بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (6)
[Akad Nikah, Rukun dan Syaratnya]
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan
hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Anjuran diadakan khutbah nikah
Dianjurkan sebelum melangsungkan akad nikah
didahului dengan khutbah, baik dilakukan oleh orang yang akad maupun oleh orang lain yang hadir di situ, lafaz pendeknya
adalah dengan mengucapkan, “Al Hamdulillah wash shalaatu was salaamu ‘alaa
rasuulillah,” dan ditambah dengan kalimat syahadatain di sana. Dalilnya
adalah hadits berikut:
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا
تَشَهُّدٌ، فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ»
“Setiap khutbah yang tidak ada syahadatnya,
maka seperti tangan yang berkusta.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan
oleh Al Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ، لَا
يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدِ، أَقْطَعُ»
“Semua
perkara yang bernilai, namun tidak diawali dengan hamdalah (ucapan Al
Hamdulillah), maka ia terputus.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits ini
dihasankan oleh Ibnush Shalah dan Imam Nawawi, dan diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban dalam Shahihnya dan Hakim dalam Mustadraknya. Namun
menurut Al Albani, hadits ini dha'if, wallahu alam).
Maksudnya adalah bahwa semua perkara yang perlu
diperhatikan, namun tidak diawali dengan hamdalah, maka perkara itu terputus
dari keberkahan. Dan maksudnya bukanlah khusus hamdalah, tetapi maksudnya dzikrullah
agar sesuai dengan riwayat-riwayat yang lain. Meskipun demikian, yang paling
utama adalah berkhutbah dengan Khutbatul haajah sbb.:
إِنَّ اَلْحَمْدَ لِلَّهِ , نَحْمَدُهُ , وَنَسْتَعِينُهُ ,
وَنَسْتَغْفِرُهُ , وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا , مَنْ
يَهْدِهِ اَللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ,
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي
تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا
قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Artinya:
Sesungguhnya segala puji
milik Allah kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, meminta ampunan
kepada-Nya, berlindung juga kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan keburukan
amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak
ada yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tidak
ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak
disembah kecuali Allah saja; tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.
Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali
Imraan: 102)
“Wahai sekalian manusia!
Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
daripadanya Allah menciptakan istri; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS.
An Nisaa’: 1)
Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang
benar--Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenangan yang besar. (QS. Al Ahzaab: 70-71)
Ibnu Mas’ud
berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kami tasyahhud
dalam (khutbah) haajat, yaitu: Innal hamda lillah…..dst. (HR. Ahmad dan empat
orang, dihasankan oleh Tirmidzi dan Hakim).
Meskipun
demikian, kalau tidak mengawali dengan khutbah, maka nikah tetap sah. Dalilnya
adalah hadits Sahl bin Sa'id As Sa'idiy yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, bahwa ada seorang wanita yang hendak menghibahkan dirinya kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau tidak berminat, kemudian ada seorang
yang meminta agar wanita itu dinikahkan kepadanya, lalu Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam meminta laki-laki itu menyiapkan maharnya, tetapi laki-laki
itu tidak mampu membawakannya, hingga akhirnya laki-laki itu menjadikan
maharnya dengan mengajarkan Al Qur'an. Ketika itu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam menikahkan wanita itu kepadanya dan tidak berkhutbah.
Hikmah adanya khutbah nikah
Dalam Hujjatullah
Al Baalighah disebutkan, “Dahulu kaum jahiliyyah berkhutbah sebelum akad
dengan kata-kata yang mereka pandang baik, yaitu menyebutkan kelebihan kaumnya
dsb. Dengan cara seperti itu, mereka menyebutkan maksud (mereka) dan
meninggikannya, dan dengan begitu menjadi resmi bermaslahat. Karena khutbah
dasarnya mempopulerkan dan menjadikan sesuatu dapat didengar dan dilihat orang
banyak. Dan meninggikan sesuatu yang diinginkan dalam pernikahan tujuannya
untuk membedakan dengan perzinaan. Di samping itu, khutbah tidak digunakan
kecuali dalam masalah-masalah penting. Perhatian kepada nikah dan
menjadikannnya sebagai masalah penting di antara mereka termasuk maksud yang
besar. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan asalnya dan merubah
sifatnya. Di sana Beliau menggabungkan antara maslahat-maslahat ini dengan
maslahat lain, yaitu selayaknya dipadukan setiap memilih pasangan kata-kata yang
cocok dan meninggikan setiap amal dengan syi’ar-syi’ar Allah agar agama yang
hak ini tersebar tanda dan benderanya, tampak syi'ar dan tandanya. Maka di sana
Beliau menyunnahkan beberapa dzikr seperti hamdalah, isti’anah, istighfar,
ta’awwudz, tawakkal, tasyahhud, dan beberapa ayat Al Qur’an (ini semua ada
dalam khutbatul haajah), Beliau juga mengisyaratkan untuk maslahat ini dengan
sabda Beliau, “Setiap khutbah yang tidak ada syahadatnya adalah seperti
tangan yang kusta.” Juga sabda Beliau, “Setiap ucapan yang tidak diawali
hamdalah adalah terputus” (telah dibahas takhrijnya), dan sabda Beliau:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الصَّوْتُ وَالدُّفُّ
فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara yang halal (nikah) dan
yang haram (zina) adalah suara dan rebana dalam pernikahan.” (HR. Ahmad,
Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Hakim, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul
Jami' no. 4206)."
Rukun Nikah
Rukun nikah itu adalah:
1. Kedua
belah pihak mempelai ada tanpa adanya penghalang yang menghalangi sahnya nikah, misalnya wanita tersebut
haram bagi laki-laki karena nasab, sepersusuan, masih menjalani masa 'iddah dan
sebagainya, atau laki-lakinya kafir sedangkan wanitanya muslimah. jika seperti
ini, maka tidak sah.
2. Adanya
ijab,
yaitu lafaz yang diucapkan si wali atau yang menduduki posisinya misalnya
mengatakan, “Saya nikahkan kamu dengan si fulaanah.”
3. Adanya
qabuul, yaitu
lafaz yang diucapkan calon suami atau yang menduduki posisinya, misalnya
mengatakan, “Saya terima pernikahan atau perkawinan ini.”
Dalil bahwa ucapan ijab
seperti di atas adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا
زَوَّجْنَاكَهَا (الأحزاب: 37)
"Maka
ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia.” (QS. Al Ahzaab: 37)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim berpendapat, bahwa nikah sah dengan lafaz
yang menunjukkan demikian, dan tidak terbatas dengan kata-kata menikahkan dan
mengawinkan.
Dan nikah juga sah dari
orang yang bisu dengan tulisan atau isyarat yang dapat dipahami.
Jika ijab dan qabul
terlaksana, maka nikah dianggap jadi, meskipun yang mengucapkannya hanya
bermain-main, tidak bermaksud sungguh-sungguh. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ جِدُّهنَّ جِدٌّ , وَهَزْلُهُنَّ
جِدٌّ : اَلنِّكَاحُ , وَالطَّلَاقُ , وَالرَّجْعَةُ
“Ada
tiga hal; jika serius dianggap serius dan jika bercanda dianggap
sungguh-sungguh; nikah, thalaq dan rujuk.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh
Al Albani)
Syarat sah nikah
Syarat sah nikah ada 4:
1. Jelas
siapa calon suami atau isterinya. Oleh karena itu, tidak cukup hanya
mengatakan, “Saya nikahkan puteri saya kepadamu,” Sedangkan dia memiliki banyak
puteri. Untuk mengetahui “siapanya?” Bisa dengan isyarat, menyebutkan nama
ataupun sifat yang membedakan dari yang lain.
2. Keridhaan
kedua belah pihak; suami-isteri. Oleh karena itu, tidak sah jika karena
dipaksa, kecuali bagi yang masih kecil yang belum baligh atau bagi yang kurang
akal, maka bagi walinya boleh menikahkan tanpa izinnya.
Dalil syarat no. 2 ini adalah hadits Abu
Hurairah berikut, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى
تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟
قَالَ: «أَنْ تَسْكُتَ»
"Tidak
boleh janda dinikahkan sampai diajak berembuk, dan tidak boleh gadis dinikahkan
sampai diminta izinnya." Para
sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya?" Beliau
menjawab, "Yaitu dengan diamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Wali
wanita yang menikahkannya, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak
sah nikah tanpa wali.” (HR. Lima orang ahli hadits selain Nasa’i, dan
dishahihkan oleh Al Albani)
Oleh karena itu, jika seorang wanita menikahkan
dirinya tanpa wali, maka nikahnya batal (tidak sah), karena hal itu membawa
kepada perzinaan. Demikian juga, karena wanita kurang mengetahui tentang hal
yang lebih bermaslahat untuk dirinya. Dalil lain bahwa yang menikahkan adalah
harus walinya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,
وَأَنْكِحُوا
الْأَيَامَى مِنْكُمْ
"Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu.” (QS. An Nuur : 32)
Di ayat ini, Allah menujukan khithab
(firman)-Nya kepada para wali[i].
4. Adanya
saksi pada akad nikah. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam,
لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak sah nikah, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang
adil.” (HR. Baihaqi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no.
7557)
Sebagian masalah di atas akan dijelaskan lebih
rinci lagi nanti, Insya Allah.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi
wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Wajiz (Abdul 'Azhim
bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), dll.
[i] Menurut
Syaikh Shalih Al Fauzan dalam Al Mulakhkhash Al Fiqhi, bahwa wali bagi
wanita adalah ayahnya, washiy (orang yang mendapat wasiat) terhadapnya,
kakeknya dari sebelah bapak dan seterusnya ke atas, anaknya yang laki-laki,
lalu cucunya dan seterusnya ke bawah, saudaranya sekandung, lalu saudaranya
seayah, lalu anak-anaknya, kemudian pamannya sekandung, lalu paman seayah,
kemudian anak-anaknya, lalu ashabahnya yang lebih dekat nasabnya seperti dalam
warisan, lalu orang yang memerdekakan, kemudian hakim. Dan nanti akan dibahas
juga tentang masalah wali, insya Allah.
0 komentar:
Posting Komentar