Fiqh Nikah (2)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (2)
[Kebolehan Poligami, Hukum Menikah, Larangan Tabattul, dan Memilih Calon Istri]
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bolehnya poligami
Islam membolehkan bagi orang yang memiliki kemampuan dan merasa dirinya aman dari bersikap zalim untuk menikahi wanita lebih dari satu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (Terj. QS. An Nisaa’: 4)
Berlaku adil  di sini adalah berlaku adil dalam hal yang disanggupi (yang bersifat lahiriyah) seperti memberikan secara sama dalam hal nafkah, pakaian, tempat tinggal, bermalam (giliran), dsb.
Dibolehkan poligami dalam Islam adalah bukti indah dan cocoknya syariat Islam di setiap zaman, setiap tempat dan setiap generasi, karena dalam poligami ada maslahat yang besar baik bagi laki-laki, wanita, maupun masyarakat secara keseluruhan. Apalagi di zaman ketika wanita lebih banyak daripada laki-laki, apabila hanya satu saja tentu banyak wanita yang terlantar. Di samping itu kita mengetahui, bahwa wanita mengalami masa-masa tertentu yang tidak boleh digauli oleh laki-laki yaitu masa haidh dan nifas, kalau hanya satu saja, tentu pada saat-saat tersebut laki-laki tidak dapat bersenang-senang dan membuahkan anak.
Selain itu, seorang wanita biasanya apabila sudah berumur lima puluh tahun mengalami masa ya’s atau monopause (berhenti haidh dan tidak lagi bisa hamil), sedangkan laki-laki masih bisa membuahkan anak. Kalau hanya satu isteri, tentu ia tidak lagi bisa membuahkan anak.
Dan maslahat lainnya yang begitu banyak. Maka sungguh sangat kurang akal orang yang menentang poligami atau menyudutkannya.
Hukum Nikah
Hukum nikah bisa wajib, sunat, mubah, haram ataupun makruh.
Nikah menjadi wajib apabila seseorang khawatir jatuh ke dalam zina jika tidak menikah, karena nikah adalah jalan menjaga diri dari yang haram. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika seseorang butuh segera menikah dan khawatir jatuh ke dalam zina, maka hendaknya ia mendahulukannya sebelum berhajji yang wajib.”
Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan, “Jika seseorang butuh menikah dan khawatir terhadap zina jika tidak menikah, maka ia mendahulukan nikah sebelum hajji yang wajib. Namun jika ia tidak khawatir (terhadap zina), maka ia dahulukan hajji yang wajib. Demikian juga hal-hal yang fardhu kifayah seperti menuntut ilmu dan berjihad didahulukan daripada menikah jika tidak khawatir terhadap zina.”
Ulama yang lain mengatakan, “Bahkan bisa menjadi lebih utama dari hajji yang sunat, shalat dan shaum sunat.” Mereka juga berkata, “Tidak ada bedanya dalam hal ini antara yang mampu memberi nafkah maupun yang tidak," yakni dalam kondisi seperti ini wajib hukumnya.
Alasannya adalah karena Allah berjanji akan memberikan kecukupan kepadanya (lihat QS. An Nur: 32), juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلىَ اللهِ عَوْنُهُمُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ
“Ada tiga orang yang akan Allah tolong; mujahid fii sabiilillah, seorang budak yang hendak memerdekakan dirinya dengan membayar iuran dan orang yang menikah dengan tujuan menjaga dirinya.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan, “Hadits ini hasan.”)
Di samping itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menikahkan laki-laki yang tidak mampu meskipun hanya menyiapkan mahar berupa cincin besi.
Nikah menjadi sunat apabila ia tidak mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam zina, meskipun ia bersyahwat. Tetapi nikah lebih utama daripada mengkhususkan diri beribadah. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah berkata:
لاَ يَتِمُّ نُسُكُ النَّاسِكِ حَتىَّ يَتَزَوَّجَ
“Tidak sempurna ibadah seseorang sampai ia menikah.”
Nikah menjadi mubah ketika tidak adanya syahwat dan kecenderungan kepadanya. Misalnya ia ‘inniin (lemah syahwat) dan orang yang sudah tua. Dalam kondisi ini bisa juga menjadi makruh, karena hilangnya tujuan utama dari pernikahan yaitu menjaga kehormatan wanita dan bisa memadharratkannya. Oleh karena itu, nikah menjadi makruh bagi orang yang kurang memberikan perhatian kepada wanita baik dalam menggauli maupun memberikan nafkah, dimana hal tersebut tidak terlalu merugikan si istri karena keadaan istrinya yang kaya dan tidak memiliki keinginan kuat untuk digauli.
Nikah pun bisa menjadi haram apabila ia menikah di wilayah kafir harbiy (yang memerangi Islam), jika bisa mengakibatkan keturunannya ditindas dan dikuasai oleh orang-orang kafir, di samping itu isterinya pun sangat dikhawatirkan keamanannya.
Termasuk ke dalam “menjadi haram” adalah seperti yang dikatakan Ath Thabari berikut:
“Kapan saja seorang suami mengetahui bahwa dirinya tidak sanggup memberi nafkah isterinya, atau tidak sanggup membayar mahar atau memberikan salah satu hak-haknya yang wajib dipenuhinya, maka tidak halal bagi laki-laki menikahinya sehingga ia menjelaskan kepada wanita itu atau sampai ia merasa memampu memenuhi hak-hak wanita itu. Demikian juga jika seandainya si laki-laki memiliki penyakit yang menghalanginya untuk bersenang-senang, maka si laki-laki wajib menjelaskan agar wanita itu tidak tertipu olehnya. Demikian juga tidak boleh (bagi laki-laki) menipu wanita dengan menyebutkan nasabnya (yang terhormat), harta maupun pekerjaan dengan berdusta. Juga (tidak boleh) bagi wanita (menipu laki-laki) jika merasakan dirinya tidak sanggup memenuhi hak-hak suami, atau dirinya memiliki cacat yang menghalangi suami untuk bisa bersenang-senang seperti gila, kusta, sopak atau penyakit pada kemaluan, tidak boleh bagi wanita menipu laki-laki, ia wajib menerangkan cacat pada dirinya itu, sebagaimana wajibnya seorang pedagang menjelaskan cacat barang dagangannya. Ketika salah satunya menemukan cacat pada diri yang lain, maka ia berhak menolaknya. Jika cacatnya pada wanita, maka suaminya mengembalikan wanita itu dan mengambil mahar yang telah diberikan. Disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menikahi wanita dari Bani Bayaadhah, lalu ditemukan dalam pinggangnya sopak, maka Beliau mengembalikan dan bersabda, “kamu telah menipuku.”[1]
Dan ada perbedaan riwayat dari Malik tentang isteri seorang yang lemah syahwat, ketika si wanita menyerahkan dirinya lalu dipisahkan karena sebab lemah syahwat, Imam Malik sesekali berpendapat, bahwa wanita itu berhak mendapatkan seluruh mahar, sesekali ia berpendapat bahwa wanita itu berhak mendapatkan separuh mahar. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapatnya, “Karena sebab apa wanita berhak mendapatkan mahar?” Apakah karena ia telah taslim (menyerahkan diri kepada suami) atau karena digauli? Ada dua pendapat (dalam hal ini).”[2]
Singkatnya, hukum menikah berbeda-beda tergantung keadaan orangnya, kesiapan jasmani dan hartanya serta kesiapannya memikul beban yang akan ditanggungnya. Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ".
“Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang memiliki kemampuan, maka hendaknya ia menikah; karena nikah dapat menundukkkan pandangan dan menjaga kehormatan. Namun jika masih tidak mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa adalah pengebirinya.” (HR. Bukhari, Muslim, dll.)
Maksud “Baa’ah (mampu)” di sini adalah bisa mampu berjima’, bisa juga mampu memikul beban pernikahan. Sebenarnya kedua pendapat ini tidak bertentangan karena maksud mampu berjima’ adalah karena dirinya mampu memikul beban pernikahan.
Dalam hadits tersebut terdapat dua cara melawan syahwat atau menghindari bahayanya, yaitu:
a.     Menikah jika sudah mampu.
b.     Berpuasa, jika ia tidak mampu menikah.
Larangan tabattul (mengkhususkan diri untuk beribadah) bagi yang mampu menikah
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu pernah berkata:
رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا .  
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk tabattul, kalau seandainya Beliau mengizinkan dia (Utsman) tentu kami melakukan pengebirian.” (HR. Bukhari)
Thabariy berkata, “Tabattul yang diinginkan Utsman bin Mazh’un adalah pengharaman wanita, wewangian serta segala yang enak, oleh karena itu turun ayat terhadapnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Terj. QS. Al Maa’idah: 87)
Memilih calon isteri
Dalam memilih calon istri disyariatkan memilih wanita yang baik agamanya atau wanita salihah, inilah yang hendaknya didahulukan. Wanita salihah senantiasa menjaga agamanya, berpegang dengan keutamaan, memperhatikan hak suami dan memelihara anak-anaknya. Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا , وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا , فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita dinikahi karena empat hal; karena harta, keturunan, kecantikan dan karena agamanya. Pilihlah yang baik agamanya, maka kedua tanganmu akan menyentuh tanah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wanita salihah juga menarik suami, taat, berbakti dan amanah. Dalam hadits disebutkan:
خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ اِذَا نَظَرْتَ اِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَاِذَا اَمَرْتَهَا اَطَاعَتْكَ وَاِذَا اَقْسَمْتَ عَلَيْهَا اَبَرَّتْكَ وَاِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Wanita yang terbaik adalah wanita yang jika kamu pandang menyenangkanmu, jika kamu suruh menaatimu, jika kamu bersumpah ia melaksanakan sumpahmu dan jika kamu sedang pergi, ia menjaga dirinya dan hartamu.” (HR. Thayalisi dan Al Bazzar)
Lebih baik lagi memilih wanita yang berasal dari lingkungan yang baik, beradab tinggi, sopan-santun dan tenang. Wanita seperti ini biasanya sangat sayang kepada anak dan memperhatikan sekali hak suami. Dan biasanya tabi’at seperti ini akan diwariskan oleh keturunannya. Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَالنَّاسُ مَعَادِنُ خِيَارُهُمْ فِى الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقِهُوا ، 
“Manusia itu seperti barang tambang. Orang yang terbaik di zaman jahiliyyah adalah orang yang terbaik dalam Islam jika mereka paham (agama).” (HR. Bukhari)
Demikian juga disunatkan memilih wanita yang masih gadis. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Jabir radhiyallahu 'anhu,
فَهَلاَّ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ
“Mengapa kamu tidak menikahi yang masih perawan, agar dia bisa bercanda denganmu, dan kamu pun bisa bercanda dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu, hati wanita gadis masih belum terpikat dengan siapa-siapa karena belum pernah ada yang menikahinya, berbeda dengan janda.
Kecuali jika ada maslahatnya memilih janda, seperti yang dilakukan oleh Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu ketika ditanya Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam “Mengapa tidak gadis agar engkau dapat bercanda dengannya dan ia dapat bercanda denganmu?” Dia menjelaskan, bahwa dirinya memiliki adik-adik perempuan yang masih kecil, dia tidak ingin menghadirkan kepada adik-adiknya orang yang seperti mereka,  dan ia ingin menghadirkan wanita yang bisa mengurus dan mengarahkan mereka (sebagaimana dalam Shahih Muslim pada bab istihbab nikahil bikr).
Demikian juga disunatkan memilih wanita yang subur dan sangat cinta, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ . فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Nikahilah wanita yang sangat cinta dan subur, karena aku akan berbangga-bangga di dengan banyaknya di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud dan Nasa'i, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Cara mengetahui kesuburannya bisa dengan melihat saudari-saudarinya atau kerabatnya.
Dan disunatkan pula mencari wanita yang cantik agar lebih menundukkan pandangannya, menenangkan jiwanya, dan membuat dirinya lebih cinta. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh laki-laki yang hendak menikah agar melihat wanita yang hendak ia nikahi. 
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Waziz (Abdul 'Azhim bin Badawi), Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza'iriy), dll.


[1] Riwayat ini adalah dha’if jiddan (sangat dha’if).
[2] Insya Allah akan dijelaskan nanti.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger