Fiqih Jinayat (3)

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق
Fiqih Jinayat (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang jinayat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hikmah Disyariatkan Qishas
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan qishas karena rahmat kepada manusia untuk menjaga darah mereka, mencegah tindak kezaliman, serta menimpakan kepada pelaku kejahatan sesuai kejahatan yang dilakukannya agar dia berfikir berulang kali ketika hendak membunuh orang lain. Demikian pula untuk meredam rasa marah dalam hati para wali korban dan menjaga kelangsungan hidup manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
 “Dan untukmu dalam qishas itu ada kehidupan wahai orang-orang yang berakal.” (Qs. Al Baqarah: 179)
Syarat qishas pada jiwa
Wali korban berhak qishas apabila terpenuhi empat syarat, yaitu:
1. Pembunuh telah mukallaf (baligh dan berakal), sehingga tidak berlaku qishas terhadap anak-anak dan orang gila, orang yang kurang akal dan orang yang tidur. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat pena dari tiga orang, yaitu: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila sampai berakal.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Di samping itu, mereka ini tidak memiliki niat yang sah atau tidak ada niat.
2.  Orang yang dibunuh terpelihara darahnya, karena qishas disyariatkan untuk menjaga darah, sedangkan orang yang sia-sia darahnya tidak terjaga. Oleh karena itu, jika ada seorang muslim membunuh kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin) atau membunuh orang murtad sebelum bertobat, atau membunuh pezina muhshan (yang telah menikah), maka tidak ada qishas dan diat. Akan tetapi, ia diberi hukuman ta’zir (sanksi sesuai ijtihad hakim) karena sikapnya yang main hakim sendiri.
3. Harus sama keadaan antara pembunuh dan yang dibunuh, yakni sama dalam hal merdeka, agama, dan perbudakan. Oleh karena itu, tidak boleh dibunuh orang muslim karena membunuh orang kafir, meskipun orang muslim itu budak, sedangkan orang kafir itu orang merdeka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Orang muslim tidaklah dibunuh karena membunuh orang kafir.” (Hr. Bukhari)
Dan tidak boleh orang merdeka dibunuh karena membunuh budak berdasarkan firman Allah Ta’ala,
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ
“Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba.” (Qs. Al Baqarah: 178)
Al Hasan berkata, “Orang merdeka tidak dibunuh karena membunuh budak.” (Shahih maqthu (dari Al Hasan), diriwayatkan oleh Abu Dawud).
Selain itu tidak ada pengaruhnya dalam qishas ketika berbeda, sehingga orang terhormat dibunuh karena membunuh orang biasa, laki-laki dibunuh karena membunuh wanita, orang sehat dibunuh karena membunuh orang gila dan kurang akal berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa.” (Qs. Al Maidah: 45)
4. Bukan sebagai anak, yakni yang dibunuh bukan anaknya dan seterusnya ke bawah.
Oleh karena itu, tidak boleh dibunuh salah seorang dari orang tua dan seterusnya ke atas karena membunuh anak dan seterusnya ke bawah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
لاَ يُقْتَلُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ
“Ayah tidaklah dibunuh karena membunuh anaknya.” (Hr. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Namun anak dibunuh karena membunuh orang tua berdasarkan firman Allah Ta’ala,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Qs. Al Baqarah: 178)
Cara Menetapkan Qishas
Qishas ditetapkan dengan salah satu dari dua cara ini:
Pertama, pengakuan.
Dari Anas, bahwa orang-orang Yahudi memecahkan kepala budak wanita di antara dua batu, lalu wanita ini ditanya, “Siapa yang melakukan ini terhadapmu? Apakah si fulan dan si fulan?” Hingga disebutkan salah seorang Yahudi, lalu wanita ini berisyarat dengan kepalanya, kemudian orang Yahudi itu dihadapkan dan mengaku, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar kepala orang Yahudi itu dipecahkan.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Kedua, persaksian dua orang yang adil.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، قَالَ: أَصْبَحَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ مَقْتُولًا بِخَيْبَرَ، فَانْطَلَقَ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «لَكُمْ شَاهِدَانِ يَشْهَدَانِ عَلَى قَتْلِ صَاحِبِكُمْ؟» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ يَكُنْ ثَمَّ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّمَا هُمْ يَهُودُ وَقَدْ يَجْتَرِئُونَ عَلَى أَعْظَمَ مِنْ هَذَا، قَالَ: «فَاخْتَارُوا مِنْهُمْ خَمْسِينَ فَاسْتَحْلَفُوهُمْ فَأَبَوْا، فَوَدَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عِنْدِهِ»
Dari Rafi bin Khudaij ia berkata, “Ada seorang Anshar yang terbunuh di Khaibar, lalu wali-walinya datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyebutkan kejadian itu kepada Beliau, maka Beliau bersabda, “Kamu memiliki dua orang saksi yang bersaksi terhadap terbunuhnya kawanmu?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, di sana tidak ada seorang pun kaum muslimin. Di sana orang-orang Yahudi, dan mereka berani melakukan perbuatan yang lebih buruk daripada ini.” Maka Beliau meminta dipilihkan lima puluh orang dari mereka lalu diminta bersumpah, namun mereka enggan, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam membayarkan diyat dari harta yang ada padanya.” (Hr. Abu Dawud, dinyatakan shahih lighairih oleh Syaikh Al Albani)
Syarat Diberlakukan Qishas
Apabila syarat keberhakan qishas dan kewajibannya telah terpenuhi, maka qishas belum bisa diberlakukan sampai terpenuhi tiga syarat:
1. Pemilik hak untuk mengqishas harus mukallaf (baligh dan berakal). Jika pemiliknya atau sebagiannya ada yang masih anak-anak atau gila, maka tidak dapat diwakili, bahkan pembunuh ditahan sampai anak kecil itu baligh atau orang gila sadar. Demikianlah yang dilakukan oleh Mu’awiyah radhiyallahu anhu dan diakui para sahabat, sehingga menjadi ijma.
Jika anak kecil atau orang gila yang termasuk wali korban butuh nafkah, maka wali orang gila saja berhak memberikan maaf dan berganti kepada diyat, karena orang yang gila tidak diketahui kapan sadarnya berbeda dengan anak-anak.
2. Kesepakatan para wali korban yang memiliki hak qishas untuk memberlakukannya; tidak hanya sebagiannya saja. Hal ini agar tidak diberikan hak yang lain tanpa izinnya, sehingga ditunggu kedatangan orang yang tidak hadir di tempat, anak kecil hingga dewasa, orang gila hingga sadar, dan jika di antara orang yang memiliki hak qishas wafat, maka ahli warisnya mengganti posisinya, dan jika sebagian yang memiliki hak menggugurkan hak qishas, maka gugurlah qishas itu.
Dari Zaid bin Wahb, bahwa pernah dilaporkan kepada Umar radhiyallahu anhu seorang yang membunuh orang lain, lalu wali-wali korban ingin mengqishasnya, namun saudari korban –yang menjadi istri si pembunuh - berkata, “Saya maafkan hak saya terhadap suamiku,” maka Umar berkata, “Laki-laki ini telah dibebaskan dari pembunuhan.” (Dishahihkan oleh Al Albani, lihat Al Irwa: 2222)
Dari Zaid pula ia berkata, “Ada seorang yang menemukan orang lain di dekat istrinya, maka orang ini membunuh istrinya, lalu peristiwa itu dilaporkan kepada Umar bin Khaththab, kemudian Umar mendapatkan sebagian saudara wanita ini menyedekahkan bagiannya (memaafkan), maka Umar memerintahkan agar dibayarkan diyat untuk mereka (wali-wali korban).” (Diriwayatkan oleh Baihaqi, lihat Al Irwa: 2225).
Semua Ahli Waris baik karena nasab maupun sebab memiliki hak dalam qishas, baik laki-laki maupun wanita, orang dewasa maupun anak-anak.
Sebagian ulama berkata, “Hak memaafkan hanya di tangan Ashabah saja,” inilah pendapat Imam Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, serta menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.”
3. Aman dari melampaui batas pada qishas sehingga tidak mengena kepada selain pelaku kejahatan.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ
“Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.” (Qs. Al Israa’: 33)
Maka jika seorang wanita hamil terkena hukum qishas, maka tidak diberlakukan qishas itu sampai melahirkan, karena membunuhnya dapat menimpa kepada janin. Jika telah melahirkan dan ada orang yang siap menyusukannya, maka ditegakkan hukuman had terhadapnya, dan jika tidak ada yang menyusukannya, maka dibiarkan sampai ia menyapihnya selama dua tahun. Hal ini berdasarkan hadits wanita Ghamidiyyah, dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika demikian, kita tidak merajamnya, karena kita akan biarkan anaknya yang masih kecil tanpa ada yang menyusukannya.” Lalu salah seorang Anshar berkata, “Akulah yang akan mengurus penyusuannya wahai Nabi Allah,” maka Beliau pun merajamnya.” (Hr. Muslim)
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger