بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jinayat (7)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan
pembahasan tentang jinayat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Jinayat (Tindak Kejahatan) Terhadap Selain Jiwa
2. Luka pada bagian badan yang lain.
Luka ini berbeda tergantung jenisnya. Jika tidak ada qishas pada
jenis luka yang menimpa kepala atau wajah, maka tidak ada pula qishas pada
bagian badan yang lain selain luka Al Muwadhdhihah yang bisa membuat anggota
badan terpotong seperti dada dan leher.
Penyusun Al Wajiz berkata, “Adapun melukai dengan sengaja, maka
tidak wajib diqishas kecuali jika memungkinkan, yakni bisa diberlakukan sama
antara pelaku dan korban tanpa lebih maupun kurang. Jika sama dan serupa tidak
mungkin terwujud kecuali dengan melebihi batas, mempertaruhkan korban atau
membahayakannya, maka tidak wajib qishas, bahkan cukup diberikan diyat.” (Al
Wajiz hal. 459)
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Adapun qishas terhadap luka,
maka diqishas setiap luka yang berhenti (berujung) pada tulang karena
memungkinkan diqishas tanpa zalim dan tanpa melebihi batas.” Ia juga berkata,
“Adapun luka yang tidak berhenti pada tulang, maka tidak diberlakukan
qishas…dst.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Qishas
pada luka telah dikukuhkan dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma dengan syarat
sama. Jika kepalanya dilukai, maka ia berhak melukai. Namun jika tidak mungkin,
misalnya mematahkan tulang dalam atau melukai kepala namun tidak sampai
menampakkan tulangnya, maka tidak disyariatkan qishas, bahkan hanya
berkewajiban membayar diyat.”
Qishas Dalam Perkara Pukulan Dengan Tangan, Tongkat, Cambuk, dsb.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa dalam hal ini tidak ada
qishasnya, bahkan hanya ta’zir (sanksi menurut ijtihad hakim). Namun yang
diriwayatkan dari para khalifah, para sahabat, dan tabiin adalah bahwa qishas
disyariatkan dalam hal tersebut. Ini merupakan pernyataan Imam Ahmad dan para
Ahli Fiqih lainnya. Itulah yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan itulah yang benar.
Umar pernah berkata, “Aku tidaklah mengutus para pegawaiku untuk
memukul kulit kalian. Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, jika ada yang
melakukan demikian, maka aku akan qishas dirinya, karena aku melihat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam mengqishas karena menimpa dirinya.” (Diriwayatkan
oleh Ahmad)
Maksud pernyataan Umar di atas adalah terkait ketika gubernur
memukul rakyatnya yang tidak dibenarkan, akan tetapi pada pukulan yang
disyariatkan maka tidak berlaku qishas berdasarkan ijma.
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Ulama madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan setelahnya berkata, “Tidak
ada qishas pada tamparan dan pukulan.” Sebagian mereka menukil adanya ijma. Namun
mereka keluar dari qiyas dan kehendak nash (dalil) serta ijma para sahabat.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ
بِهِ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (Qs.
An Nahl: 126)
Sehingga yang wajib dilakukan oleh orang yang ditampar adalah
berbuat seperti yang dilakukan terhadapnya, satu tamparan dengan satu tamparan,
dan satu pukulan dengan satu pukulan pada bagian yang sama dan alat yang sama,
atau semisalnya yang lebih dekat kepada persamaan yang memang diperintahkan
secara rasa maupun syara daripada hukuman ta’zir yang tidak sejenis dan tidak
sama bentuknya. Inilah petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
para khalifahnya, sejalan dengan qiyas, dan merupakan pernyataan-pernyataan
Imam Ahmad.”
Qishas Pada Anggota Badan dan Syarat Diberlakukannya
Jinayat ini terbagi tiga macam, yaitu ‘amd (sengaja), syibhu
‘amd (mirip sengaja), dan khatha’ (keliru/tidak sengaja).
Pada khatha dan syibhul ‘amd tidak ada qishasnya. Yang ada hanya
pada ‘amd saja seperti dalam pembunuhan, namun dengan syarat:
Pertama, bisa dibalas secara sempurna tanpa zalim. Misalnya pemotongan
terjadi pada bagian persendian, atau yang ada ujungnya seperti jari-jemari,
atau pada pergelangan dan siku. Oleh karena itu, tidak ada qishas pada luka
yang tidak ada ujung atau batasannya seperti luka Jaifah (luka dalam) dan tidak
ada qishas karena memecahkan tulang selain gigi, seperti tulang paha, tulang
hasta (lengan), dan tulang betis.
