Fiqih Jinayat (5)


بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن وما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطأ
Fiqih Jinayat (5)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang jinayat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Macam-Macam Pembunuhan
3. Pembunuhan khatha (keliru), yaitu seorang membuat orang lain terbunuh tanpa maksud membunuhnya.
Macam-macam pembunuhan khatha:
a. Khatha (keliru) dalam perbuatan, yaitu seseorang melakukan perbuatan yang memang dibolehkan, namun menimpa orang yang terpelihara darahnya, sedangkan ia tidak bermaksud membunuhnya. Misalnya melempar panah ke arah hewan buruan, namun malah menimpa seseorang yang membuatnya terbunuh, atau seseorang berbalik dalam tidurnya, lalu jatuh menimpa orang lain yang membuat orang lain terbunuh, atau membunuh seorang muslim di barisan kaum kafir yang dikiranya non muslim.
b. Khatha dalam niat,  yaitu seorang memanah sesuatu yang dikiranya mubah, namun ternyata manusia. Misalnya seseorang memanah sesuatu yang dikiranya hewan buruan, namun ternyata manusia yang terpelihara darahnya,
c. Si pembunuh secara sengaja adalah anak kecil atau orang gila, dimana kesengajaan anak kecil atau orang gila sama seperti khatha, karena keduanya tidak punya maksud.
Termasuk pembunuhan khatha adalah pembunuhan karena ia menjadi sebab. Misalnya seseorang menggali sumur atau galian di jalan, lalu ada orang meninggal karenanya.
Hukum membunuh secara khatha (keliru)
Terhadap pembunuhan khatha ada dua hukum:
Pertama, hukum ukhrawi, yakni ia tidak mendapatkan dosa berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ اللَّهَ قَدْ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ»
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan  umatku terhadap kesalahan tidak sengaja dari umatku, lupa, dan hal yang dipaksakan kepada mereka.” (Hr. Ibnu Majah dan Baihaqi, dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa no. 82)
Kedua, hukum duniawi, yakni wajibnya membayar diat yang ditanggung oleh keluarga (ashabah) pembunuh yang diberi tempo selama tiga tahun, dan diringankan diatnya dalam lima macam unta. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[i].” (Qs. An Nisaa: 92)
Demikian pula berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan terhadap janin wanita dari Bani Lihyan yang keguguran dengan diat ghurrah budak laki-laki atau perempuan[ii]. Lalu wanita yang ditetapkan mendapatkan ghurrah itu wafat.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menetapkan bahwa warisannya diberikan kepada suaminya dan anak-anaknya, dan bahwa diat itu ditanggung atas keluarga (ashabah) wanita pembunuh itu. (Hr. Bukhari dan Muslim)
Diyat karena pembunuhan khatha (tersalah) atas keluarga pembunuh diberi tempo selama tiga tahun, dan hakim berusaha mendorong masing-masing mereka untuk berbuat yang bisa mereka lakukan dengan dimulai dari yang paling dekat, dst.
Sedangkan bagi yang membunuh secara khatha di samping harus membayar diat juga melakukan kaffarat, yaitu:
a. Memerdekakan seorang budak yang mukmin. Hal ini jika ia sanggup memerdekakan budak. Dan disyaratkan budak tersebut harus mukmin dan selamat dari cacat berdasarkan Qs. An Nisa: 92. Jika tidak mampu memerdekakan karena fakirnya atau tidak ada budak, maka beralih kepada kaffarat di bawah ini:
b. Berpuasa dua bulan berturut-turut jika ia sanggup. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ
“Barangsiapa yang tidak memperolehnya[iii], maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An Nisa: 92)
Jika ia tidak sanggup berpuasa karena sakit atau lanjut usia, maka kaffarat itu masih dalam tanggungannya, dan tidak cukup dengan memberi makan, karena Allah Ta’ala tidak menyebutnya, dan ganti dalam kaffarat ini tergantung nash; tidak berdasarkan qiyas.
Catatan:
Menurut Syaikh Shalih Al Fauzan, barang siapa yang membunuh seorang muslim dalam barisan kaum kafir yang dikiranya kafir, maka pembunuhnya tidak wajib selain kaffarat saja berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً
“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[iv]. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu[v], padahal dia orang beriman, maka hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman[vi]. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan tobat dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Qs. An Nisaa: 92)
Di sini Allah menjadikan pembunuhan yang dilakukan karena tersalah (khatha) ada dua macam:
Pertama, pembunuhan yang mengharuskan adanya kaffarat bagi pembunuh dan diyat bagi ashabahnya, yaitu pembunuhan terhadap seorang muslim karena tersalah bukan karena ia di barisan kaum kafir dan apabila yang terbunuh dari kaum yang antara kita dengan mereka ada perjanjian.
Kedua, pembunuhan yang wajib diyat saja, yaitu membunuh seorang muslim yang sedang berada di barisan kaum kafir yang dikira oleh pembunuh sebagai orang kafir.
Imam Syaukani rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat, “Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman,Yakni Jika orang yang terbunuh dari kalangan kaum yang memusuhimu, yakni kaum kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin). Ini terkait dengan seorang muslim yang dibunuh kaum muslimin di negeri kafir, dimana orang ini berasal dari kalangan mereka (kaum kafir harbi) lalu masuk Islam namun tidak berhijrah, sehingga kaum mukmin mengira bahwa dia masih di atas agama kaumnya, sehingga tidak ada diyat bagi pembunuhnya, namun ia berkewajiban memerdekakan budak yang beriman.”
Para ulama berbeda pendapat sebab gugurnya diyat. Ada yang mengatakan, bahwa hal itu karena para wali korban adalah orang-orang kafir yang tidak memiliki hak dalam diyat. Ada pula yang mengatakan, bahwa orang yang beriman namun tidak berhijrah itu, maka kehormatannya sedikit karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka,” (Terj. Qs. Al Anfaal: 72). Sebagian Ahli Ilmu berpendapat, bahwa diyatnya untuk Baitul Mal…dst.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ini berkenaan dengan seorang muslim beruzur yang dirinya berada di tengah-tengah orang-orang kafir seperti seorang tawanan, serta muslim yang tidak mampu berhijrah dan keluar dari barisan mereka. Adapun seorang muslim yang berada di tengah-tengah barisan mereka karena keinginannya, maka tidak ada jaminan terhadapnya, karena ia dengan sengaja menghadapkan dirinya kepada kebinasaan tanpa uzur.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.


[i] Bersedekah di sini maksudnya membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat.
[ii] Ghurrah menurut istilah Ahli Fiqih adalah budak perempuan atau budak laki-laki kecil yang sudah tamyiz yang selamat dari cacat yang mengurangi nilainya. Inilah yang wajib dikeluarkan pelaku jinayat untuk diserahkan kepada Ahli Waris, dan jika tidak ada ghurrah, maka diyat janin berupa 1/10 dari diyat wanita. Sebagian ulama memperkirakan bahwa nilainya kurang lebih 213 gram emas. 
[iii] Maksudnya tidak mempunyai budak; tidak memperoleh budak yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. Menurut sebagian Ahli Tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya.
[iv] Bersedekah di sini maksudnya membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat.
[v] Yakni dari kalangan kaum kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin).
[vi] Yakni pembunuhnya cukup membayar kaffarat saja, yaitu dengan memerdekakan seorang budak yang beriman, dan tidak ada diyat yang diserahkan kepada keluarganya yang kafir harbi karena permusuhan dan peperangan yang mereka lancarkan kepada kaum muslimin.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger