بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (4)
[Wanita Yang Boleh Dilamar, Melamar
Wanita Yang Menjalani Masa ‘Iddah Dari Orang Lain, dan Melamar Wanita Setelah Dilamar
Oleh Yang Lain]
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan
pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Wanita yang boleh dilamar
Wanita boleh dilamar jika terpenuhi dua syarat:
1. Tidak
ada penghalang syar’i yang menghalangi untuk dinikahi saat itu.
Jika ada penghalang syar’i, misalnya wanita itu haram
dinikahinya baik mu’abbadah (selamanya) maupun mu’aqqatah (hanya sementara
waktu) maka tidak boleh dilamar.
2. Tidak
didahului dikhitbah oleh orang lain.
Jika sudah dilamar oleh orang lain, maka ia
tidak boleh melamarnya.
Melamar wanita yang menjalani masa ‘iddah dari orang lain
Haram melamar wanita yang menjalani masa
‘idddah (menunggu), baik karena ‘iddah wafatnya suaminya maupun ‘iddah karena
ditalaq (dicerai), baik talaqnya talaq raj’iy maupun talaq ba’in.
Beberapa Faedah/Catatan:
q Jika
seorang wanita menjalani masa ‘iddah karena talaq raj’iy, maka haram dilamar,
karena wanita itu masih belum lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya, di
mana suaminya berhak merujuknya kapan saja ia mau.
q Jika
wanita menjalani masa ‘iddah karena talaq ba’in, maka yang haram adalah dilamar
secara sharih (tegas)[i], karena hak suami masih
terkait, dan suami berhak merujuknya
dengan ‘akad yang baru. Jika seseorang maju melamarnya adalah sama saja
mendahului bekas suaminya. Namun para ulama berbeda pendapat dalam hal melamar
wanita tersebut dengan cara ta’ridh (sindiran atau tidak sharih). Pendapat yang
benar adalah boleh.
q Jika
wanita itu sedang menjalani masa ‘iddah karena wafatnya suami, maka boleh
dilamar ketika wanita itu masih menjalani masa ‘iddah, namun tidak dengan cara
sharih (tegas)[ii].
Hikmah dilarang melamar secara sharih adalah karena memperhatikan kesedihan
istri dan berkabungnya, sekaligus menjaga perasaan keluarga si mayit dan ahli
warisnya.
Dalil masalah ini adalah firman Allah
Subhaanahu wa Ta'aala:
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ
خِطْبَةِ النِّسَاء أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ
سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلاَّ أَن تَقُولُواْ
قَوْلاً مَّعْرُوفًا وَلاَ تَعْزِمُواْ عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىَ يَبْلُغَ
الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ
فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[iii]
dengan sindiran[iv]
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Tetapi, janganlah kamu mengadakan
janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) perkataan yang ma'ruf[v].
Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis
'iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka
takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun. (QS. Al Baqarah: 235)
Yang dimaksud sindiran adalah seseorang
menyebutkan sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang tidak disebutnya. Contoh
sindiran “Saya ingin menikah,” atau mengatakan “Saya senang sekali, jika Allah
memudahkan kepada saya mendapatkan wanita shalihah,” dsb. Termasuk ke dalam
ta’ridh juga adalah memberikan hadiah kepada wanita yang menjalani masa iddah
ini. Demikian juga termasuk ke dalam ta'ridh adalah seseorang memuji dirinya
dan menyebutkan keturunannya secara sindiran untuk menikah.
Sukainah bintu Hanzhalah pernah berkata:
Muhammad bin ‘Ali pernah meminta izin menemuiku, sedangkan aku belum selesai dari
masa ‘iddah karena meninggalnya suamiku. Dia (Muhammad bin ‘Ali bin Husain)
berkata, “Kamukan sudah tahu adanya hubungan kerabat antara saya dengan
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam, adanya hubungan kerabat antara saya
dengan ‘Ali dan kedudukan saya di kalangan orang-orang ‘Arab.” Sukainah pun
berkata, “Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Ja’far, sesungguhnya engkau
adalah laki-laki yang dijadikan teladan, mengapa engkau melamarku dalam masa
‘iddahku?” Muhammad bin ‘Ali berkata, “Saya hanya memberitahukan kamu adanya
hubungan kerabat antara saya dengan Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam
dan dengan ‘Ali (yakni tidak melamar secara sharih/tegas).”
Kesimpulannya adalah bahwa menyebutkan
secara sharih (tegas) melamar adalah haram untuk semua wanita yang masih
menjalani masa ‘iddah, sedangkan menyebutkan secara ta’ridh (sindiran) adalah
mubah baik kepada wanita yang ditalaq ba’in maupun wanita yang menjalani masa
‘iddah karena wafatnya suami selain kepada wanita yang menjalani ‘iddah talaq
raj’iy. Sedangkan wanita yang ditalaq raj’iy haram dilamar baik secara sharih
maupun ta’ridh karena ia masih berstatus istri orang lain.
q Contoh
melamar secara sharih adalah mengatakan, “Saya ingin menikahi anda,” sedangkan
secara ta’ridh (sindiran), misalnya mengatakan, “Kamu masih sendiri yah?” Dan
bagi wanita boleh menjawab dengan ta’ridh (sindiran) juga, tidak boleh dengan
tashrih (terang-terangan).
q Bagaimana
jika ada seseorang yang melamar secara tegas kepada wanita yang masih menjalani
masa ‘iddah meskipun ‘akadnya dilakukan setelah selesai ‘iddahnya?
Jawab: Para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini. Imam Malik berpendapat bahwa ia harus dipisahkan, baik
sudah berkumpul (berkhalwat) maupun
belum. Namun menurut Imam Syafi’i bahwa ‘akadnya sah, meskipun ia telah
mengerjakan yang jelas-jelas terlarang. Tetapi mereka sepakat bahwa keduanya
harus dipisahkan jika seandainya ‘akad
dilakukan dalam masa ‘iddah dan sudah berkumpul (berkhalwat).
q Kemudian
apakah setelah selesai iddahnya wanita itu halal atau tidak? Imam Malik, Al
Laits dan Al Auzaa’iy berpendapat bahwa setelah selesai ‘iddah tidak halal
dinikahi. Namun jumhur ulama berpendapat bahwa setelah selesai ‘iddah halal
dinikahinya jika ia mau.
q Imam
Ibnul Qayyim berkata, “Dan dibolehkan mengkhitbah (melamar) wanita yang menjalani masa ‘iddah dengan tegas ataupun
sindiran bagi laki-laki yang mentalaqnya (suaminya) dengan talaq baa’in; kurang
dari tiga kali, karena boleh baginya menikahi wanita di masa ‘iddahnya.”
Syaikh Taqiyyuddin mengatakan, “Dibolehkan secara sharih
(tegas) dan sindiran bagi orang yang karenanya iddah dilakukan (suaminya), jika ia termasuk orang yang
halal menikahinya pada masa ‘iddah.”
Melamar wanita setelah dilamar oleh yang lain
Diharamkan melamar wanita yang sudah dilamar
oleh saudaranya apabila wanita itu sudah menerima lamarannya, sampai saudaranya
mengizinkan atau menolaknya, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْطُبْ أَحَدُكُمْ عَلىَ خِطْبَةِ أََخِيْهِ حَتَّى
يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يأذَنَ لَهُ
“Tidak boleh salah seorang di antara kamu melamar wanita yang
sudah dilamar saudaranya[vi], sampai pelamar sebelum
dia meninggalkan atau mengizinkannya.”
Khitbah (melamar) setelah dilamar oleh orang
lain menjadi boleh apabila:
a.
Si wanita menyatakan menolak ketika dilamar,
b.
Wanita tersebut menerima namun dengan sindiran
seperti mengatakan, “Aku tidak benci kepadamu,"
c.
Pelamar kedua tidak mengetahui sudah dilamar
oleh yang pertama,
d.
Pelamar pertama ditolak, atau
e.
Pelamar pertama mengizinkan kepada pelamar
kedua.
Dengan demikian, jika si wanita tidak
menyatakan secara tegas menerima, maka masih bisa dilamar oleh yang lain. Hal
ini berdasarkan hadits Fathimah bintu Qais, di mana dirinya pernah dilamar oleh
Abu Jahm dan Mu’awiyah, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
mengingkarinya, bahkan Beliau menjodohkannya dengan Usamah bin Zaid
radhiyallahu 'anhu.
Tirmidzi menukilkan dari Imam Syaafi’i tentang hadits
larangan melamar wanita yang sudah dilamar oleh yang lain, “Apabila wanita
dilamar, lalu ia ridha dan cenderung kepada pelamarnya, maka tidak boleh
seorang pun melamarnya setelah dilamar, namun jika tidak diketahui keridhaannya
dan kecenderungannya, maka tidak mengapa dilamar.”
Faedah:
Apabila
pelamar kedua melamar setelah dilamar oleh yang pertama dan yang pertama sudah
diterima, lalu yang kedua melakukan ‘akad nikah, maka menurut jumhur ulama adalah
sah namun ia berdosa, karena larangan tersebut kembalinya kepada khitbah
(lamaran), bukan kepada syarat sahnya nikah, maka tidak dibatalkan. Sedangkan
menurut Dawud Azh Zhaahiriy akadnya dibatalkan baik sudah berkumpul bersama
atau belum.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi
wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Wajiz (Abdul 'Azhim
bin Badawi), Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama), Al
Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim
(Abu Bakr Al Jaza'iriy), dll.
[i] Contoh secara sharih adalah
mengatakan, “Saya ingin menikahi anda.”
[ii] Contoh tidak sharih
adalah mengatakan, “Kamu masih sendiri yah?” dan bagi wanita boleh menjawab dengan
ta’ridh (sindiran) juga, tidak boleh dengan tashrih (terang-terangan).
[iii] Yakni yang suaminya
telah meninggal dan masih dalam 'iddah.
[iv] Wanita yang boleh
dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal
suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak raji'i
tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.
[v] Perkataan sindiran
yang baik.
[vi] Saudaranya di sini
adalah sesama muslim. Sehingga jika non muslim yang melamar maka tidak haram
melamar wanita itu. Namun ada yang berpendapat, bahwa mafhum kata
"saudara" hanyalah karena melihat ghalib (pada umumnya) sehingga
tidak berlaku.
0 komentar:
Posting Komentar