Kedua, samanya kedua anggota badan pada pelaku jinayat maupun korbannya
dalam nama dan letaknya, sehingga tidak bisa diqishas bagian kanan karena
tangan kiri, jari lelingking karena jari manis, dan anggota badan asli dengan
anggota badan tambahan.
Ketiga, samanya kedua anggota
badan pada pelaku jinayat maupun korbannya dalam hal sehat dan sempurnanya.
Oleh karena itu, anggota badan yang sehat tidak boleh diqishas karena melukai anggota
badan yang lumpuh, dan yang jarinya sempurna dengan yang kurang, namun boleh
kebalikannya seperti diqishasnya tangan yang lumpuh karena merusak tangan orang
yang normal.
Catatan:
- Jika jinayat (tindak kriminal) terhadap badan melebar, yakni
ketika seseorang melakukan jinayat kepada orang lain dengan memotong jarinya,
namun ternyata luka itu melebar hingga membuat tangannya lumpuh atau membuatnya
meninggal dunia, maka qishas dan diyat sesuai itu. Akan tetapi melebarnya luka
akibat qishas tidaklah dianggap. Oleh karena itu, apabila ada seseorang memotong
tangan orang lain, lalu ia diqishas, namun tidak lama kemudian orang ini
meninggal karena luka qishas itu, maka ia tidak berhak memperoleh apa-apa
kecuali jika terjadi sikap melewati batas saat qishas, seperti mengqishas
dengan alat yang tumpul atau beracun, maka luka melebar ini ditanggung.
- Hendaknya tidak diqishas luka atau anggota badan sebelum sembuh,
karena ketika itu masih belum aman luka itu melebar ke anggota badan yang lain.
Jika ada yang menyelisihi dan memberlakukan qishas sebelum sembuh, namun
ternyata lukanya melebar, maka tidak ada hak baginya menuntut bagian yang
melebar dari lukanya.
3. Menghilangkan fungsi pada anggota badan
Jika seorang pelaku jinayat menghilangkan fungsi pada anggota
badan korban, maka tidak berlaku qishas karena tidak mungkin dibalas secara
seimbang tanpa zalim. Oleh karenanya, si pelaku berkewajiban membayar diat jiwa
secara sempurna.
Jika mengurangi fungsi pada salah satu anggota badan, apabila
diketahui ukurannya, maka korban berhak menerima diat seukuran fungsi yang
hilang itu, misalnya setengah diat atau seperempatnya, jika fungsi yang hilang
itu separuhnya atau seperempatnya, dst.
Jika tidak mungkin mengetahui ukuran fungsi yang hilang, maka
diberlakukan hukumah (sanksi) yang ditentukan oleh hakim berdasarkan
ijtihadnya.
Di antara contoh menghilangkan fungsi anggota badan adalah
menghilangkan fungsi pendengaran, penglihatan, penciuman, fungsi lisan untuk
berbicara, bersuara atau merasakan, tidak mampu mengunyah lagi, hilang syahwat,
tidak bisa membuat hamil lagi, dsb. Semua itu dikenakan diyat secara sempurna.
Dari Auf ia berkata, “Aku mendengar seorang syaikh sebelum terjadi
fitnah Ibnul Asy’ats,” lalu ia menyebutkan sifat syaikh itu, maka orang-orang
berkata, “Itu adalah Abul Mihlab paman Abu Qilabah,” ia berkata, “Ada seorang
yang terkena lemparan batu di kepalanya hingga hilang pendengaran, lisan, akal,
dan dzakar(syahwat)nya, ia juga tidak bisa mendekati wanita, maka Umar
memutuskan terhadapnya, bahwa korban berhak menerima 4 kali diyat.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi, hasan, lihat Al Irwa:
2279).
Jika mata orang yang buta sebelah dicolok hingga buta, maka
diyatnya juag sempurna, demikianlah keputusan Umar dan anaknya Abdullah, serta
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu.
Dari Qatadah ia berkata, “Aku mendengar Abu Mijlaz berkata, “Aku
bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang orang yang buta sebelah matanya lalu
dicolok matanya yang tidak buta, maka Abdullah bin Shafwan berkata, “Umar
memutuskan terhadapnya satu diyat (sempurna).”
Aku berkata, “Yang aku tanya adalah Ibnu Umar,” maka ia berkata,
“Bukankah telah sampai kepadamu riwayat dari Umar?”
Dari Qatadah, dari Khallas, dari Ali radhiyallahu anhu bahwa ia
berkata tentang seorang yang buta sebelah matanya, lalu matanya yang tidak buta
dicolok, “Jika ia mau mengambil diyat secara sempurna silahkan, dan jika ia mau
mengambil diyat separuhnya serta dicolok salah satu mata orang yang mencolok.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi).
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh
Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Minhajul
Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar