بسم
الله الرحمن الرحيم
Meluruskan Aqidah dan Manhaj (11)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang
kekeliruan dalam Aqidah dan manhaj, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
26.
Keliru
dalam masalah dzikr.
Memang,
kita diperintahkan banyak berdzikr, bahkan dalam setiap keadaan. Allah Subhaanahu
wa Ta'aala berfirman:
فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا
وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ
"Berdzikrlah
(ingatlah Allah) pada waktu kamu berdiri, duduk, dan pada waktu
berbaring." (QS. An Nisaa': 103)
Tentang maksud ayat di atas, para
ulama mufassirin menafsirkan dengan beberapa tafsiran berikut,
Pendapat pertama,
maksudnya adalah kita juga diperintahkan berdzikr ketika di luar shalat,
yakni ingatlah Allah (dengan hati yang menghayati dan lisan yang mengucapkan)
dan tasbihkanlah di setiap saat dan setiap waktu serta di setiap keadaan, baik
malam maupun siang, secara sembunyi maupun terang-terangan, pagi maupun petang,
di darat maupun di lautan, ketika safar maupun ketika hadhar (tidak safar),
ketika sehat maupun ketika sakit dan dalam setiap keadaan.
Pendapat kedua, maksudnya adalah apabila dalam shalat kita tidak mampu berdiri,
maka shalatlah sambil duduk dan apabila tidak mampu duduk, maka shalatlah
sambil berbaring.
Pendapat ketiga, maksudnya adalah rasa takut kepada Allah[i]
meliputi mereka, baik ketika berdiri yakni ketika mereka melakukan aktivitas
keseharian, maupun ketika duduk yakni di saat santai dan ketika berbaring yakni
ketika tidur.
Maksud ayat tersebut bukanlah sebagaimana yang
ditafsirkan oleh orang awam seperti dengan menggoyang-goyang kepala ketika
berdzikr atau mengendalikan nafas ketika berdzikr, dsb. Hal ini sama sekali
tidak pernah dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para
sahabat, dan para tabi'in.
Di
sini, kami sampaikan pula contoh kekeliruan dalam berdzikr, di antaranya:
1.
Berdzikr dengan menyebut “Allah, Allah”
Sebagian
orang ada yang berdzikr dengan menyebut “Allah, Allah” saja beralasan dengan
ayat berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Wahai
orang-orang yang beriman! Berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir
yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al Ahzab: 41)
Kita katakana, bahwa Rasulullah
shallalllahu 'alaihi wa sallam dalam Sunnahnya tidak pernah membaca dzikr hanya
sebatas "Allah" "Allah" seperti itu. Demikian juga para
sahabatnya tidak menjadikan ayat ini sebagai dalil berdzikr hanya menyebut
"Allah-Allah" saja seperti yang dilakukan kaum Shufi.
Ibnu Abbas berkata dalam
menafsirkan ayat di atas, "Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mewajibkan
kepada hamba-hamba-Nya suatu kewajiban, kecuali menetapkan batasan yang
ditentukan, Dia memberi udzur hamba-Nya ketika mendapat udzur selain dzikr,
karena sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menetapkan batas akhirnya, dan tidak
memberi udzur seorang pun untuk meninggalkannya kecuali karena terpaksa
meninggalkannya, Dia berfirman, ""Berdzikr-lah (ingatlah Allah)
pada waktu kamu berdiri, duduk dan pada waktu berbaring." (QS. An Nisaa':
103) baik di malam maupun siang, di darat maupun di lautan, saat safar
maupun tidak, ketika kaya maupun miskin, ketika sehat maupun sakit, ketika sepi
maupun terang-terangan dan dalam kondisi bagaimana pun. Dia juga berfirman, "Dan
bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang." (Terj. QS. Al
Ahzab: 42). Jika kalian sudah melakukannya, maka Allah akan memberikan rahmat
kepadamu dan para malaikat akan memintakan ampunan untukmu." (Lihat Al
Misbahul Munir fii Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal. 1094-1095)
2. Salah menempatkan
dzikr
Dzikr terbagi dua: Dzikr
Mutlak dan Dzikr Muqayyad. Dzikr Mutlak adalah dzikr yang tidak
ditentukan oleh syara’ (Al Qur’an dan As Sunnah) kapan dibacanya, maka boleh dibaca
kapan selama tidak pada waktu yang seharusnya dibaca adalah dzikr muqayyad.
