بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (3)
[Memilih Calon Suami dan Menjodohkan Wanita]
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan
pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Memilih calon suami
Seorang wali hendaknya mencarikan untuk
puterinya laki-laki yang salih. Oleh karena itu, ia tidak menikahkan kecuali
kepada orang yang baik agama dan akhlaknya; jika bergaul, maka ia bergaul
dengan cara yang baik, dan jika melepasnya, maka ia melepasnya dengan cara yang
baik. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ
فَأَنْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ
“Apabila
datang kepada kamu orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah
dengannya. Jika tidak kamu lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan
kerusakan.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hatim Al Muzanniy, dan dinyatakan hasan
lighairih oleh Syaikh Al Albani)
Seseorang pernah berkata kepada Al Hasan bin
Ali, "Sesungguhnya saya mempunyai puteri, maka kepada siapakah menurutmu
aku menikahkan dia?" Ia menjawab, "Nikahkanlah kepada orang yang
bertakwa kepada Allah. Jika ia mencintainya, maka ia akan memuliakan
(istrinya), dan jika ia membencinya, maka ia tidak akan menzaliminya."
Imam Al Ghazaliy berkata, "Berhati-hati
terhadap haknya sangat penting sekali, karena ia menjadi budak dengan menikah
yang tidak ada kesempatan keluar baginya. Sedangkan suami bebas mentalaknya
kapan saja. Jika ia menikahkan puterinya dengan laki-laki yang zalim, fasik,
Ahli Bid'ah, atau peminum khamr, maka sesungguhnya ia telah melukai agamanya
dan siap mendapatkan kemurkaan Allah karena memutuskan tali silaturrahim dan
salah memilih."
Ibnu Taimiyah berkata, "Jika seseorang
terus berada di atas kefasikan, maka tidak patut dinikahkan dengannya."
Dan tidak mengapa seseorang menawarkan
puterinya atau saudarinya kepada laki-laki salih, berdasarkan hadits Abdullah
bin Umar radhiyallahu 'anhuma berikut:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ حِينَ تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ
بِنْتُ عُمَرَ مِنْ خُنَيْسِ بْنِ حُذَافَةَ السَّهْمِىِّ - وَكَانَ مِنْ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَتُوُفِّىَ بِالْمَدِينَةِ -
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ : أَتَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَعَرَضْتُ
عَلَيْهِ حَفْصَةَ فَقَالَ : سَأَنْظُرُ فِى أَمْرِى . فَلَبِثْتُ لَيَالِىَ ثُمَّ
لَقِيَنِى فَقَالَ : قَدْ بَدَا لِى أَنْ لاَ أَتَزَوَّجَ يَوْمِى هَذَا . قَالَ
عُمَرُ : فَلَقِيتُ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ فَقُلْتُ : إِنْ شِئْتَ زَوَّجْتُكَ
حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ . فَصَمَتَ أَبُو بَكْرٍ فَلَمْ يَرْجِعْ إِلَىَّ شَيْئاً
، وَكُنْتُ أَوْجَدَ عَلَيْهِ مِنِّى عَلَى عُثْمَانَ ، فَلَبِثْتُ لَيَالِىَ
ثُمَّ خَطَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَنْكَحْتُهَا إِيَّاهُ ،
فَلَقِيَنِى أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ : لَعَلَّكَ وَجَدْتَ عَلَىَّ حِينَ عَرَضْتَ
عَلَىَّ حَفْصَةَ فَلَمْ أَرْجِعْ إِلَيْكَ شَيْئاً . قَالَ عُمَرُ قُلْتُ :
نَعَمْ . قَالَ أَبُو بَكْرٍ : فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِى أَنْ أَرْجِعَ إِلَيْكَ
فِيمَا عَرَضْتَ عَلَىَّ إِلاَّ أَنِّى كُنْتُ عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم قَدْ ذَكَرَهَا ، فَلَمْ أَكُنْ لأُفْشِىَ سِرَّ رَسُولِ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم وَلَوْ تَرَكَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
قَبِلْتُهَا .
“Bahwa
Umar bin Al Khaththab pada saat Hafshah binti Umar menjadi janda dari Khunais
bin Hudzaafah As Sahmiy –ia termasuk sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dan wafat di Madinah-, Umar bin Al Khaththab berkata, “Aku datang kepada
Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah kepadanya,” ia berkata, “Saya
pikir-pikir dahulu,” aku pun menunggunya beberapa hari, setelah itu Utsman
menemuiku dan berkata, “Sepertinya sekarang-sekarang ini saya sedang tidak
hendak menikah.” Umar berkata, “Lalu aku menemui Abu Bakar Ash Shiddiq dan
berkata, “Jika kamu mau, saya akan menikahkan kamu dengan Hafshah binti Umar.”
Abu Bakar pun diam dan tidak memberikan jawaban, aku pun kesal kepadanya
melebihi kesalku kepada Utsman, aku menunggu beberapa hari, ternyata Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam yang melamarnya, maka aku pun menikahkannya
kepada Beliau, lalu Abu Bakar menemuiku dan berkata, “Mungkin kamu kesal
kepadaku ketika kamu menawarkan Hafshah kepadaku, lalu aku tidak memberikan
jawaban," Umar menjawab, “Ya,” Abu Bakar mengatakan, “Sebenarnya tidak ada
yang menghalangiku untuk memberikan jawaban ketika kamu menawarkan, selain karena
aku sudah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah
membicarakannya, aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, kalau seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
meninggalkannya, tentu aku menerimanya.“ (HR. Bukhari dan Nasa'i)
Menjodohkan Wanita
Wanita yang akan dijodohkan itu ada tiga macam;
gadis yang di bawah usia baligh, gadis remaja yang baligh dan janda.
Masing-masing memiliki hukum tersendiri.
1. Gadis
yang di bawah usia baligh.
Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa ayahnya
boleh mengawinkannya tanpa meminta izin anak itu, karena ia tidak memiliki hak
untuk dimintai izin, berdasarkan riwayat berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم وَهِىَ بِنْتُ سِتٍّ وَبَنَى بِهَا وَهِىَ بِنْتُ تِسْعٍ وَمَاتَ
عَنْهَا وَهِىَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ .
Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam menikahi dirinya ketika ia berumur enam tahun[i]. Berkumpul bersamanya,
ketika ia berumur sembilan tahun, dan ditinggal wafat oleh Beliau ketika ia
berumur delapan belas tahun.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang ayah boleh
mengawinkan puterinya yang belum baligh baik kepada laki-laki dewasa maupun
yang sudah tua[ii].
Ibnu Qudamah mengatakan: Ibnul Mundzir berkata,
“Para ulama kenamaan yang kami ketahui semuanya sepakat, bahwa seorang ayah
boleh menikahkan anak gadisnya yang belum baligh, asalkan ia menjodohkannya
dengan laki-laki yang sekufu’ (setaraf dari sisi akhlak maupun kesalihannya).”
Namun sebaiknya seorang wali memperhatikan usia
calon suami puterinya yakni jangan terlalu jauh perbedaan umurnya, karena hal
ini dapat membantu langgengnya pernikahan dan tetapnya kemesraan antara
keduanya. Disebutkan dalam riwayat, bahwa Abu Bakar dan Umar radhiyallahu
'anhuma pernah meminang Fathimah puteri Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa
sallam, lalu Beliau menjelaskan bahwa Fathimah masih kecil, kemudian ketika
‘Ali radhiyallahu 'anhu yang melamarnya, maka Rasulullah shallalllahu 'alaihi
wa sallam menjodohkannya.
Apakah jika wanita ini baligh berhak khiyar (memilih antara
melanjutkan pernikahan atau tidak)?
Jawab: Di antara ulama ada yang berpendapat,
bahwa si wanita tidak berhak khiyar, namun yang lain berpendapat bahwa wanita
berhak khiyar setelah balighnya karena adanya riwayat bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam menikahkan Umamah bintu Hamzah ketika ia masih kecil dan
memberikan hak khiyar kepadanya ketika baligh, wallahu a'lam.
2. Gadis
remaja yang sudah baligh
Ia tidak boleh dikawinkan kecuali atas izinnya.
Tanda izinnya adalah dengan diamnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
لَا
تُنْكَحُ اَلْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ, وَلَا تُنْكَحُ اَلْبِكْرُ حَتَّى
تُسْـتَأْذَنَ" قَالُوا : يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَكَيْفَ إِذْنُهَا ? قَالَ
: " أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak
boleh dinikahkan janda kecuali setelah diajak berembuk, dan tidak boleh seorang
gadis dinikahi kecuali setelah diminta izinnya.” Para shahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, bagaimanakah izinnya?" Beliau menjawab, “Dengan diamnya.”
(Muttafaq 'alaih)
Oleh karena itu, harus ada izin darinya,
meskipun yang mengawinkannya adalah ayahnya.
3. Janda
Janda tidak boleh dikawinkan kecuali atas
izinnya. Tanda pemberian izinnya adalah pernyataan melalui ucapannya, berbeda
dengan gadis yang cukup dengan diamnya.
Catatan:
- Jumhur
ulama berpendapat, bahwa tidak boleh bagi wali selain ayah atau kakek menikahkan
wanitanya yang masih kecil. Jika terjadi maka tidak sah. Namun Abu
Hanifah, Al Auza'iy, dan jamaah dari
kaum salaf berpendapat, boleh bagi semua wali dan sah, namun si wanita berhak
khiyar ketika sudah baligh. Alasannya adalah riwayat bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam pernah menikahkan Umamah bintu Hamzah ketika ia masih kecil
dan memberikan hak khiyar kepadanya ketika baligh.
- Tidak
sah menikahkan wanita yang masih kecil atau budak dengan orang yang mempunyai
aib yang nikah bisa ditolak karena aib itu. Seharusnya walinya memperhatikan
maslahat wanita. Namun jika si wali tidak mengetahui ‘aib itu, maka apabila
sudah tahu, nikah itu dibatalkan (fasakh) untuk menghilangkan bahaya yang
mungkin terjadi.
- Apabila
wanita yang dewasa dan berakal ridha dengan laki-laki yang terpotong
kemaluannya atau yang lemah syahwat,
maka walinya tidak boleh melarangnya, karena yang punya hak digauli itu
isteri bukan selainnya.
- Apabila
si wanita ridha menikah dengan laki-laki gila, berkusta atau sopak maka walinya
berhak mencegahnya, karena hal itu berbahaya di mana bisa saja menurun ke anak.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi
wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Waziz (Abdul 'Azhim bin Badawi),
Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy
(Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza'iriy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar