بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jinayat (4)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan
pembahasan tentang jinayat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Di Antara Hukum Fiqih Seputar Qishas
1. Qishas diberlakukan di hadapan hakim (pemerintah) atau
wakilnya, karena dialah yang menegakkannya dan mengizinkannya. Hal ini agar
tidak terjadi kezaliman dan agar penegakkannya sesuai syariat, juga untuk
menghindarkan kerusakan, pengrusakan, dan kekacauan.
Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Tidak ada khilaf di antara
ulama bahwa qishas terhadap pembunuhan tidak ditegakkan kecuali oleh Ulil Amri
(pemerintah). Mereka (Ulil Amri) berkewajiban menegakkan qishas, hudud, dan
sebagainya, karena Allah memerintahkan semua orang mukmin untuk memberlakukan
qishas, dan Dia tidak membuka kesempatan kaum mukmin untuk berkumpul
memberlakukan qishas, maka diangkatlah pemimpin sebagai wakil terhadap diri
mereka dalam menegakkan qishas dan hudud.” (Al Jami Li Ahkamil Qur’an
2/245-246).
Ash Shawi berkata, “Jika telah tetap bahwa pembunuhan dilakukan
secara sengaja, maka bagi pemerintah Islam berkewajiban memberikan kesempatan
kepada wali korban untuk menguasai pembunuh, lalu hakim memberikan pilihan
kepada wali antara membunuh, memaafkan, atau menerima diyat, dan tidak
diperbolehkan bagi wali main hakim sendiri kepada pembunuh tanpa izin dari
hakim, karena yang demikian terdapat kerusakan dan meruntuhkan. Jika ia
membunuh pelaku tanpa izin imam, maka imam memberinya sanksi ta’zir (sanksi
atas ijtihad hakim).” (Fiqhus Sunnah
2/453)
2. Hukum asalnya terhadap pelaku diberlakukan seperti tindakannya
terhadap korban. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ
بِهِ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (Qs.
An Nahl: 126)
Di samping itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga pernah
memerintahkan agar kepala orang Yahudi dipecahkan karena ia membunuh seorang
budak wanita dengan cara memecahkan kepalanya di antara dua batu. Demikian
juga, jika pelaku memotong kedua tangan orang lain lalu membunuhnya, maka
dipotong kedua tangannya lalu dibunuh. Tetapi jika wali korban mencukupkan
dengan dipancung saja, maka itu lebih utama.
3. Alat yang digunakan
mengqishas harus tajam, seperti pisau, pedang, dsb. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
إِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقَتْلَةَ
“Jika kalian membunuh, maka perbaguslah dalam membunuh.” (Hr.
Muslim)
4. Jika wali korban dapat melakukan qishas sesuai syariat, maka
hakim memberikan kesempatan kepadanya. Jika tidak bisa, maka diserahkan kepada
orang mampu mengqishasnya dengan baik.
5. Sekumpulan orang bisa dibunuh jika berkumpul membunuh
seseorang. Hal ini berdasarkan riwayat Malik dari Sa’id bin Al Musayyib, bahwa
Umar bin Khaththab pernah membunuh sekumpulan orang; yaitu lima atau tujuh
orang karena membunuh seseorang, dimana mereka membunuhnya dengan tipu daya.
Umar juga berkata, “Kalau sekiranya penduduk Shan’a bersepakat untuk
membunuhnya, tentu aku bunuh mereka semua.” (Diriwayatkan oleh Malik, Syafi’i,
dan Baihaqi)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para sahabat dan kebanyakan
para Ahli Fiqih sepakat tentang dibunuhnya beberapa orang karena membunuh
seseorang, meskipun pada dasarnya qishas menolak hal itu. Yang demikian agar
menutup jalan sikap saling membantu dalam menumpahkan darah.”
6. Siapa saja yang dipaksa membunuh orang lain, maka qishas
berlaku baik kepada yang memaksa maupun yang dipaksa jika telah terpenuhi
syarat-syaratnya. Hal itu, karena si pembunuh bermaksud menjaga dirinya dengan
membunuh orang lain, sedangkan yang memaksa menjadi sebab terbunuhnya orang
lain.
7. Barang siapa yang menyuruh anak kecil atau orang gila membunuh
seseorang, lalu orang itu terbunuh, maka qishas berlaku pada yang memerintahkan
saja, karena yang diperintah seperti alat.
8. Jika telah dipilih diyat, maka gugurlah qishas, dan jika
menuntut qishas setelah itu, maka tidak diterima. Tetapi jika memilih qishas,
maka boleh beralih kepada diyat.
9. Menurut sebagian ulama, pada pembunuhan sengaja tidak ada
kaffaratnya, karena kaffarat hanyalah pada pembunuhan syibhul ‘amdi
(mirip sengaja) dan khatha (tersalah). Telah diriwayatkan, bahwa Suwaid
bin Ash Shamit membunuh seorang laki-laki, maka Nabi shallallahu alaihi wa
sallam mewajibkan pada dirinya qishas dan tidak menetapkan kaffarat. Amr bin
Umayyah Adh Dhamuri juga pernah membunuh dua orang secara sengaja, maka Nabi
shallallahu alaihi wa sallam membayarkan diyat untuk keduanya, dan tidak
mewajibkan kepada Amr kaffarat. Di samping itu, kaffarat pada pembunuhan khatha
adalah untuk menghapuskan kesalahannya, karena tidak lepas dari sikap remehnya,
sehingga tidak berlaku pada perkara yang besar dosanya, dimana hal itu tidak
dapat dihilangkan dengan kaffarat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak
ada kaffarat pada pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, dan pada sumpah
palsu, dan hal itu tidaklah meringankan dosa pelakunya.”
Meskipun demikian orang yang membunuh secara sengaja jika
bertaubat kepada Allah, memberikan dirinya untuk diqishas, maka yang demikian
mengurangi dosa, dimana hak Allah gugur darinya karena taubatnya, hak wali
gugur karena diqishas, dan tinggallah hak korban yang Allah membuatnya ridha
dengan apa yang Dia kehendaki.
2. Pembunuhan syibhul ‘amdi (mirip sengaja), yaitu
tindak penganiayaan seseorang kepada orang lain namun biasanya tidak sampai
membuatnya terbunuh, tetapi yang dianiaya malah terbunuh. Pembunuhan ini
disebut juga khatha’ul amdi (keliru-sengaja), dimana ia mirip sengaja
karena ada maksud memukulnya dan mirip dengan keliru karena memukulnya tanpa
maksud membunuhnya. Oleh karenanya, hukumannya antara ‘amd (sengaja) dan khatha
(keliru). Dan hal ini sama saja, baik si pelaku bermaksud menganiayanya atau
memberinya pelajaran.
Contoh Pembunuhan Syibhul ‘Amdi
1. Memukulnya bukan pada bagian vital seperti dengan cambuk, batu
kecil, atau tongkat pendek, atau meninjunya di dada atau pada bagian lainnya
bukan pada bagian vital, lalu ia mati.
2. Mengikat seseorang dan menjatuhkan ke pinggir air yang
terkadang pasang dan terkadang surut, namun ternyata airnya pasang dan ia pun
meninggal. Termasuk pula ketika seseorang menjatuhkannya ke dalam air yang
dangkal yang biasanya tidak tenggelam, namun orang itu malah tenggelam, lalu
mati.
3. Berteriak terhadap orang yang berakal di saat lengah, lalu ia
mati, atau berteriak terhadap anak-anak atau orang kurang akal yang berada di
atas atap, lalu ia jatuh dan mati.
Hukum pembunuhan syibhul ‘amdi
Hukuman terhadap pembunuhan Syibhul ‘Amdi ada dua:
Pertama, hukum ukhrawi, yaitu haram, dosa, dan sanksi di akhirat, karena
ia menjadi penyebab terbunuhnya seorang yang terpelihara darahnya, hanyasaja
sanksinya di bawah pembunuhan secara sengaja.
Kedua, hukuman di dunia. Hal ini mengakibatkan diat mughallazhah
(berat), namun tidak mengakibatkan diqishas seperti halnya pembunuhan sengaja
meskipun wali korban menuntut qishas. Dan kaffarat wajib dikeluarkan dari harta
pelaku, yaitu memerdekakan seorang budak. Jika tidak sanggup, maka dengan
berpuasa dua bulan berturut-turut; tidak dengan memberi makan orang miskin
karena Allah tidak menyebut demikian.
Diyat diberikan kepada wali korban yang ditanggung oleh ashabah[i]
si pelaku (keluarga atau kerabat dari pihak ayah, seperti halnya ketika
menyerahkan diat karena pembunuhan yang terjadi disebabkan keliru/khatha) yang
diberi tempo dalam waktu tiga tahun[ii].
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
عَقْلُ شِبْهِ الْعَمْدِ مُغَلَّظٌ مِثْلُ عَقْلِ
الْعَمْدِ، وَلَا يُقْتَلُ صَاحِبُهُ وَذَلِكَ أَنْ يَنْزُوَ الشَّيْطَانُ بَيْنَ النَّاسِ،
فَتَكُونُ دِمَاءٌ فِي عِمِّيَّا فِي غَيْرِ ضَغِينَةٍ، وَلَا حَمْلِ سِلَاحٍ
“Diat syibhul ‘amdi adalah diperberat (mugghallazhah) seperti diat
pembunuhan sengaja, namun pelakunya tidak dibunuh. Hal itu karena setan loncat
ke tengah-tengah manusia menimpakan keburukan, sehingga seperti darah yang
tertumpah dalam keadaan tidak jelas, bukan karena kebencian dan tanpa mengangkat
senjata.” (Hr. Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani)
Juga berdasarkan hadits Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu anhu ia
berkata, “Ada seorang wanita memukul wanita madunya menggunakan tiang pasak
tenda sehingga ia meninggal, padahal ia sedang hamil. Salah satunya dari suku
Lihyan. kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan diyat
wanita yang dibunuh ditanggung oleh ashabah (kerabat) wanita pembunuh serta
diat senilai budak terhadap janinnya (yang ikut meninggal), lalu seorang yang
termasuk ashabah wanita yang membunuh berkata, “Apakah kami harus membayar diat
untuk yang belum makan, belum minum, dan belum menangis? Itu adalah kesia-siaan!”
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَسَجْعٌ كَسَجْعِ الْأَعْرَابِ
“Apakah ia mendebatnya dengan sajak (syair) orang-orang Arab
badui?”
Catatan:
- Kafarat bagi pembunuh wajib, baik ia orang dewasa maupun
anak-anak, atau orang gila, dan baik ia sebagai orang merdeka maupun budak.
- Bagi budak kaffaratnya hanyalah dengan berpuasa, karena ia tidak
memiliki harta untuk memerdekakan budak.
- Kaffarat ada bilangannya jika pembunuhan beberapa kali
dilakukan. Jika ia membunuh beberapa orang, maka ia wajib melakukan kaffarat
beberapa kali.
- Jika pembunuhannya mubah, seperti memerangi pemberontak, orang
murtad, pezina muhshan, dan orang yang dibunuh karena qishas atau had, atau
karena yang hendak dibunuh membela diri, maka tidak ada kaffarat terhadap itu
semua.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh
Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Minhajul
Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.
[i] Mereka adalah
kerabatnya yang laki-laki dari pihak ayah seperti ayahnya, saudaranya, anak
saudaranya, pamannya, dan anak pamannya, yang kondisi ekonominya lapang dan dia
sebagai berakal. Diyat itu dibagi-bagi antara mereka, dimana masing-masing
mengeluarkan sesuai keadaannya dalam jangka waktu tiga tahun, dimana pada
setiap tahun diserahkan sepertiga diyat. Tetapi jika mereka mampu membayar
segera, maka tidak mengapa.
Termasuk ke dalam orang yang
membayarkan diyat adalah orang yang buta, yang sakit tidak kunjung sembuh, dan
yang tua jika mereka kaya. Namun tidak termasuk di dalamnya wanita, orang yang
fakir, budak, anak-anak, orang gila, dan yang beda agama dengan si pelaku. Hal
itu, karena ini semua didasari atas pemberian bantuan, dan mereka yang
dikecualikan itu bukan termasuk orang yang bisa membantu.
[ii] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Diyat
boleh tidak diberi tangguh selama tiga tahun atas keluarga pembunuh jika imam
memandang ada maslahatnya.”
0 komentar:
Posting Komentar