بسم الله الرحمن الرحيم
Meluruskan Aqidah dan Manhaj (5)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan pembahasan tentang kekeliruan dalam Aqidah dan manhaj, semoga Allah
menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
14. Keliru
dalam bersikap terhadap orang-orang
kafir
Kita sebagai kaum
muslimin seharusnya menggunakan prinsip agama kita dalam bermu’amalah dengan
orang-orang kafir, berikut ini prinsip-perinsip tersebut:
Pertama,
kita tidak meridhai kekafiran mereka.
Kedua,
kebenaran itu hanya ada pada agama Islam, selain Islam adalah agama yang batil
(lihat QS. Ali Imran 19 & 85).
Ketiga,
derajat kemuliaan dan kehormatan seorang muslim itu jauh lebih tinggi daripada
orang-orang non muslim, dan lebih tinggi pula daripada orang-orang munafik (lihat
QS. Ali Imran: 139)
Keempat,
kita dilarang ridha atau bahkan ikut serta dengan segala bentuk peribadatan dan
keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin[i]
(lihat QS. Al Kaafirun: 1-6).
Kelima,
kita diperintahkan bersikap tegas dengan orang-orang kafir dan munafik (lihat QS.
At Tahrim: 9)
Keenam,
kita tidak boleh lupa dan lengah bahwa sesungguhnya orang-orang kafir itu
menyimpan rasa benci dan permusuhan, khususnya jika kaum muslimin mengamalkan
agamanya (lihat QS. Al Baqarah: 120 dan Ali Imran: 118-120). Oleh karena itu,
janganlah kita minder dalam menampakkan prinsip agama kita di hadapan mereka
dan jangan sampai mempertimbangkan ketersinggungan perasaan orang-orang kafir
dan orang-orang munafik.
Ketujuh,
kita dilarang berwala’ (mencintai dan membela) orang-orang kafir (lihat QS. Al
Ma’idah: 51).
Kedelapan,
kita dilarang menyatakan cinta kasih kepada orang-orang kafir, terlebih kepada mereka
yang terang-terangan menyatakan kebenciannya kepada Islam dan kaum muslimin,
meskipun mereka kerabat terdekat kita. (lihat QS. Al Mujaadilah: 22)
Kesembilan,
kita menyatakan bara’ (berlepas diri) mutlak kepada mereka dan kepada
sesembahan mereka sampai mereka mau masuk ke dalam Islam (lihat QS. Al
Mumtahanah: 6)
Kesepuluh,
kita dilarang menyerupai mereka dalam ciri khas mereka (lihat QS. Al Baqarah:
120), seperti mencukur janggut, memanjangkan kumis dan memakai ikat pinggang pada
gamis yang kita pakai.
Inilah
di antara prinsip yang perlu kita perhatikan dalam bermu’amalah dengan
orang-orang kafir. Karena banyak kaum muslimin yang terpesona melihat
orang-orang kafir, tanpa melihat agama, keyakinan, dan akhlak mereka yang akhirnya
membuat mereka bertasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir dan merasa
bangga ketika meniru mereka dalam ciri khas mereka. Yang lebih
parah lagi adalah sampai hilangnya rasa i’tizaz (bangga) dengan Islam.
Kalau pun kita hendak
mengambil sesuatu dari mereka maka ambillah hal-hal yang bermanfaat seperti
masalah tekhnologi. karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ
قُوَّةٍ
“Persiapkanlah
untuk menghadapi mereka kemampuan yang kalian sanggupi.” (QS. Al Anfaal : 60)
Bukan
akhlak dan tingkah laku mereka yang kita ambil.
Di
sini kami pun ingin menjelaskan bahwa prinsip-prinsip yang kami sebutkan di
atas tidaklah menghalangi kita untuk bersikap adil dan berbuat baik kepada
mereka jika mereka bukan kafir harbiy (yang memerangi Islam), lihat QS. Al
Mumtahanah 6-7.
Contoh
kaum kafir selain harbi adalah:
a.
Kafir
Musta’man, yaitu kaum kafir yang meminta perlindungan kepada kita,
maka kita melindungi mereka sampai waktu yang telah ditentukan dan di tempat
yang ditentukan (lihat QS. At taubah: 6).
b.
Kafir
Mu’ahad, yaitu kaum kafir yang mengikat perjanjian dengan kita,
maka kita wajib memenuhi perjanjian dengan mereka sampai selesai waktu
perjanjian. Hal ini apabila mereka konsisten dengan janjinya (lihat QS. At
Taubah: 4 dan 13)
c.
Kafir
Dzimmiy, yaitu kaum kafir yang membayar jizyah (pajak) kepada
pemerintah Islam agar diberikan perlindungan. Pemerintah Islam wajib melindungi
mereka dan menghindarkan gangguan dari mereka, menghukum mereka jika melakukan
pelanggaran dengan hukum Islam baik dalam hal jiwa, harta dan kehormatan, demikian
juga menegakkan hudud jika mereka meyakini keharaman pelanggaran yang mereka
lakukan. Bagi kafir dzimmiy wajib membedakan diri dengan kaum muslimin seperti
dalam hal pakaian, juga tidak menampakkan sesuatu yang mungkar dalam Islam,
serta tidak menampakkan syi’ar-syi’ar mereka seperti lonceng, salib dsb.
Kepada tiga kelompok
kaum kafir ini, kita dilarang menyakiti hartanya, darahnya, dan kehormatannya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ قَتَلَ
مُعَاهَداً لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ
مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَاماً »
“Barang siapa yang membunuh kafir mu’ahad (yang mengikat
perjanjian)[ii]
maka ia tidak akan mencium wanginya surga, padahal wanginya dapat tercium dari
kejauhan perjalanan empat puluh tahun[iii].”
(HR. Bukhari)
hal ini juga berdasarkan
keumuman firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam hadits Qudsiy,
يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ
الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا
“Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman
terhadap diri-Ku dan Aku menjadikan perbuatan itu haram dilakukan di antara
kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi.” (HR. Muslim)
Prinsip-prinsip
yang kami sebutkan di atas juga tidak menghalangi kita bermu’amalah dengan
mereka seperti berjual-beli, sewa-menyewa, dsb. Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam sendiri pernah membeli kambing milik seorang musyrik. Demikian pula
pernah menyewa Ibnu Uraiqith Al Laitsiy untuk menunjukkan jalan ketika hendak
berhijrah, dan pernah diundang makan oleh orang Yahudi, bahkan Beliau pernah
menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi.
Ibnu
Baththal berkata, “Bermuamalah dengan orang-orang kafir boleh kecuali jual-beli
yang membantu kafir harbi memerangi kaum muslimin.”
Dengan demikian, mu’amalah adalah satu masalah dan wala’
adalah masalah lain.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam
Marwan
bin Musa
[i] Termasuk dalam hal
ini adalah mengucapkan “Selamat natal”, hal ini adalah haram. Karena mengucapkan
selamat natal sama saja ia tidak mengingkari, bahkan menyetujui upacara
tersebut di mana di dalamnya terdapat kesyirkkan. Bukankah kita dilarang
mengatakan kepada orang yang meminum minuman keras, “Selamat meminum minuman
keras”, apalagi dalam hal ini yang dosanya (yakni syirk) melebihi meminum
minuman keras.
[ii] Kafir mu’aahad adalah orang
kafir yang mengikat perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan perlindungan
dari seorang muslim, hudnah (genjatan senjata) dari hakim (pemerintah) atau pun
dengan melakukan ‘akad jizyah (perjanjian membayar pajak).
[iii] Tidak mencium wanginya surga
adalah dengan tidak memasukinya. Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata,
“Sesungguhnya maksud penafian ini –meskipun umum- adalah pengkhususan dengan
waktu tertentu, berdasarkan dalil-dalil fi’liyyah (praktek) dan ‘aqliyyah
(akal) bahwa seorang yang meninggal dalam keadaan muslim, meskipun pelaku dosa
besar, maka ia tetap dihukumi sebagai muslim dan tidak kekal di neraka, tempat
kembalinya (nantinya) adalah surga meskipun sebelumnya diazab terlebih dahulu.”
0 komentar:
Posting Komentar