلُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ؟ أَمْ يَنَامُ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ؟ قَالَتْ: " كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ، رُبَّمَا اغْتَسَلَ فَنَامَ، وَرُبَّمَا تَوَضَّأَ فَنَامَ، قُلْتُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي الْأَمْرِ سَعَةً
      Aku bertanya kepada Aisyah, “Apa yang Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan ketika junub, apakah mandi sebelum tidur atau tidur sebelum mandi?” Aisyah menjawab, “Semuanya pernah Beliau lakukan; terkadang Beliau mandi lalu tidur, dan terkadang Beliau wudhu lalu tidur,” aku pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan perkaranya mudah.” (HR. Muslim, Abu ‘Uwaanah dan Ahmad)
11. Seorang suami boleh melakukan ‘azl (mencabut farjinya dan menumpahkan mani tidak di dalam kemaluan istri), hal ini berdasarkan hadits berikut:
Jabir berkata,
كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَنْهَنَا
      “Kami melakukan ‘azl di zaman Rasulullah, lalu sampailah berita itu kepada Nabi Allah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun Beliau tidak melarang kami.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Tirmidzi)
      Namun lebih utama tidak melakukannya, karena alasan berikut:
a.     Hal itu bisa memadharratkan wanita, karena tidak dapat menikmati kelezatan jima’.
b.     Hilangnya sebagian tujuan nikah, yaitu memperbanyak anak.
12. Seorang suami boleh melakukan Ghiilah (menjimai istri ketika ia masih menyusui anaknya, atau suami ingin istrinya hamil padahal istrinya sedang menyusui). Dalil tentang bolehnya adalah hadits berikut:
عَنْ جُدَامَةَ بِنْتِ وَهْبٍ الأَسَدِيَّةِ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ « لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ » .
      Dari Judamah binti Wahb Al Asadiyyah bahwa ia mendengar Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku ingin melarang ghiilah, aku pun teringat bahwa bangsa Romawi dan Persia melakukan hal itu, namun ternyata tidak membahayakan anaknya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa'i).
13. Suami dan istri diharamkan membuka rahasia hubungan intim (jima’). Telah diriwayatkan dalam hadits,
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
"Sesungguhnya di antara seburuk-buruk manusia kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah seorang yang menggauli istrinya, dan istrinya menggaulinya, lalu ia membuka rahasianya." (HR. Ibnu Abi Syaibah, Muslim, Ahmad, Abu Nu'aim, Ibnus Sunniy, dan Baihaqi dari hadits Abu Sa'id Al Khudri. Al Albani berkata, "Sesungguhnya hadits ini meskipun ada dalam Shahih Muslim, tetapi dha'if karena sanadnya. Di dalamnya terdapat Umar bin Hamzah Al Umariy, dan ia adalah dha'if sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib dan seperti yang dikatakan Adz Dzahabi dalam Al Mizan, ia berkata, "Ia didhaifkan oleh Yahya bin Ma'in dan Nasa'i. Ahmad berkata, "Hadits-haditsnya munkar.")
14. Pada pagi harinya, kedua suami dan istri dianjurkan pergi ke rumah kerabatnya, mengucapkan salam dan mendoakan mereka dan mereka membalas serupa. Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu 'anhu berikut, ia mengatakan:
((أَوْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ بَنَى بِزَيْنَبَ، فَأَشْبَعَ الْمُسْلِمِيْنَ خُبْزاً وَلَحْماً، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِنَّ، وَدَعَا لَهُنَّ، وَسَلَّمْنَ عَلَيْهِ وَدَعَوْنَ لَهُ، فَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ صَبِيْحَةَ بِنَائِهِ ))
      “Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam mengadakan walimah ketika sudah menikah dengan Zainab, Beliau mengenyangkan kaum muslimin dengan memberikan makanan roti dan daging, lalu Beliau keluar ke istri-istrinya Ummahaatul mukminin, mengucapkan salam dan mendoakan mereka, mereka pun mengucapkan salam dan mendoakan Beliau. Hal itu Beliau lakukan pada pagi harinya setelah menikah.” (HR. Ibnu Sa'ad 8/107, dan Nasa'i dalam Al Walimah 2/66 dengan sanad yang shahih).
15. Suami wajib membuatkan kamar mandi di dalam rumahnya, jangan sampai membiarkan istrinya mandi di tempat pemandian umum. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّامَ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدْخُلِ الْحَمَّامَ إِلَّا بِمِئْزَرٍ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ
      “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia mengizinkan istrinya masuk ke tempat pemandian umum. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki mendatangi kamar mandi umum kecuali dengan memakai kain. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia duduk di majlis yang diedarkan minuman keras di sana.” (HR. Hakim, Tirmidzi, Nasa’i sebagiannya, Ahmad, dan Al Jurjani. Hakim berkata, "Shahih sesuai syarat Muslim," dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Tirmidzi berkata, "Hadits hasan.").
      Demikian juga berdasarkan hadits Ummud Dardaa’ berikut, ia berkata:
خَرَجْتُ مِنَ الْحَمَّامِ فَلَقِيَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: " مِنْ أَيْنَ يَا أُمَّ الدَّرْدَاءِ؟ " قَالَتْ: مِنَ الْحَمَّامِ، فَقَالَ: " وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا مِنَ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ أَحَدٍ مِنْ أُمَّهَاتِهَا، إِلَّا وَهِيَ هَاتِكَةٌ كُلَّ سِتْرٍ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الرَّحْمَنِ
      “Aku keluar dari tempat pemandian umum, lalu Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bertemu denganku dan bertanya, “Dari mana kamu, wahai Ummu Dardaa’?” Ia menjawab, “Dari kamar mandi,” maka Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, yang diriku di Tangan-Nya, tidak ada seorang wanita pun yang melepaskan pakaiannya di luar rumah salah satu keluarganya, kecuali ia sama saja telah membuka tirai antara dia dengan Allah Ar Rahman.” (HR. Ahmad dan Ad Daulabiy dengan dua isnad yang salah satunya shahih, dan dikuatkan oleh Al Mundziri).
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Adabuz Zafaf fis Sunnatil Muthahharah (M. Nashiruddin Al Albani), Mausu'ah Ruwathil Hadits, Maktabah Syamilah versi 3.44 dan 3. 45, dll.




[1] Dalam masalah ini kami banyak merujuk kepada kitab Adabuz Zifaf karya Syaikh Al Albani rahimahullah.
[2] Al Hafizh dalam Al Fat-h 1/290 berkata, "Ad Dawudi berdalih dengan hadits ini untuk menunjukkan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya, demikian pula sebaliknya."
[3] Ini adalah wewangian khusus kaum wanita.
[4] Al Albani berkata, "Ibnu Abi Syaibah 1/48/1 meriwayatkan dari 'Itsam hadits seperti itu secara mauquf kepada Aisyah tentang seorang yang junub di malam harinya lalu ingin tidur, maka Aisyah berkata, "Ia berwudhu atau bertayammum." Dan sanadnya shahih. 

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger