بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jinayat (2)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan
pembahasan tentang jinayat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Macam-macam pembunuhan
Pembunuhan terbagi menjadi tiga macam:
1. Pembunuhan secara sengaja (Al Qatlul ‘Amd)
2. Pembunuhan mirip sengaja (Syibhul ‘Amd)
3. Pembunuhan karena tersalah (keliru/khatha)
Pembunuhan karena tersalah/khatha dan pembunuhan secara sengaja
disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا
إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ
مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ
لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً
مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (92) وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا
فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ
لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (93)
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[i],
dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat[ii]
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah[iii].
Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barang siapa yang tidak memperolehnya[iv],
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan taubat dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.--Dan
barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah
neraka Jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, dan mengutuknya
serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An Nisaa: 92-93)
Adapun pembunuhan syibhul ‘amdi (mirip sengaja), disebutkan dalam
sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut,
«عَقْلُ شِبْهِ الْعَمْدِ
مُغَلَّظٌ مِثْلُ عَقْلِ الْعَمْدِ، وَلَا يُقْتَلُ صَاحِبُهُ»
“Diyat syibhul ‘amdi diperberat sama seperti diat pembunuhan
secara sengaja, namun pelakunya tidak dibunuh.” (Hr. Abu Dawud dan Ahmad,
dihasankan oleh Al Arnauth)
Berikut ini perincian masing-masingnya:
1. Pembunuhan secara sengaja, yaitu
seorang pembunuh bermaksud membunuh manusia yang terpelihara darahnya, lalu ia
membunuh dengan cara yang menurut perkiraan kuat dapat membunuhnya. Dengan
demikian, pembunuhan ini harus terpenuhi tiga syarat:
a. Adanya niat membunuh
b. Dia mengetahui, bahwa orang yang hendak dibunuh adalah seorang
yang terpelihara darahnya.
c. Alat yang digunakan untuk membunuh memang biasa digunakan untuk
membunuh, baik tajam maupun tidak.
Jika salah satu syarat ini tidak tidak ada, maka pembunuhan tidak
disebut sebagai pembunuhan secara sengaja.
Contoh pembunuhan secara sengaja
1. Menusuk dengan benda tajam, seperti dengan pisau, pedang,
tombak, dsb.
2. Membunuhnya dengan alat berat, seperti batu besar, palu, dsb.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa
ada seorang budak wanita yang ditemukan dengan kepala retak di antara dua batu
besar, lalu orang-orang bertanya kepadanya, “Siapa yang berbuat begini
terhadapmu? Apakah si fulan atau si fulan?” Hingga disebutlah seorang Yahudi,
maka ia pun menggerakkan kepalanya tanda membenarkannya, lalu Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar kepala orang Yahudi itu
diretakkan pula dengan batu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
3. Menahan nafasnya, seperti mencekiknya dengan tali dan
sebagainya, atau menyumbat mulut dan hidungnya hingga mati.
4. Memberinya minuman beracun yang tidak diketahui orang yang
minum, atau memberi racun yang mematikan pada makanan seseorang agar dia mati.
5. Menjatuhkan seseorang ke
dalam tempat berbahaya yang membinasakan, seperti kandang singa atau tempat
yang tidak ada air di sana.
6. Menjatuhkan ke dalam air yang dalam agar tenggelam atau api
untuk membakarnya yang tidak memungkinkan seseorang untuk menyelamatkan diri.
7. Memenjarakan seseorang tanpa memberinya makan dan minum dalam
waktu lama yang biasanya seseorang akan mati di waktu tersebut.
8. Menyerahkan ke hewan buas seperti harimau atau singa, atau ular
besar pembunuh, yang membuatnya meninggal dunia.
9. Menjadi sebab terhadap terbunuhnya seseorang, seperti bersaksi
terhadap seseorang sebagai pezina, murtad, atau membunuh orang lain,yang
membuat orang itu dihukum bunuh, lalu orang yang bersaksi menarik kembali
persaksiannya dan berkata, “Kami sengaja hendak membunuhnya,” maka yang menjadi
penyebab ini dibunuh juga.
Hukum pembunuhan secara sengaja
Terhadap pembunuhan secara sengaja ada dua hukum,
Pertama, hukum ukhrawi (akhirat), yaitu haramnya membunuh, pelakunya
mendapatkan dosa besar dan azab yang pedih jika tidak bertaubat atau Allah
memaafkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ
جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا
عَظِيمًا
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya adalah neraka Jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya,
dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs.
An Nisaa: 92-93)
Kedua, hukum duniawi, yakni karena pembunuhan secara sengaja
mengakibatkan pelakunya diqishas jika wali korban tidak memaafkan. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى
بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ
إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik[v],
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas setelah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih.” (Qs. Al Baqarah: 178)
Demikian juga berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
َمَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ،
إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقِيدَ (وَفِي رِوَايَة: إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ
وَإِمَّا أَنْ يُقْتَلَ)
“Siapa yang dibunuh di antara keluarganya, maka ia berhak memilih
di antara dua pilihan; meminta dibayarkan diyat atau diqishas.” (Hr. Bukhari
dan Muslim, dalam sebuah riwayat disebutkan: memaafkan atau meminta diqishas)
Oleh karena itu, wali korban diberi pilihan antara mengqishas atau
memaafkan tanpa ganti atau meminta diyat, yakni ganti dari qishas, di samping
ia juga berhak mengadakan shulh (damai) untuk meminta lebih dari itu.
Al Muwaffaq berkata, “Saya tidak tahu adanya khilaf dalam masalah
ini, karena ada hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya secara marfu
(sampai kepada Rasulullah shallallahu alaih wa sallam),
«مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا
دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ المَقْتُولِ، فَإِنْ شَاءُوا قَتَلُوا، وَإِنْ شَاءُوا أَخَذُوا الدِّيَةَ، وَهِيَ ثَلَاثُونَ حِقَّةً، وَثَلَاثُونَ
جَذَعَةً، وَأَرْبَعُونَ خَلِفَةً، وَمَا صَالَحُوا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ، وَذَلِكَ
لِتَشْدِيدِ العَقْلِ»
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin secara sengaja, maka
urusannya diserahkan kepada wali korban. Jika mereka mau, maka mereka boleh
membunuhnya (sebagai qishas), dan jika mereka mau, mereka boleh mengambil
diyat, yaitu 30 unta hiqqah, 30 unta jadza’ah, dan 40 unta khalifah, namun
shulh (kesepakatan) yang mereka tetapkan adalah hak mereka, seperti pemberatan
diat.” (Hr. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani)
Unta hiqqah adalah unta yang sudah berusia tiga tahun
dan masuk tahun keempat, unta jadza’ah adalah unta yang sudah berusia
empat tahun dan masuk tahun kelima, sedangkan unta khalifah
adalah unta yang hamil.
Meskipun demikian, memaafkan tanpa ganti adalah lebih utama,
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Memaafkan utu lebih dekat kepada takwa.” (Qs.
Al Baqarah: 237)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
وَمَا
زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
“Dan tidaklah Allah menambahkan hamba-Nya yang sering memaafkan
kecuali kemuliaan.” (Hr. Muslim)
Memaafkan terhadap qishas lebih utama tentunya jika tidak
menimbulkan mafsadat setelahnya. Oleh karena itu, Syaikhul Islam memilih bahwa
memaafkan tidak cocok pada pembunuhan dengan ghilah (tipu daya/muslihat dan
berencana) karena sulit menjaga bahaya itu seperti pembunuhan dalam perlawanan
(mengalahkan).”
Al Qadhiy menyebutkan aspek yang lain, bahwa pembunuh seorang imam
harus dibunuh sebagai hadnya karena kerusakannya (bahayanya) merata.”
Ibnul Qayyim setelah menyebutkan kisah orang-orang Uraniyyun
menyatakan, bahwa pembunuhan yang dilakukan dengan tipu daya menghendaki
pelakunya dibunuh sebagai hadnya, dan tidak digugurkan karena pemaafan, serta
tidak dipandang pembayaran. Inilah madzhab penduduk Madinah dan salah satu dari
madzhab Imam Ahmad serta menjadi pilihan Syaikhul Islam, dimana ia berfatwa
dengannya.”
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi berkata, “Sebagian Ahli Ilmu
berpendapat, bahwa pembunuhan dengan tipu muslihat tidak layak dimaafkan. Jika
wali korban memaafkan, maka pemerintah berhak tidak memaafkan, bahkan memberi
ta’zir (sanksi yang membuat jera atas ijtihadnya) dengan menderanya seratus
kali dan mengasingkan setahun.” (Minhajul Muslim hal. 406)
Wallahu a’lam.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh
Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Minhajul
Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.
[i] Seperti menembak burung, tetapi terkena seorang mukmin.
[ii] Diyat adalah pembayaran sejumlah harta karena suatu tindak
pidana terhadap suatu jiwa atau anggota badan.
[iii] Bersedekah di sini maksudnya membebaskan si pembunuh dari
pembayaran diat.
[iv] Maksud tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya
yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. Menurut sebagian Ahli
Tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran
diat dan memerdekakan hamba sahaya.
[v] Jika yang membunuh mendapat maaf dari ahli waris yang
terbunuh, maka ia membayar diyat yang wajar. Pembayaran diyat diminta dengan
baik, misalnya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah
membayarnya dengan baik, misalnya tidak menangguh-nangguhkannya. Apabila Ahli Waris
si korban setelah Allah menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si
pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diyat, maka terhadapnya di
dunia diambil qishash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
0 komentar:
Posting Komentar