بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (1)
[Definisi Nikah, Dalil Disyariatkan Nikah, Manfaat dan Hikmah
Pernikahan, Hakikat Nikah, dan Anjuran Untuk Menikah]
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan
tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan
penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta'rif
(definisi) pernikahan
Nikah secara bahasa artinya menyatukan.
Sedangkan secara syara', nikah artinya akad yang di dalamnya membolehkan
masing-masing pasangan untuk bersenang-senang dengan pasangannya melalui cara
yang disyariatkan.
Dalil disyariatkan menikah
Menikah itu hukumnya masyru’ (disyariatkan) berdasarkan
Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.
Dalam Al Qur'an, Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman,
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ
وَرُبَاعَ
"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat." (QS. An Nisaa’: 3)
Dalam hadits, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ
وِجَاءٌ".
“Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang mampu menikah[i], maka hendaknya ia menikah.
Karena nikah itu dapat menundukkkan pandangan dan menjaga kehormatan. Namun barang
siapa yang tidak mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat memutuskan
syahwatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
تَزَوَّجُوا
الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ؛ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
"Nikahilah wanita yang sangat cinta dan subur. Karena aku
akan berbangga dengan kalian di hadapan umat yang lain." (HR. Abu Dawud
dan Nasa'i, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Shahih An Nasa'i no. 3026)
Dan kaum muslim juga sepakat tentang
disyariatkan menikah.
Manfaat dan hikmah pernikahan
Allah Subhaanahu wa Ta'ala mensyariatkan nikah
karena hikmah yang banyak, di antaranya: menjaga keturunan, memperbanyak jumlah
kaum muslim, menjaga kehormatan, menolong kaum wanita dengan diberikan nafkah
yang wajib ditanggung suami, menjaga nasab, menumbuhkan ketenangan dan
ketentraman (lihat QS. Ar Ruum: 21), menjaga masyarakat dari moral yang merosot,
mengikat kekerabatan, dan lain-lain. Demikian juga memberikan ruang untuk
gejolak seks pada diri seseorang, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ
فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ
فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِى نَفْسِهِ » .
“Sesungguhnya wanita datang dengan rupa setan dan pergi dengan
rupa setan. Jika salah seorang di antara kamu melihat wanita (yang membuatnya
takjub), maka datangilah istrinya, karena hal itu dapat menolak gejolak yang
terjadi pada dirinya.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Apa itu nikah?
Nikah sebagaimana diterangkan definisinya adalah
akad syar’i yang membolehkan kedua belah pihak saling menikmati.
Nikah adalah sebuah ikatan yang kokoh, Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat. (QS. An Nisaa’: 21)
Sehingga dengan nikah, kedua belah pihak wajib
memenuhi haknya masing-masing.
Manusia tidaklah sama dengan hewan, yang syahwatnya
dibiarkan berjalan tanpa penjagaan, jantan dan betina berhubungan tanpa aturan.
Islam telah memberikan solusi yang indah, didasari atas ridha bukan paksaan,
didasari atas ijab-qabul sebagai tanda keridhaan, dan disaksikan bahwa
masing-masing telah menjadi bagian yang lain. Itulah pernikahan.
Dengan nikah kebutuhan manusia terpenuhi,
keturunannya terjaga dan wanita menjadi terpelihara, inilah jalan yang diridhai
Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Kebalikannya adalah zina yang merupakan jalan yang
seburuk-buruknya. Allah Ta'ala berfirman,
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء
سَبِيلاً
"Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Israa': 32)
Contoh pernikahan jahiliyah yang dibatalkan oleh Islam
Sebelum Islam datang, maka hubungan lawan
jenis pria dan wanita tidak terarah dan terjaga,
maka datanglah Islam dengan syariat nikah yang mulia. Berikut ini di antara pernikahan
jahiliyyah yang dibatalkan oleh Islam:
1. Nikah
khidn,
yakni wanita mencari laki-laki tertentu sebagai kawan untuk melakukan perzinaan
dengannya secara sembunyi-sembunyi. (lihat QS. An Nisaa’: 25).
2. Nikah
Badal,
yakni seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain, “Taruhlah istrimu
kepadaku, nanti aku akan taruh istriku
dan aku akan berikan tambahan.”
Selain itu ada juga nikah yang terjadi di zaman Jahiliyyah,
sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha berikut:
3. Nikah
Istibdhaa’,
yakni seorang suami berkata kepada istrinya setelah istrinya selesai haidh,
“Pergilah kepada si fulan, dan berhubunganlah dengannya agar kamu mendapatkan
bibit yang baik," lalu suaminya menjauhinya sampai istrinya hamil. Ketika
jelas hamilnya, maka ia menggauli jika mau. Nikah ini tujuannya untuk
mendapatkan bibit unggul.
4. Ada
juga pernikahan dengan cara sekumpulan laki-laki (kurang dari sepuluh) menemui
seorang wanita, semuanya menjima’inya. Ketika wanita itu sudah hamil, lalu
melahirkan dan telah lewat beberapa hari, wanita itu mengirim seseorang kepada
sekumpulan laki-laki itu, di mana masing-masing mereka tidak dapat menolak. Ketika
mereka telah berkumpul di hadapan wanita itu, wanita itu berkata, “Kalian
sudah tahu tentang perbuatan kalian. Sekarang saya sudah melahirkan. Anak ini
adalah anakmu wahai fulan," wanita itu menentukan laki-laki yang
disukainya untuk menasabkan anaknya kepada laki-laki itu, dan laki-laki itu
tidak bisa menolaknya.
5. Ada
juga cara lain selain di atas, yaitu ketika orang-orang berkumpul, kemudian
mereka menemui kaum wanita pelacur, di mana kaum wanita itu tidak menolak orang
yang datang kepadanya. Wanita-wanita pelacur ini biasanya memasang bendera di
pintunya sebagai tanda bolehnya siapa saja mendatanginya dan menggaulinya.
Ketika wanita ini hamil kemudian selesai melahirkan, orang-orang berkumpul di
hadapannya dan mengundang qaaffah (ahli nasab dengan cara melihat kesamaan),
lalu menasabkan anak itu kepada orang yang mereka lihat mirip.
Ketika Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, nikah jahiliyyah di atas dibatalkan dan dihancurkan
oleh Islam, tinggallah nikah yang sekarang berlaku, yaitu nikah yang harus ada
rukunnya, yaitu ijab dan qabul dengan adanya izin dari walinya
dan hadirnya saksi. Dengan akad seperti ini, maka masing-masing pasangan halal
bersenang-senang dengan yang lain, dan dengan itu pula terwujud hak dan
kewajiban yang harus dipikul.
Anjuran untuk menikah
Islam mendorong seseorang untuk menikah dengan
berbagai macam bentuk targhib (dorongan). Terkadang menyebutkan, bahwa nikah
itu termasuk sunnah para nabi dan petunjuk para rasul, di mana mereka adalah
para pemimpin yang patut diteladani. Allah Ta'ala berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا
لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul
sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan." (Terj. QS. Ar Ra'd: 38)
Terkadang menjelaskan, bahwa nikah adalah
nikmat yang diberikan Allah kepada manusia (lihat QS. An Nahl: 72), dan
terkadang menyebutkan, bahwa nikah adalah salah satu ayat di antara ayat-ayat
Allah (lihat QS. Ar Ruum: 21).
Bahkan ketika seseorang khawatir tidak sanggup
memikul beban pernikahan, Islam memberikan kabar gembira bahwa Allah akan
mencukupkannya. Allah Ta'ala berfirman,
إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui." (Terj. QS. An Nuur: 32)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
ثَلاَثَةٌ
حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتِبُ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ، وَالْمُتَزَوِّجُ
يُرِيدُ العَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
"Ada tiga orang yang akan dibantu
Allah: yaitu budak yang hendak melunasi iurannya (agar dirinya merdeka), orang
yang menikah dengan maksud menjaga dirinya, dan orang yang berjihad di jalan
Allah." (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ahmad, Tirmidzi,
Ibnu Majah, Nasa'i, Hakim, dan Baihaqi, lihat Ghayatul Maram fii Takhrij
Ahaaditsil Halaali wal Haraam: 210 oleh Syaikh Al Albani)
Mungkin terlintas dalam hati seseorang adanya
keinginan untuk tidak menikah karena ingin mengkhususkan diri untuk beribadah
atau agar membantu lebih zuhud terhadap dunia, maka Islam memberitahukan bahwa
hal itu menyalahi sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana
Beliau adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah namun
Beliau menikah. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ،
وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ
مِنِّي
Ketahuilah, sesungguhnya
aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya
dibandingkan kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku
tidur, dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang tidak suka sunnahku, maka
bukan termasuk golonganku." (HR. Bukhari).
Nikah juga merupakan ibadah yang dengannya
separuh agama seseorang menjadi sempurna, di mana seseorang bisa menghadap
Allah dalam keadaan yang sangat baik yaitu bersih dan suci. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفُ الدِّيْنِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ
الْبَاقِي
"Jika seorang hamba menikah, maka sesungguhnya separuh
agamanya telah sempurna. Oleh karena itu, hendaknya dia bertakwa kepada Allah
pada separuh agama sisanya."[ii] (HR. Baihaqi dalam Asy
Syu'ab dari Anas, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami'
no. 430)
Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari
Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: Ketika turun ayat,
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا
فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih," (Terj. QS. At Taubah: 34)
Kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam sebagian safarnya, lalu sebagian sahabatnya berkata, "Ayat
itu turun berkenaan dengan emas dan perak. Kalau sekiranya kita tahu harta apa
yang terbaik, agar dapat kita ambil?" Maka Beliau bersabda,
أَفْضَلُهُ
لِسَانٌ ذَاكِرٌ، وَقَلْبٌ شَاكِرٌ، وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلَى إِيمَانِهِ
"Yang paling utamanya adalah lisan yang berdzikr, hati yang
bersyukur, dan istri yang mukminan yang membantu imannya." (Hadits ini
dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 5355).
Imam Thabari meriwayatkan dengan sanad jayyid
dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ
مَنْ أَصَابَهُنَّ فَقَدْ أُعْطِيَ خَيْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: قَلْبًا شَاكِرًا،
وَلِسَانًا ذَاكِرًا، وَبَدَنًا عَلَى الْبَلاَءِ صَابِرًا، وَزَوْجَةً لاَ تَبْغِيْهِ
حُوْبًا فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
"Ada empat yang apabila semua itu diperolehnya, maka dia
berarti telah diberikan kebaikan dunia dan akhirat, yaitu: hati yang bersyukur,
lisan yang berdzikr, badan yang siap sabar terhadap ujian, dan istri yang tidak
menginginkan dosa bagi dirinya dan harta suaminya."
Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr
bin Ash, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الدُّنْيَا
مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
"Dunia adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia
adalah wanita salihah."
Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi
Waqqash, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ
سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلاثَةٌ، وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلاثَةٌ، مِنْ سَعَادَةِ
ابْنِ آدَمَ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ،
وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ: الْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ السُّوءُ، وَالْمَرْكَبُ
السُّوءُ
"Di antara kebahagiaan anak Adam ada tiga, dan di antara
kesengsaraan anak Adam juga ada tiga. Di antara kebahagiaannya adalah
mendapatkan istri yang salihah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan yang
baik. Sedangkan di antara kesengsaraannya adalah istri yang buruk, tempat
tinggal yang buruk, dan kendaraan yang buruk." (Hadits ini dinyatakan
shahih oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah. Hadits ini diriwayatkan
pula Thabrani, Al Bazzar, Hakim dan ia menshahihkannya).
Tafsir terhadap hadits di atas disebutkan pula
dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Hakim dari Sa'ad, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ
مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، تَرَاهَا تُعْجِبُكَ، وَتَغِيْبُ فَتَأْمَنُهَا
عَلَى نَفْسِهَا وَمَالِكَ، وَالدَّابَّةُ تَكُوْنُ وَطِيْئَةً تُلْحِقُكَ بِأَصْحَابِكَ،
وَالدَّارُ تَكُوْنُ وَاسِعَةً كَثِيْرَةَ الْمَرَافِقِ، وَثَلاَثٌ مِنَ الشِّقَاءِ:
الْمَرْأَةُ تَرَاهَا فَتَسُوْءُكَ، وَتَحْمِلُ لِسَانَهَا عَلَيْكَ، وَإِنْ غِبْتَ
عَنْهَا لَمْ تَأْمَنْهَا عَلَى نَفْسِهَا وَمَالِكَ، وَالدَّابَّةُ تَكُوْنُ قَطُوْفًا
فَاِنْ ضَرَبْتَهَا أَتْعَبْتَكَ، وَإِنْ تَرَكْتَهَا لَمْ تُلْحِقْكَ بِأَصْحَابِكَ،
وَالدَّارُ تَكُوْنُ ضَيِّقَةً قَلِيْلَةَ الْمَرَافِقِ
"Tiga hal yang termasuk kebahagiaan adalah istri yang
salihah, yang jika engkau pandang membuatmu senang, jika engkau pergi, maka dia
menjaga dirinya dan hartamu, serta hewan yang jinak lagi cepat yang dengannya
engkau dapat menyusul kawan-kawanmu, serta rumah yang luas dan banyak
perlengkapannya. Sedangkan tiga hal yang termasuk kesengsaraan adalah istri
yang jika engkau pandang menyedihkanmu, mulutnya tidak lepas mencelamu, dan
jika engkau pergi, ia tidak menjaga dirinya dan hartamu. Kemudian hewan yang
lambat. Jika engkau pukul, malah membuatmu lelah, dan jika engkau biarkan, maka
engkau tidak dapat menyusul kawan-kawanmu, serta rumah yang sempit dan sedikit
perlengkapannya." (Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahihul Jami' no. 3056).
Ibnu Mas’ud berkata, “Kalau sekiranya ajal
saya hanya tinggal sepuluh hari, dan saya mengetahui bahwa di akhirnya saya
wafat, sedangkan saya memiliki kemampuan untuk menikah maka saya akan menikah
karena takut terhadap fitnah.”
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi
wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Waziz (Abdul 'Azhim bin
Badawi), Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama), Al Mulakhkhash Al
Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza'iriy),
dll.
[i] Yakni mampu memikul
beban pernikahan.
[ii] Hadits ini membagi
takwa kepada dua bagian; sebagiannya dengan menikah, dan sebagian lagi dengan
selainnya. Menurut Abu Hatim, bahwa yang
menegakkan agama seseorang biasanya tergantung pada farji (kemaluan) dan
perutnya, dimana salah satunya terpenuhi dengan menikah.
0 komentar:
Posting Komentar