Sedangkan Dzikr Muqayyad adalah dzikr yang ditentukan oleh syara’ kapan
dibacanya, seperti dzikr setelah shalat, dzikr ketika masuk masjid dan
keluar masjid, dzikr memakai pakaian dan melepasnya, dzikr ketika akan makan,
dsb.
Contoh Dzikr Mutlak adalah
seperti dalam hadits berikut:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r
:أَحَبُّ اَلْكَلَامِ
إِلَى اَللَّهِ أَرْبَعٌ, لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ: سُبْحَانَ
اَللَّهِ, وَالْحَمْدُ لِلَّهِ, وَلَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ, وَاَللَّهُ
أَكْبَرُ
Dari Samurah bin Jundub
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ucapan yang paling dicintai Allah ada empat, tidak mengapa bagimu
memulai dari yang mana saja, yaitu: Subhaanallah wal hamdulillah wa laa
ilaaha illallah wallahu akbar.”[ii]
(HR. Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ
إِلَى اَلرَّحْمَنِ, خَفِيفَتَانِ عَلَى اَللِّسَانِ, ثَقِيلَتَانِ فِي اَلْمِيزَانِ,
سُبْحَانَ اَللَّهِ وَبِحَمْدِهِ , سُبْحَانَ اَللَّهِ اَلْعَظِيمِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua kalimat
yang dicintai Ar Rahman (Allah), ringan di lisan, dan berat di timbangan yaitu,
“Subhaanallah wa bihamdih-subhaanallahil ‘azhiim.”[iii]
(HR. Bukhari)
Pada kedua hadits ini Rasulullah
shallalllahu 'alaihi wa sallam tidak menetapkan kapan dibaca, sehingga dzikr
ini tergolong ke dalam dzikr mutlak, yakni dibaca kapan saja, namun bukan pada
saat yang di sana disyariatkan membaca dzikr muqayyad. Sehingga dzikr ini tidak
bisa dibaca ketika masuk rumah atau keluar rumah, masuk masjid atau keluar
masjid, dsb. karena masuk rumah atau keluar rumah dan masuk masjid atau keluar
masjid sudah ada dzikr tersendiri dari Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa
sallam (dzikr muqayyad).
Kami jelaskan seperti ini agar
kita tidak salah menempatkan dzikr, karena banyak kaum muslimin keliru dalam
menempatkan dzikr, mereka membaca dzikr mutlak pada saat-saat dzikr muqayyad. Kita
sama sekali tidak menyalahkan dzikrnya, yang kita permasalahkan adalah penempatannya. Bagaimana
menurut anda jika saya membaca “Subhaanallah wa bihamdih, subhaanallahil
‘azhiim” pada saat saya duduk tasyahhud dalam shalat? Tentu Anda akan menyalahkan
saya. Mengapa? jawabnya karena ketika tasyahhud ada bacaan tersendiri dari Nabi
shallalllahu 'alaihi wa sallam, yaitu, “At tahiyyaatu…dst.” Demikian
juga kami mengkatakan, bahwa keliru membaca “Laailahaaillallah” 100 kali atau
membaca Al Fatihah setelah shalat, karena setelah shalat sudah ada dzikr
tersendiri dari Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam, yaitu –di antaranya-
sbb:
1-أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ 3x
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا
الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (رواه مسلم)
2-لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ
الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا
مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا
الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ (رواه مسلم)
4- سُبْحَانَ اللهِ 33 اَلْحَـْمدُ ِللهِ 33 اَللهُ
أَكْـَبرُ 33
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ
وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (رواه مسلم)
Membaca Ayat kursi, surah Al
Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas.
3.
Contoh lain kekeliruan dalam berdzikr
Dalam
berdzikr, hendaknya kita memperhatikan adab-adabnya seperti dengan bertadharru’
(merendahkan diri), tidak mengeraskan suara, dan adanya rasa takut (lihat Al
A’raaf: 205). Ketika berdzikr, kita dapat menyaksikan banyak yang melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak diajarkan Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa
sallam di samping tidak sesuai dengan adab berdzikr, seperti:
-
Berdzikr
sambil menggoyang-goyang kepala.
-
Berdzikr
sambil menarik nafas.
-
Berdzikr
memakai alat musik atau melantunkannya seperti bernyanyi.
-
Berdzikr
dengan jama’i (bersama-sama) dan dengan dipimpin. Bahkan yang benar adalah
masing-masing berdzikr.
-
Menghitung
dzikr dengan jari tangan kiri. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menghitungnya dengan tangan kanan. Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata: “Aku
melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung tasbih dengan
tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, tercantum dalam Shahihul
Jami’).
-
Menyelipkan
tambahan ke dalam dzikr Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam, yang bukan
dari Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam.
Membuat-buat dzikr sendiri tanpa contoh dari Rasulullah
shallalllahu 'alaihi wa sallam. Seperti raatibul haddad, shalawat
nariyah, shalawat badar dan tahlilan.
28. Mengeluarkan seseorang dari Ahlussunnah karena
perbedaan masalah furu’/ fiqhiyyah.
Tidak
bisa kita mengeluarkan seseorang dari Ahlussunnah karena berbeda dalam masalah
furu’ (cabang). Bukankah di antara para sahabat terjadi perbedaan dalam masalah
furu’? Namun hal itu tidak membuat mereka berpecah. Oleh karena itu, masalah
furu’ tidak bisa dijadikan tolok ukur utama untuk membedakan ini Ahlussunnah
dan ini Ahlul bid’ah, yang membedakan adalah dalam masalah ‘Aqidah, manhaj, dan
dalam masalah-masalah yang telah disepakati oleh umat (seperti masalah furu'
yang telah disepakati). Contoh dalam ‘Aqidah adalah Ahlusssunnah mengimani
qadar, sedangkan Qadariyyah tidak mengimaninya. Contoh dalam masalah manhaj
adalah bahwa Ahlussunnah menerima semua hadits yang shahih meskipun jalur
periwayatannya tidak mutawatir (Ahad), sedangkan selain Ahlusunnah menolak
hadits Ahad meskipun shahih. Sedangkan contoh dalam masalah furu’ yang telah
disepakati adalah haramnya nikah mut’ah (kawin kontrak), sedangkan Syi’ah
membolehkan, padahal jelas sekali dalam As Sunnah tentang keharamannya.
Perlu
diketahui, dalam masalah ‘Aqidah, Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah sama, mereka
berbeda hanyalah dalam masalah furu’ dan hal ini tidaklah membuat mereka berpecah belah serta saling
membenci.
Perbedaan (ikhtilaf)[iv] antara ulama ahlussunnah
terjadi karena beberapa sebab, bisa karena belum sampainya dalil, bisa juga
karena berbeda dalam memahami[v] atau karena menganggap
bahwa dalil itu sudah mansukh atau karena menganggap bahwa hadits tersebut
tidak shahih, atau karena sebab lain.
Bagaimana
menyikapi perbedaan ulama?
Dalam
menyikapi perbedaan ulama, ada ada tiga keadaan manusia, yaitu:
1. Ulama sebagai orang yang diberi ilmu dan pemahaman
oleh Allah Ta'ala.
2. Penuntut ilmu, dimana ia memiliki ilmu namun belum dalam (rasikh)
sebagaimana ulama.
3. Orang awam.
Ulama berhak ijtihad, ia berhak menggalli hukum dari dalil itu meskipun
hasil istinbatnya menyelisihi yang lain. Jika ijtihadnya betul, maka ia akan
memperoleh dua pahala, dan jika salah maka ia memperoleh satu pahala karena
niatnya mencari yang hak setelah melalui jalur-jalurnya (seperti melalui Ushul
Fiqh yang dimiliknya, pengetahuannya yang luas terhadap dalil, Qawaa'idul
fiqhiyyah, dsb). Mereka tidak bisa dicela jika ijtihadnya keliru, karena "Maa
'alal muhsiniin min sabiil", yakni orang yang telah bersusah payah
dengan niat yang baik untuk memperoleh yang hak tidaklah bisa disalahkan.
Penuntut ilmu, ia hendaknya ittiba' (tidak asal mengikuti
tanpa mengetahui dalilnya), ia bisa berpegang dengan keumuman dalil dan
kemutlakannya serta berdasarkan dalil yang sampai, akan tetapi ia tetap harus
berhati-hati, jangan lupa bertanya kepada orang yang lebih alim agar tidak
tergelincir. Dan jika dihadapkan perbedaan para ulama, hendaknya dipilih
pendapat yang yang lebih rajih atau lebih dekat kepada kebenaran.
Orang awam, kewajibannya adalah bertanya kepada ulama yang dipandangnya
berilmu, itulah sikapnya, Allah Ta'ala berfirman,
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. An Nahl: 43)
Mereka bisa langsung
mengamalkannya dan tidak dituntut harus mengetahui secara detail
alasan-alasannya, karena mereka tidak mampu mengkaji secara mendalam.
Perbedaan ijtihad tidak boleh
menjadikan kita berpecah belah
Perbedaaan dalam masalah
ijtihadiyah janganlah menjadikan kita berpecah belah, bergolong-golongan, dan
saling menyesatkan antara yang satu dengan yang lain. Hal itu, karena yang
demikian dapat melemahkan kekuatan kaum muslimin di hadapan musuh mereka,
padahal kita semua mengetahui bahwa musuh-musuh Islam sedang mencari celah
menimpakan bahaya kepada kaum muslimin.
Haruskah memegang madzhab tertentu?
Pernah ada seorang yang bertanya kepada
redaksi majalah As Sunnah (edisi 08/tahun XI/1428 H), “Bolehkah kita
menggabung pemahaman (ijtihad) mengenai tata cara shalat dari ulama yang
berbeda? Contohnya dengan mengambil pendapat Syaikh Al Albani dan Syaikh bin
Baz?”
Majalah As Sunnah menjawab,
“Shalat merupakan rukun Islam yang agung.
Tata caranya telah dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan
kita diperintahkan untuk melakukannya sebagaimana Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam mencontohkannya. Ini disampaikan dalam sabda Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya, “Shalatlah kalian sebagaimana
kalian telah melihat aku shalat.” Bagi kita yang tidak hidup pada zaman
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak melihat langsung shalat Beliau,
namun melihatnya melalui riwayat para sahabat yang melihat Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam shalat, kemudian yang telah ditulis oleh para ulama dalam
kitab-kitab hadits dan fiqih. Memang, terkadang muncul ijtihad para ulama dalam
memahami satu riwayat tertentu, sehingga terkesan tata caranya berbeda antara
yang satu dengan lainnya. Maka dalam hal ini kita harus mengambil pendapat yang
rajih dari ijtihad-ijtihad tersebut. Sehingga dalam keadaan tertentu, mungkin
yang dirajihkan pendapat Syaikh bin Baz. Misalnya, dalam hal sedekap ketika
I’tidal itu yang rajih, sehingga diambil. Pada keadaan lainnya, seperti ketika
turun sujud mendahulukan tangan daripada
lutut. Yang dirajihkan syaikh Al Albani itulah yang rajih, sehingga diambil.
Dari
gambaran di atas, jika seseorang mengambil dan menggabung ijtihad-ijtihad
tersebut dengan dasar tarjih, maka insya Allah boleh, karena menjadikan ijtihad
ulama sebagai sarana memahami tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. Dan lagi tidak ada kewajiban mengikuti seorang pun dalam urusan agama
ini, kecuali Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, yang
kita ambil ialah yang paling dekat kepada ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam dengan kemampuan kita dalam mentarjihnya.”
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam
Marwan
bin Musa
[i] Yakni rasa takut yang disertai
rasa rajaa' (berharap) dan cinta kepada Allah, karena ibadah itu membutuhkan
tiga pilar ini.
[ii] Artinya: Mahasuci Allah, segala
puji bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah
Mahabesar.
[iii] Artinya: Mahasuci Allah sambil
memuji-Nya, dan Mahasuci Allah Yang Mahabesar.
[iv] Namun bukanlah termasuk masalah
ikhtilaf perkara bid’ah. Bid’ah juga berbeda dengan Maslahah
Mursalah, karena maslahah mursalah tegak di atas ka’idah “Maa laa yatimmul
waajib illaa bihi fahuwa waajib” (Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali
dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib).
[v] Contohnya adalah ketika Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat agar tidak meakukan shalat
‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah, sebagian mereka sampai menta’khirkan shalat
‘Ashar dan mengerjakannya ketika tiba di Bani Quraizhah karena berpegang dengan
zhahir sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan sahabat yang lain
sudah melakukan shalat meskipun belum tiba di Bani Quraizhah karena khawatir
habisnya waktu shalat, mereka mengira bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menyuruh begitu agar para sahabat segera menuju ke sana , ketika sampai berita itu ke hadapan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
mengingkari seorang pun (sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari). Oleh karena
itu, “Al Ijtihad laa yunqadhu bil ijtihad” (Ijtihad tidak bisa
dibatalkan dengan ijtihad).
0 komentar:
Posting Komentar