بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jinayat (10)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan
pembahasan tentang jinayat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Qasamah
Qasamah adalah bentuk masdar (k. dasar) dari lafaz Aqsama-Yuqsimu-Iqsam
wa Qasamah, yang artinya: Bersumpah suatu sumpah.
Secara syara’, qasamah adalah sumpah yang diulang-ulang terkait
dakwaan tentang orang yang terbunuh yang terpelihara darahnya. Dinamakan
Qasamah karena sumpah itu dibagi-bagi kepada wali korban, dimana mereka
bersumpah lima puluh kali bahwa si terdakwa telah membunuh korban. Gambarannya
adalah ditemukan ada orang yang terbunuh namun tidak diketahui siapa
pembunuhnya, lalu qasamah pun diberlakukan pada sekumpulan orang yang
kemungkinan di antara mereka pembunuhnya. Hal itu tentunya setelah terpenuhi
syarat-syarat yang akan disebutkan setelah ini insya Allah.
Disyariatkannya Qasamah
Qasamah hukumnya masyru (disyariatkan), bahkan dengannya qishas
atau diyat ditetapkan. Qasamah disyariatkan ketika dakwaan tidak disertai bukti
atau pengakuan, dan ada Lauts yakni permusuhan yang tampak antara
korban dan orang yang tertuduh membunuh seperti suku-suku yang satu dengan yang
lain saling menuntut balas. Ada pula yang berpendapat, tidak khusus demikian,
bahkan meliputi segala yang dianggap kuat sahnya dakwaan.
Dalil disyariatkan Qasamah
Dalilnya adalah hadits Sahl bin Abi Haitsamah, bahwa Abdullah bin
Sahl dan Muhayyishah bin Mas’ud keluar menuju Khaibar karena kesulitan yang
menimpa mereka, lalu Muhayyishah datang dan memberitahukan bahwa Abdullah bin
Sahl terbunuh dan diletakkan di dekat mata air atau sumur, ia pun mendatangi
orang-orang Yahudi dan berkata, “Demi Allah, kalianlah yang membunuhnya,”
mereka menjawab, “Kami tidak membunuhnya.” Ia pun datang menemui kaumnya dan
menyampaikan kejadian itu kepada mereka, maka dia, saudaranya Huwaishah –yang
paling tua- dan Abdurrahman bin Sahl mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam. Selanjutnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Maukah kalian bersumpah sehingga berhak memperoleh (hak) darah kawan kalian?”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Apakah kalian bisa siapkan bukti?” Mereka
menjawab, ”Kami tidak memiliki bukti.” Beliau bersabda, “Maukah kalian
bersumpah?” Mereka menjawab, “Bagaimana kami bersumpah sedangkan kami tidak
menyaksikan dan tidak melihat?” Beliau bersabda, “Kalau begitu orang-orang
Yahudi bersumpah terhadap kalian.” Mereka menjawab, “Mereka bukan orang-orang
muslim.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membayarkan diyat dari
harta yang ada pada Beliau, lalu Beliau mengirimkan kepada mereka seratus ekor
unta hingga memasukkan ke area mereka. Sahl berkata, “Unta yang merah
daripadanya menyepakku.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menunjukkan disyariatkannya Qasamah dan bahwa ia
salah satu pedoman tersendiri dalam syariat.
Hikmah Qasamah
Qasamah disyariatkan untuk menjaga darah dan agar tidak
ditumpahkan, dimana syariat Islam berusaha untuk menjaga darah dan tidak
menumpahkannya. Oleh karena pembunuhan terkadang sering terjadi, sedangkan
persaksian terhadapnya sangat kecil karena pembunuh biasanya melakukan
pembunuhan di tempat-tempat sepi, maka diadakanlah qasamah untuk menjaga darah.
Syarat-Syarat Qasamah
1. Adanya Lauts, yakni permusuhan yang tampak antara korban
dengan orang yang tertuduh membunuhnya, seperti suku-suku yang menuntut balas
dendam satu dengan yang lain, serta semua yang antara seseorang dengan korban
ada permusuhan, yang menurut perkiraan kuat ia pembunuhnya, maka para wali
berhak melakukan qasamah terhadap pembunuh jika diperkirakan dengan kuat dia
pembunuhnya, dan sekalipun para wali itu tidak hadir (menyaksikan) terjadinya
pembunuhan.
Syaikhul Islam memilih, bahwa lauts tidak khusus karena
permusuhan, bahkan mencakup segala yang menguatkan dugaan sehingga dakwaan itu
sah, misalnya berpencarnya sekumpulan orang dari korban, persaksian dari orang
yang tidak dapat ditetapkan pembunuhan karena persaksian mereka, dsb.
Imam Ahmad berkata, “Aku berpegang dengan qasamah jika di sana
terdapat Lathkh, jika ada sebab yang jelas, jika ada permusuhan, dan ketika
orang yang terdakwa bisa melakukan hal itu.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan komentar rerhadap
pernyataan Imam Ahmad dengan berkata, “Mereka (para ulama) menyebut empat hal,
yaitu (1) Lathkh yakni membicarakan kehormatan dengan persaksian yang tertolak,
(2) sebab yang jelas seperti berpencar dari orang yang terbunuh, (3)
permusuhan, (4) keadaan orang yang dituntut dikenal melakukan pembunuhan.
Inilah yang benar.”
Ibnul Qayyim berkata, “Ini termasuk cara terbaik mengambil
persaksian, karena bersandar pada tanda yang pada umumnya menunjukkan benarnya
penggugat, sehingga ia boleh bersumpah atas dasar ini, dan bagi hakim boleh
–bahkan harus- menetapkan untuknya hak qishas atau diyat, meskipun dia tahu
bahwa dia tidak melihat dan menyaksikan.”
Akan tetapi tidak sepatutnya para wali bersumpah kecuali setelah dugaannya benar-benar kuat,
dan bagi hakim hendaknya menasihati dan memberitahukan mereka akan bahaya dan
hukuman terhadap sumpah dusta.
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi berkata, “Jika tidak ada permusuhan
antara korban dengan orang yang dituduh membunuh, namun ada seorang saksi yang
menyaksikan pembunuhan itu, sedangkan dakwaan terkait darah tidak bisa disahkan
kecuali ada persaksian dari dua orang, maka persaksian seorang itu sama seperti
lauts, sehingga bisa digunakan qasamah.” (Minhajul Muslim hal. 431)
2. Orang yang terdakwa mukallaf (akil-baligh), sehingga tidak sah
dakwaan terhadap anak kecil dan orang gila.
3. Pendakwa (penggugat) seorang mukallaf, sehingga tidak didengar
dakwaan dari anak-anak dan orang gila.
4. Orang yang terdakwa ditentukan, sehingga tidak diterima dakwaan
terhadap seorang yang tidak jelas.
5. Kemungkinan pembunuhan dilakukan oleh si terdakwa. Jika tidak
ada kemungkinan pembunuhan olehnya karena jauh dari tempat terjadinya
pembunuhan dan sebagainya, maka tidak didengar dakwaannya.
6. Tidak saling bertetangan dakwaan.
7. Dakwaan Qasamah dirinci dan disifati. Misalnya seorang berkata,
“Saya mendakwakan (menggugat) bahwa orang ini telah membunuh saudaraku si fulan
bin fulan secara sengaja, atau mirip sengaja, atau karena keliru,” dan ia
menyifati praktek pembunuhan.
Sifat (praktek) Qasamah
Jika telah terpenuhi syarat-syarat Qasamah, maka didahulukan
kepada para pendakwa (yang merupakan ahli waris korban dari kalangan laki-laki),
dimana mereka bersumpah sebanyak 50 kali yang dibagi-bagi sesuai kadar (bagian)
warisan mereka dari korban, bahwa si fulan telah membunuhnya. Tentunya hal itu
dilakukan di hadapan si terdakwa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah kalian hendak memiliki hak dengan bersumpah
lima puluh kali dari kalian?” Jika para Ahli Waris enggan bersumpah atau enggan
menyempurnakan lima puluh kali sumpah, maka si terdakwa bersumpah sebanyak lima
puluh kali sumpah ketika para pendakwa atau penggugat ridha dengan sumpahnya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Maukah
orang-orang Yahudi bersumpah terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Mereka bukan
orang-orang muslim.” Mereka tidak ridha dengan sumpah orang-orang Yahudi.
Jika ia telah bersumpah, maka lepaslah dari tuntutan, namun jika
para penggugat tidak ridha permintaan sumpah kepada si terdakwa, maka imam
(pemerintah) yang membayarkan diyat korban dari Baitul Mal sebagaimana yang
dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat membayarkan diyat korban dari
Baitul Mal ketika kaum Anshar menolak menerima sumpah orang-orang Yahudi,
karena tidak ada lagi jalan untuk membenarkan darah terdakwa ketika itu,
sehingga adanya ganti dari Baitul Mal agar tidak ada darah yang ditumpahkan
sia-sia.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “(Qasamah) bukanlah pemberian
hanya karena dakwaan, bahkan berdasarkan dalil yang tampak yang menurut
perkiraan kuat benar dakwaan itu dengan derajat di atas persaksian dua orang,
yaitu lauts, permusuhan dan qarinah (tanda) yang tampak, maka syari menguatkan
sebab ini dengan meminta sumpah 50 orang wali korban yang mustahil mereka
sepakat menuduh membunuh orang yang tidak bersalah. Sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, “Jika diberikan kepada manusia semua dakwaan (tuduhan)…dst.”
Tidaklah bertentangan dengan qasamah pada satu sisi pun, bahkan yang dinafikan
adalah pemberian hak hanya karena didasari dakwaan semata…dst.”
Catatan:
- Barang siapa yang dibunuh dalam keadaan berdesakan, maka
diyatnya dibayarkan dari Baitul Mal. Hal ini berdasarkan riwayat Ali radhiyallahu anhu bahwa ia berkata kepada
Umar radhiyallahu anhu tentang seorang yang terbunuh dalam keadaan berdesakan
di padang Arafah, “Wahai Amirul Mukminin, tidak boleh darah seorang muslim
disia-siakan jika engkau tahu pembunuhnya. Jika tidak, maka berikanlah diyat
dari Baitul Mal.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf
(10/51) dan Ibnu Abi Syaibah (9/395))
- Jumhur ulama berpendapat, bahwa qishas tidak ditegakkan karena
qasamah, bahkan hanya dibayarkan diyatnya. Inilah madzhab Syafi’i, Abu Hanifah,
dan Umar bin Abdul Aziz. Adapun madzhab Malik dan Ahmad, bahwa qishas juga
diberlakukan karena qasamah.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh
Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Minhajul
Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Al Ghayah wat Taqrib (Abu Syuja), dll.
0 komentar:
Posting Komentar