بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jinayat (1)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut pembahasan
tentang jinayat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) Jinayat
Jinayat secara bahasa artinya tindakan aniaya terhadap badan,
harta, atau kehormatan.
Namun para fuqaha (Ahli Fiqih) menjadikan pembahasan jinayat
khusus pada penganiayaan pada badan, sedangkan hudud terkait penganiayaan pada
harta dan kehormatan.
Adapun secara syara’, jinayat adalah penganiayaan terhadap badan
yang mengharuskan adanya qishas, atau pengeluaran harta (diyat), atau kaffarat.
Pembagian jinayat
Jinayat terbagi dua:
1. Jinayat pada jiwa
2. Jinayat pada selain jiwa
Jinayat pada jiwa
Jinayat pada jiwa adalah semua perbuatan yang mengakibatkan
hilangnya nyawa seseorang, berupa melakukan pembunuhan.
Kaum muslimin sepakat tentang haramnya membunuh tanpa alasan yang
benar berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
إِلَّا بِالْحَقِّ
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
dibunuh) kecuali dengan alasan yang benar.” (Qs. Al Israa’: 33)
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ
جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا
عَظِيمًا
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannya adalah neraka Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs.
An Nisaa’: 93)
Demikian juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam,
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ
بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal ditumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi bahwa
tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah
Rasulullah kecuali karena salah satu tiga hal ini; jiwa dibunuh karena membunuh
jiwa, yang telah menikah berzina, dan orang yang keluar (murtad) dari agamanya
meninggalkan jamaah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ »
"Jauhilah
tujuh dosa yang membinasakan!"
« الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى
حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ » .
"Syirik kepada Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan Allah untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba,
memakan harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan, dan menuduh berzina
wanita yang suci mukminah yang tidak tahu-menahu." (HR. Bukhari-Muslim)
Beliau juga bersabda,
«لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ
عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ»
“Sungguh, hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah Azza wa Jalla
daripada terbunuhnya seorang muslim.” (Hr. Tirmidzi dan Nasa’i, dishahihkan
oleh Al Albani)
«لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ اشْتَرَكُوا فِي دَمِ مُؤْمِنٍ لَأَكَبَّهُمُ اللَّهُ فِي النَّارِ»
“Kalau sekiranya penduduk langit dan bumi berkumpul untuk
menumpahkan darah seorang mukmin, tentu Allah akan menjatuhkan mereka semua ke
neraka.” (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فِي الدِّمَاءِ
“Masalah yang pertama diputuskan di antara manusia pada hari Kimat
adalah terkait darah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
يَجِيءُ الرَّجُلُ آخِذًا بِيَدِ الرَّجُلِ فَيَقُولُ:
يَا رَبِّ، هَذَا قَتَلَنِي، فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ: لِمَ قَتَلْتَهُ؟ فَيَقُولُ:
قَتَلْتُهُ لِتَكُونَ الْعِزَّةُ لَكَ، فَيَقُولُ: فَإِنَّهَا لِي. وَيَجِيءُ الرَّجُلُ
آخِذًا بِيَدِ الرَّجُلِ فَيَقُولُ: إِنَّ هَذَا قَتَلَنِي، فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ:
لِمَ قَتَلْتَهُ؟ فَيَقُولُ: لِتَكُونَ الْعِزَّةُ لِفُلَانٍ، فَيَقُولُ: إِنَّهَا
لَيْسَتْ لِفُلَانٍ فَيَبُوءُ بِإِثْمِهِ
“Ada seorang yang datang (pada hari Kiamat) menarik tangan
seseorang dan berkata, “Ya Rabbi, orang ini telah membunuhku,” Allah Azza wa
Jalla berfirman kepadanya, “Mengapa engkau membunuhnya?” Ia menjawab, “Aku
membunuhnya agar kemuliaan hanya milik-Mu.” Allah berfirman, “Sesungguhnya
kemuliaan itu milik-Ku.” Lalu ada seorang pula yang menarik tangan saudaranya
dan berkata, “Orang ini telah membunuhku.” Allah Azza wa Jalla berfirman
kepadanya, “Mengapa engkau membunuhnya?” Ia menjawab, “Aku membunuhnya agar
kemuliaan untuk si fulan.” Allah berfirman, “Kemuliaan itu bukan untuk si
fulan,” maka ia kembali membawa dosanya.” (Hr. Nasa’i, dishahihkan oleh Al
Albani)
«لَنْ يَزَالَ المُؤْمِنُ
فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ، مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا»
“Seorang mukmin akan senantiasa mendapatkan kelapangan dalam
agamanya selama ia tidak menumpahkan darah yang diharamkan.” (Hr. Bukhari)
Dengan demikian, haramnya membunuh jiwa tanpa alasan yang benar
didasari Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma.
Hukum pembunuh jiwa tanpa alasan yang benar
Pembunuh jiwa tanpa alasan yang benar dihukumi fasik karena telah
mengerjakan dosa besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ
فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Qs.
Al Maidah: 32)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengancamnya dengan firman-Nya,
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ
جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا
عَظِيمًا
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya adalah neraka Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs.
An Nisaa’: 93)
Pelakunya dihukumi fasik karena melakukan salah satu dosa besar,
namun urusannya dikembalikan kepada Allah. Jika Dia menghendaki, maka Dia bisa
menyiksanya, dan jika Dia menghendaki, maka Dia bisa mengampuninya sebagaimana
firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.” (Qs. An Nisa: 48)
Sehingga orang tersebut berada di bawah kehendak Allah Ta’ala,
karena dosanya di bawah syirik. Tentunya, hal ini jika ia tidak bertaubat,
tetapi jika bertaubat, maka taubatnya diterima berdasarkan firman Allah Ta’ala,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى
أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah, "Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az Zumar: 53)
Akan tetapi hak orang yang terbunuh tidaklah gugur di akhirat
hanya dengan bertaubat, bahkan orang yang terbunuh akan mengambil kebaikan si
pembunuh sesuai kezalimannya, atau Allah memberikan kebaikan itu dari sisi-Nya,
dan hak orang yang terbunuh tidaklah gugur karena qishas, karena qishas
merupakan hak wali korban.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Yang benar adalah bahwa
pembunuhan terkait tiga hak; hak Allah, hak orang yang terbunuh, dan hak wali
korban. Jika seorang pembunuh menyerahkan dirinya kepada wali secara sukarela
karena menyesal dan takut kepada Allah, serta bertaubat dengan taubat nashuha,
maka hak Allah gugur dengan taubat, hak wali korban juga gugur dengan diqishas,
atau adanya shulh (damai) atau pemaafan, dan tinggallah hak korban yang akan
diberikan ganti oleh Allah terhadap hamba-Nya yang bertaubat serta Dia akan
memperbaiki hubungan si pembunuh dengan korban.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh
Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Minhajul
Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar