بسم الله الرحمن الرحيم
Sikap Ulama Salaf
Terhadap Kesalahan Saudaranya
Segala
puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut kisah ulama salaf dalam menyikapi kesalahan
saudaranya. Semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Mu’awiyah dan Miswar
radhiyallahu anhuma
Dari Aqil dan Ma’mar, dari Az Zuhri, ia
berkata, “Urwah telah menceritakan kepadaku, bahwa Al Miswar bin Makhramah
pernah mengabarkan kepadanya, bahwa ia pernah diutus untuk menemui Muawiyah.
Seusai menunaikan tugasnya, Muawiyah mengajaknya berbicara empat mata. Beliau
berkata, “Wahai Miswar, tuduhan apa yang engkau lontarkan kepada para
pemimpin?” Miswar mengelak, “Sudah, jangan bicarakan hal itu, kita bicarakan
yang baik-baik saja.” Beliau berkata, “Tidak, demi Allah, kamu harus berbicara
kepadaku tentang tuduhanmu kepadaku.” Miswar berkata, “Tidak ada cacian yang
kulontarkan kecuali kujelaskan semuanya kepada beliau.” Maka Beliau pun
menanggapi, “Aku memang tidak bisa lepas dari dosa. Tetapi sudikah engkau
menambahkan dengan menyebut kebaikan yang kami lakukan di tengah masyarakat?
Karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Ataukah engkau hanya
menyebut dosa kami dan melupakan kebaikan kami?” Miswar menjawab, “Ya.”
Mu’awiyah melanjutkan lagi, “Kami mengakui karena Allah dosa-dosa yang kami
lakukan. Dan kamu sendiri bagaimana, apakah kamu juga merasa memiliki dosa-dosa
pribadi yang kamu khawatirkan akan membinasakan dirimu jika dosamu tidak
diampuni?” Miswar menjawab, “Ya.” Beliau melanjutkan, “Tidaklah Allah
menjadikan dirimu lebih berhak untuk mengharapkan ampunan daripada diriku. Demi
Allah, perbaikan untuk umat yang aku lakukan lebih banyak daripada yang engkau
lakukan. Akan tetapi demi Allah, aku tidaklah diberi pilihan antara memilih Allah
dengan selain-Nya melainkan aku memilih Allah daripada selain-Nya. Aku juga
berada di atas agama (Islam) yang amal akan diterima dan diberi balasan
kebaikan. Begitu pula dosa, juga akan ada balasannya, kecuali jika Allah
mengampuninya.” Miswar berkata, “Beliau terus mendebatku.”
Urwah berkata, “Setelah itu, aku tidak pernah
mendengar Miswar ketika disebut nama Mu’awiyah melainkan ia mendoakannya.” (Siyar
A’lamin Nubala 3/150-151)
**********
Dari
Maimun bin Mihran ia berkata, “Aku mendengar Ibnu Abbas berkata, “Setiap kali
aku mendengarkan kabar yang tidak mengenakkan dari saudaraku sesama muslim,
melainkan aku sikapi dengan salah satu tiga hal ini; (1) apabila derajatnya
lebih tinggi dariku, aku menghormati kedudukannya, (2) apabila sejajar
denganku, aku berbuat baik kepadanya, (3) apabila lebih rendah dariku, aku
tidak akan membesar-besarkannya. Inilah perjalanan hidupku, barang siapa yang
tidak menyukainya, maka bumi Allah itu luas.” (Shifatush Shofwah 1/754)
**********
Dari Humaid Ath Thawil, dari Abu Qilabah ia
berkata, “Apabila ada kabar yang tidak mengenakkan dari saudaramu, maka carilah
uzur untuknya semampumu. Jika engkau tidak menemukan uzur untuknya, katakan
kepada dirimu, “Mungkin saudaraku memiliki uzur yang tidak aku ketahui.” (Shifatush
Shofwah 3/238)
**********
Diriwayatkan dari Raja bin Haiwah, ia
berkata, “Barang siapa yang bersahabat hanya dengan orang yang tidak memiliki
aib, maka ia akan memiliki sahabat sedikit. Barang siapa hanya mengharapkan
keikhlasan dari sahabatnya, ia akan banyak marah. Dan barang siapa yang mencela
sahabatnya atas setiap dosa yang dilakukannya, ia akan banyak musuh.” (Siyar
A’lamin Nubala 4/558)
**********
Dari Abu Ya’qub Al Madani ia berkata, “Antara
Hasan bin Hasan dan Ali bin Husain ada masalah, lalu Hasan bin Hasan datang
kepada Ali bin Husain yang pada saat itu sedang bersama teman-temannya di
masjid. Hasan mengungkapkan segala hal kepada Ali, sementara Ali hanya diam
saja. Hasan pun pergi. Ketika tiba malam harinya, Ali bin Husain mendatangi
Hasan di rumahnya dan mengetuk pintunya, sehingga Hasan pun keluar, lalu ia
(Ali) berkata, “Wahai saudaraku, jika ucapanmu terhadapku benar, maka semoga
Allah mengampuni dosaku, namun jika ucapanmu dusta, maka semoga Allah
mengampunimu. Assalamu alaikum.” Setelah itu ia pergi. Abu Ya’qub berkata,
“Setelah itu Hasan mengikutinya dan memeluknya dari belakang sambil menangis
tersedu-sedu. Kemudian ia berkata, “Sudah selesai masalahnya. Aku tidak akan
melakukan lagi hal yang tidak engkau senangi.” Ali membalas, ”Engkau juga sudah
kumaafkan atas apa yang engkau ucapkan terhadap diriku.” (Shifatush Shofwah
2/94)
**********
Dari Sufyan bin Uyaynah ia berkata, “Sa’id
bin Musayyib berkata, “Sesungguhnya dunia itu hina dan terus condong kepada
kehinaan. Namun yang paling hina adalah orang yang mengambilnya tanpa hak dan
mencarinya dengan tanpa jalan yang benar, serta meletakkannya bukan pada jalannya.”
(Shifatush Shafwah 2/81)
Dari Malik bin Anas ia berkata, “Sa’id bin
Musayyib berkata, “Setiap orang terhormat, berilmu, dan pemilik keutamaan pasti
memiliki aib. Akan tetapi, di antara manusia ada yang tidak patut disebut
aibnya; barang siapa yang keutamaannnya lebih banyak daripada kekurangan, maka
kekurangannya itu akan ditutup oleh keutamaannya tersebut.” (Shifatush
Shafwah 2/81)
Imam Adz Dzahabi dalam memaparkan biografi
Qatadah bin Di’amah As Sadusi berkata, “Berdasarkan kesepakatan para ulama,
riwayat-riwayat beliau (Qatadah) adalah hujjah apabila menyebut kata
‘mendengar’ karena ia terkenal mudallis dan berfaham Qadariyyah, kita meminta
maaf kepada Allah. Meskipun begitu, tidak ada seorang pun yang meragukan
kejujurannya, keadilannya, dan hafalannya. Semoga Allah memberi uzur kepada
orang yang semacam beliau yang tanpa sadar terjerumus ke dalam bid’ah tetapi
dengan niat mengagungkan Allah dan menyucikan-Nya. Di samping itu, ia telah
mengorbankan waktunya untuk agama. Allah adalah Mahabijaksana, Maha Adil dan
Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya, dan tidak diminta pertanggung-jawaban
terhadap apa yang diperbuat-Nya. Selain itu, para ulama besar apabila banyak
kebaikannya dan diketahui berusaha mencari yang hak (benar), ilmunya luas,
jelas kecerdasannya, diketahui kesalehannya, kewara’annya, dan berusaha untuk
ittiba (mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam), maka akan diampuni
ketergelincirannya, dan kita tidak akan menganggapnya sesat, mencampakkannya,
dan melupakan kebaikannya. Memang benar, untuk bid’ah dan kekeliruannya tidak
boleh diikuti, dan kita juga berharap, bahwa ia sudah bertaubat dari
kesalahannya itu.” (Siyar A’lamin Nubala 5/271)
**********
Dari Ibnul Madini, ia berkata, “Aku mendengar
Sufyan berkata, “Ibnu Ayyasy Al Manthuf pernah mencela Umar bin Dzar dan
mencaci-makinya, lalu Umar menemuinya dan berkata, “Wahai saudaraku, jangan
berlebihan dalam mencaci kami. Sisakanlah tempat untuk berdamai, karena kami
tidak akan membalas orang yang berbuat durhaka kepada Allah terhadap kami,
lebih daripada kami berbuat taat kepada Allah terhadapnya.” (Siyar A’lamin
Nubala 6/388, 389)
Abdan bin Utsman meriwayatkan dari Abdullah
bin Al Mubarak, bahwa ia berkata, “Apabila kebaikan seseorang lebih banyak
daripada keburukannya, maka tidak pantas disebut keburukannya. Tetapi jika
keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, maka kebaikannya tidak layak
disebut.” (Siyar A’lamin Nubala 8/398)
**********
Yunus Ash Shadafi berkata, “Aku belum pernah
melihat orang yang paling cerdas dibanding Imam Syafi’i. Suatu hari, aku pernah
mendebatnya dalam satu masalah, lalu kami berpisah, setelah itu ia bertemu
denganku dan memegang tanganku sambil berkata, “Wahai Abu Musa, apakah tidak
sepantasnya kita ini bersaudara meskipun tidak sependapat dalam satu masalah.”
(Siyar A’lamin Nubala 10/16)
Dari Yunus bin Abdul A’la ia berkata, “Imam
Syafi’i pernah berkata kepadaku, “Wahai Yunus, jika sampai kepadamu berita yang
tidak mengenakkan tentang kawanmu, maka janganlah engkau terburu-buru
memusuhinya dan memutus hubungan tali persaudaraan. Karena dengan demikian
engkau akan termasuk orang yang menghilangkan keyakinannya dengan keraguan.
Tetapi temuilah dia dan katakan kepadanya, “Telah sampai kepadaku tentang
dirimu begini dan begitu,” dan berhati-hatilah dari menyebut nama orang yang
menyampaikan kepadamu. Jika dia mengingkari hal itu, maka katakan kepadanya,
“Engkau adalah orang yang lebih jujur dan lebih benar.” Jangan engkau
perpanjang masalahnya. Tetapi jika ia mengakui, dan engkau melihat ada yang
bisa dijadikan alasan baginya dalam hal itu, maka terimalah. Namun apabila
engkau tidak mendapatkan alasan apapun baginya, maka katakan kepadanya,
“Memangnya apa maksudmu dengan perkara yang sampai beritanya kepadaku itu?”
Jika dia menyebutkan alasannya, maka terimalah darinya, namun jika engkau tidak
menemukan alasan baginya, sementara amat sulit jalan untuk mendapatkannya, maka
ketika itulah ditetapkan sebagai kesalahan. Selanjutnya engkau boleh memilih;
jika engkau mau, engkau bisa membalas dengan yang setara dengan perbuatannya
tanpa menambah-nambah, dan jika engkau mau, maka engkau boleh memaafkannya. Dan
memaafkan itu lebih dekat kepada takwa dan lebih menunjukkan kemuliaanmu,
sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ
عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
(40)
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan
yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Qs. Asy Syura: 40)
Kalau dengan balasan setimpal engkau masih
mendapatkan tantangan dari dirimu, fikirkanlah kebaikan-kebaikannya di masa
lalu, hitunglah semuanya, lalu balaslah kejahatannya yang sekarang dengan
kebaikan. Janganlah karena kejahatannya, engkau melupakan kebaikannya yang
terdahulu, karena itu sejatinya adalah kezaliman. Wahai Yunus, apabila engkau
memiliki teman, gandenglah dengan tanganmu erat-erat, karena mencari teman itu
sulit, sementara berpisah dengannya itu perkara mudah.” (Shifatush Shofwah
2/252-253)
Imam Adz Dzahabi ketika menyebutkan biografi
penakluk Andalusia An Nashiru Lidinilah berkata, “Aku telah menyebutkan
biografinya bersama biografi bapak-kakeknya, maka aku mengulanginya di sini
dengan mencantumkan beberapa tambahan dan faidah. Jika dia adalah seorang yang
menggebu-gebu dalam jihad dan menghadapi berbagai kesulitan, maka urusannya
diserahkan kepada Allah. Tetapi kalau ia orang yang mematikan jihad, berbuat
zalim kepada para hamba, merusak harta benda orang banyak, sesungguhnya Allah
Maha Mengawasi semua itu.” (Siyar A’lamin Nubala 15/564)
Abur Rabi Muhammad bin Al Fadhl Al Balkhi
berkata, “Aku mendengar Abu Bakar Muhammad bin Mahrawaih Ar Raziy berkata, “Aku
mendengar Ali bin Husain bin Junaid berkata, “Aku mendengar Yahya bin Ma’in
berkata, “Mungkin saja kami mencela satu kaum yang telah lebih dulu menginjakkan
kaki di surga sejak dua ratus tahun sebelumnya.”
Imam Adz Dzahabi berkata, “Kemungkinan yang
betul seratus tahun sebelumnya. Karena hingga masa Yahya bin Ma’in belum sampai
selama itu.”
Ibnu Mahrawaih berkata, “Aku menemui
Abdurrahman bin Abi Hatim sedangkan ia membacakan kitab Al Jarhu wat Ta’dil ke
tengah-tengah manusia, lalu aku sampaikan kisah itu (di atas), maka ia
menangis, kedua tangannya bergemetar sampai-sampai bukunya jatuh. Beliau terus
menangis dan memintaku untuk mengulangi kisah itu.”
Imam Adz Dzahabi berkata, “Beliau tersentuh
ketika mendengar kisah itu karena khawatir akan akibat yang bisa menimpanya,
padahal ucapan kritik dari orang yang wara terhadap para perawi lemah termasuk
nasihat dalam agama Allah dan membela Sunnah.” (Siyar A’lamin Nubala
13/268)
Adz Dzahabi ketika menyebutkan biografi
Muhammad bin Ahmad bin Yahya Al Utsmani Asy Syafi’i Al Asy’ariy berkata, “Orang-orang
Mu’tazilah yang militan, orang-orang Syi’ah militan, orang-orang Hanbali
militan, orang-orang Asy’ari militan, orang-orang Murji’ah militan, orang-orang
Jahmiyah militan, orang-orang Karramiyyah militan telah membuat dunia berguncang
dan mereka banyak jumlahnya. Di antara mereka ada yang pandai, ahli ibadah, dan
ahli ilmu. Kita memohon kepada Allah maaf dan ampunan untuk Ahli Tauhid dan
berlepas diri dari hawa nafsu dan kebid’ahan, kita mencintai Sunnah dan
pengikutnya, serta mencintai Ahli Ilmu karena ittiba (mengikuti Nabi
shallallahu alaihi wa sallam) dan sifat-sifat terpuji yang ada padanya, dan
kita tidak menyukai bid’ah yang diadakannya yang masih dalam batas
kewajarannya. Karena yang dijadikan patokan adalah banyaknya kebaikan yang ada
dalam dirinya.” (Siyar A’lamin Nubala 20/45-46)
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Aina
Nahnu min Akhlaqis Salaf (Abdul Aziz bin Nashir Al
Julail dan Bahauddin bin Fatih Aqil), Maktabah Syamilah, dll.
0 komentar:
Posting Komentar