Fiqih Jinayat (8)


بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن مقادير الديات
Fiqih Jinayat (8)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang jinayat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
DIYAT
Diyat secara syara adalah harta yang diberikan kepada korban jinayat atau walinya karena sebab jinayat (tindak kriminal). Disebut juga ‘Aql, karena si pembunuh mengumpulkan diyat berupa unta lalu mengikatnya di pelataran milik para wali korban untuk menyerahkannya kepada mereka.
Diyat ini hukumnya wajib berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma.
Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).” (Qs. An Nisaa’: 92)
Sedangkan dalam As Sunnah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
َمَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقِيدَ (وَفِي رِوَايَة: إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يُقْتَلَ)
“Siapa yang dibunuh di antara keluarganya, maka ia berhak memilih di antara dua pilihan; meminta dibayarkan diyat atau diqishas.” (Hr. Bukhari dan Muslim, dalam sebuah riwayat disebutkan: memaafkan atau meminta diqishas)
Para ulama juga sepakat tentang wajibnya diyat.
Hikmah disyariatkan diyat adalah untuk menjaga ruh dan darah orang-orang yang tidak bersalah, membuat jera, dan agar tidak menganggap rendah nyawa manusia.
Kepada siapakah diyat wajib? Dan siapakah yang memikulnya?
Barang siapa yang membinasakan seseorang atau bagian anggota badannya, maka keadaannya tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama, jika jinayat membuat hilang nyawa orang lain secara sengaja, maka wajib diyat secara menyeluruh pada harta si pembunuh jika ia dimaafkan dan ketika ini qishas pun gugur, karena ganti dari yang dibinasakan wajib ditanggung oleh orang yang membinasakan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Qs. Al An’aam: 164)
Kedua, jika jinayat terjadi karena khatha (keliru) atau syibhu ‘amd (mirip sengaja), maka diyat ditanggung oleh ashabah (keluarga) pembunuh. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan terhadap janin wanita dari Bani Lihyan yang keguguran dengan diyat ghurrah[i] budak laki-laki atau wanita, Lalu wanita yang ditetapkan mendapatkan ghurrah itu wafat, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan bahwa warisannya untuk suami dan anak-anaknya, sedangkan diyat ditanggung oleh keluarga si wanita (yang membunuh).
Wajibnya diyat atas keluarga pembunuh karena jinayat khata (keliru) sering terjadi, sedangkan pelaku jinayat mendapatkan uzur, maka wajib dibantu dan diringankan berbeda jika sengaja. Di samping itu, orang yang sengaja mengeluarkan diyat untuk menebus dirinya, karena ia sudah wajib terkena qishas. Jika dimaafkan, maka ia menanggung diyat.
Catatan:
1. Kebinasaan yang terjadi dari perbuatan yang diizinkan oleh syara, maka pelakunya tidak bertanggung jawab. Misalnya seseorang memberi adab (pelajaran dan sanksi untuk mendidik) kepada anaknya atau istrinya, atau seorang pemimpin kepada salah seorang rakyatnya dan tidak melampaui batas dalam memberi adab, lalu orang yang diberi adab meninggal dunia, maka bagi yang memberi adab tidak dikenakan apa-apa, karena ia melakukan tindakan yang diizinkan syariat dan tidak melampaui batas. Kecuali jika ia melampaui batas seperti memberinya adab melebihi kewajaran, lalu orang yang diberi adab meninggal dunia, maka ia bertanggung jawab atas hal itu.
2. Jika pemberian adab dilakukan kepada wanita hamil, lalu janinnya keguguran karena sebabnya, maka bagi pemberi adab harus bertanggung jawab dengan memberikan diyat ghurrah budak laki-laki atau perempuan, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menetapkan demikian terhadap orang yang membuat wanita hamil keguguran, dan ini adalah pendapat kebanyakan Ahli Ilmu.
3. Barang siapa yang mengejutkan wanita hamil, lalu wanita ini keguguran, maka orang yang mengejutkan ini bertanggung jawab terhadapnya dengan mengeluarkan diyat janin seperti di atas.
4.  Barang siapa yang memerintahkan seorang yang mukallaf (akil-baligh) turun ke sumur atau menaiki pohon, lalu ia meninggal karena hal itu, maka orang yang menyuruhnya tidak bertanggung jawab, karena ia tidak berbuat jinayat dan tidak melampaui batas terhadap hal itu. Jika yang diperintah itu belum mukallaf (tidak akil-baligh), maka yang memerintahkannya harus bertanggung jawab, karena ia yang menjadi sebab anak itu binasa.
5. Jika seseorang mengupah/mempekerjakan orang lain untuk turun ke sumur atau menaiki pohon, lalu orang ini meninggal dunia, maka orang yang mempekerjakannya tidak bertanggung jawab, karena ia tidak melakukan tindak kejahatan dan tidak melampaui batas.
6. Barang siapa yang memanggil seseorang untuk menggali sumur di rumahnya, lalu ia meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan bukan karena diruntuhkan oleh seseorang, maka ia tidak bertanggung jawab karena tidak menzaliminya.
Macam-Macam Diyat dan Ukurannya
Ukuran diyat itu tergantung keadaan orang yang terbunuh apakah dia muslim atau bukan, merdeka atau budak, laki-laki atau wanita, hadir dalam dunia nyata atau masih dalam kandungan.
Pada dasarnya diyat itu dengan unta. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
فِي النَّفْسِ الْمُؤْمِنَةِ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ...
“Pada jiwa yang mukmin ada diat 100 unta…dst.” (Hr. Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)
أَلَا وَإِنَّ قَتِيلَ الْخَطَإِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا، مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ
“Ingatlah, sesungguhnya pembunuhan karena khatha yang mirip sengaja seperti karena cambukan dan tongkat, diyatnya 100 unta.” (Hr.  Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya ia berkata, “Nilai diyat di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah 800 dinar atau 8.000 dirham…dst.” Hal ini terus berlalu sampai diangkat Umar sebagai khalifah, lalu ia berdiri khutbah dan berkata, “Ingatlah, unta telah mahal,” maka Umar menetapkan – dalam sebuah riwayat : Menentukan nilainya – bagi pemilik emas 1.000 dinar (kira-kira 4250 gram emas), sedangkan bagi pemilik dirham 12.000 dirham[ii], bagi pemilik sapi 200 ekor sapi, bagi pemilik kambing 2.000 ekor kambing, dan bagi pemilik pakaian 200 pakaian.” (Hr. Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani)
Sebagian ulama berpendapat, bahwa diyat yang disebutkan dalam hadits di atas adalah asal(asli)nya, sehingga jika orang yang berkewajiban membayar diyat membayar dengan salah satu dari semua itu, maka wali korban wajib menerimanya, baik wali korban adalah orang yang memiliki barang jenis itu maupun tidak, karena ia telah menunaikan kewajiban dengan pembayaran yang asli. Namun jumhur (mayoritas) para ulama berpendapat, bahwa hukum asal (alat pembayaran yang asli) dalam diyat adalah dengan unta. Hal ini karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan diyat seorang laki-laki mukmin yang dibunuh adalah seratus ekor unta. Dalam hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya disebutkan,
قَضَى أَنَّ مَنْ قُتِلَ خَطَأً فَدِيَتُهُ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan, bahwa orang yang dibunuh karena tersalah (khatha), maka diyatnya seratus ekor unta.” (Dihasankan oleh Al Albani)
Di samping itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga memperberat diyat unta terhadap pembunuhan karena sengaja dan meringankan dalam diyat karena tersalah. Hal ini menunjukkan, bahwa unta itulah asal alat pembayaran diyat. Inilah yang rajih (kuat), sehingga pembayaran yang disebutkan dalam atsar Umar di atas dipakai karena mengikuti nilainya.
Ukuran Diyat
1. Ukuran diyat seorang muslim yang merdeka,
Yaitu 100 ekor unta, dan diperberat pada pembunuhan ‘amd (sengaja) atau syibhul ‘amdi (mirip sengaja). Pemberatan diyat adalah dengan mencari unta yang di perutnya ada janinnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya yang di sana sebutkan, “Serta 40 ekor khalifah (unta yang hamil).”
Diyat mughallazhah (berat) berupa 100 ekor unta, yang terdiri dari 30 hiqqah, 30 jadza’ah, dan 40 khalifah, yakni unta betina yang dalam perutnya ada anaknya.
Diyat muhkaffafah (ringan) berupa 100 ekor unta, yang terdiri dari 20 hiqqah, 20 jadza’ah, 20 bintu labun, 20 ibnu labun, dan 20 bintu makhadh.
Bintu makhadh adalah unta betina yang sudah setahun, jantannya disebut Ibnu makhadh. Bintu labun adalah unta betina yang sudah berusia dua tahun, jantannya disebut ibnu labun. Hiqqah adalah unta betina yang sudah berusia tiga tahun, sedangkan jadza’ah adalah unta yang berusia empat tahun.
Jika dibayarkan unta demikian, maka wali jinayat (wali korban) harus menerimanya. Dan jika mau, dibayarkan senilai dengan itu sesuai kategori yang disebutkan yang disesuaikan dengan masanya.
Catatan:
Dalam pembunuhan sengaja, maka wali korban berhak menuntut diyat lebih dari itu, karena mereka memiliki hak qishas, sebagaimana mereka juga berhak mengurangi diyat.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Al Ghayah wat Taqrib (Abu Syuja), dll.


[i] Ghurrah menurut istilah Ahli Fiqih adalah budak perempuan atau budak laki-laki kecil yang sudah tamyiz yang selamat dari cacat yang mengurangi nilainya. Inilah yang wajib dikeluarkan pelaku jinayat untuk diserahkan kepada Ahli Waris, dan jika tidak ada ghurrah, maka diyat janin berupa 1/10 dari diyat wanita (5 ekor unta). Sebagian ulama memperkirakan bahwa nilainya kurang lebih 213 gram emas. 
[ii]  Yakni dari dirham Islam yang sepuluhnya seimbang 7 mitsqal. 1 mitsqal = 1.50 dirham.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger