Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya
semua. Amma ba’du:
Berikut merupakan lanjutan fiqh
fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya. Semoga Allah menjadikan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
XIX. Dzawul Arham
Dzawul arham adalah kerabat yang bukan
termasuk as-habul furudh dan bukan ‘ashabah seperti khal (paman dari pihak ibu)
dan khalah (bibi dari pihak ibu), ‘ammah (bibi dari pihak bapak), puteri paman,
putera saudari, puteri saudari, anak-anak dari puteri, dan setiap kerabat yang
bukan ahli waris karena ia bukan termasuk as-habul furudh dan bukan ‘ashabah.
a) Hukum kewarisan mereka
Para
ulama berbeda pendapat tentang kewarisan dzawul arham. Sebagian sahabat, tabiin,
dan imam berpendapat bahwa mereka tidak mendapat warisan karena Allah Subhaanahu
wa Ta'aala sendiri yang mengatur pembagian warisan dalam kitab-Nya, dan Dia
membatasi hanya sampai As-habul furudh dan ‘ashabah. Di antara ulama yang
berpendapat bahwa mereka tidak mendapatkan warisan adalah Imam Malik dan Imam
Syafi’I rahimahumallah.
Sedangkan
ulama yang berpendapat bahwa mereka mendapatkan warisan adalah Abu Hanifah dan
Ahmad rahimahullah. Mereka berdalih dengan hadits, “Al Khaalu
waaritsu man laa waaritsa lah.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, namun dalam
sanadnya terdapat kelemahan).
Di
antara kedua pendapat di atas yang rajih, adalah pendapat yang mengatakan bahwa mereka
mendapatkan warisan. Oleh karena itu, banyak fuqaha’ dari kalangan madzhab
Maliki dan Syaf’i yang berpendapat bahwa mereka mendapatkan warisan. Hal itu,
karena dzawil arham adalah kerabat, sedangkan kerabat wajib disambung
hubungannya, dan lagi karena mereka mempunyai hubungan dengan orang yang
meninggal, baik hubungan kerabat maupun hubungan Islam. Berbeda dengan Baitul
mal, karena yang meninggal tidak berhubungan dengan Baitulmal selain Islam.
Terlebih mereka mensyaratkan, bahwa Baitulmal tersebut harus teratur,
pengurusnya orang yang adil, pengawasnya orang yang amanah, dan dialihkan harta
itu untuk maslahat umum kaum muslimin, sedangkan syarat-syarat ini jarang
terwujud.
b) Cara pemberian warisan kepada Dzawul
arham
Mereka diberi warisan dengan
diposisikan sesuai orang yang menghubungkannya dari kalangan As-habul furudh
dan ‘ashabah, maka diberikan salah seorang di antara mereka sesuai yang
diberikan kepada orang yang menghubungkannya (as-habul furudh atau ‘ashabah)
oleh muwarritsnya dan menempati posisinya. Oleh karena itu, jika seorang wafat
meninggalkan puteri dari puteri, putera dari saudari, maka warisan dibagi dua
setengah-setengah. Untuk puteri dari puteri mendapatkan setengah, karena itu
merupakan warisan ibunya, sedangkan bagi puteri dari saudari mendapatkan ½ pula
sebagai warisan ibunya, karena jika seorang wafat meninggalkan puteri dan
saudari, tentu harta dibagi dua bagian, masing-masingnya setengah, dimana
bagian puteri adalah setengah, sedangkan bagian saudari adalah setengah.
Jika saudari tersebut adalah sekandung
dan ia bersama puteri dari saudara seayah, maka puteri dari saudara tersebut
tidak mendapatkan apa-apa, karena yang menghubungkannya adalah saudara seayah
yang termahjub oleh saudari sekandung, sehinga warisan hanya dibagi antara
puteri dari puteri dan putera dari saudari yaitu setengah-setengah, seperti
ini:
Ahli Waris |
AM = 2 |
Puteri dari puteri |
1 |
Puteri saudari sekandung |
1 |
Puteri saudara seayah |
0 |
Contoh lain:
Seorang wafat meninggalkan puteri
saudari sekandung, puteri saudari seayah, putera saudari seibu, puteri paman
sekandung, maka untuk puteri dari saudari sekandung adalah setengah sebagai
warisan bagi ibunya yang si anak ini menduduki posisinya, untuk puteri saudari seayah
mendapatkan seperenam untuk menyempurnakan 2/3, ia merupakan warisan ibunya
yang menduduki posisinya, sedangkan untuk putera saudari seibu mendapatkan 1/6
sebagai bagian ibunya, adapun sisanya, maka untuk puteri paman sekandung
mendapatkan bagian pewarisnya yang menjadi ‘ashabah yaitu paman, seperti inilah
contohnya:
Ahli
Waris |
Fardh |
AM
= 6 |
Puteri
saudari sekandung |
½ |
3 |
Puteri
saudari seayah |
1/6 |
1 |
Putera
saudari seibu |
1/6 |
1 |
Puteri
paman sekandung |
Sisa |
1 |
Contoh lain:
Seorang wafat meninggalkan puteri dari
puteri, putera dari saudari sekandung, putera dari saudari seibu, dan puteri dari
saudara seayah, sehingga untuk puteri dari puteri adalah ½ sebagai bagian
warisan ibunya yang menduduki posisinya, untuk putera dari saudari sekandung
adalah setengah sebagai bagian ibunya yang menduduki posisinya, sedangkan untuk
putera dari saudari seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ibunya yang
menduduki posisinya tidaklah menjadi ahli waris karena termahjub oleh puteri
sekandung, sebagaimana puteri dari saudara seayah juga tidak memperoleh
apa-apa, karena yang menghubungkannya yaitu saudara seayah termahjub oleh
saudari sekandung. Seperti inilah gambarannya:
Ahli Waris |
AM = 2 |
Puteri dari puteri |
1 |
Puteri saudari sekandung |
1 |
Puteri saudari seibu |
0 |
Puteri dari saudara seayah |
0 |
Contoh lain:
Seorang wafat meninggalkan bibi dari
pihak ibu, bibi dari pihak bapak, maka untuk bibi dari pihak ibu mendapatkan
1/3, karena itulah warisan ibu yang menhubungkannya kepada yang meninggalkan
warisan. Untuk bibi dari pihak bapak adalah 2/3 sisanya, karena itulah warisan
orang yang menghubungkannya yaitu bapak, sedangkan bapak adalah ‘ashabah ia
mewarisi sisa as-habul furudh, seperti ini:
Ahli Waris |
AM = 3 |
Khalah (Bibi dari pihak ibu) |
1 |
‘Ammah (Bibi dari pihak bapak) |
2 |
Catatan:
1. Dzawul arham tidaklah mendapat warisan jika masih ada
as-habul furudh atau ‘ashabah, karena sisanya dari as-habul furudh dikembalikan
kepada as-habul furudh sampai tidak tersisa sesuatu pun, kecuali jika as-habul
furudhnya salah satu dari suami-istri, maka ketika itu diberikan kepada dzawul
arham.
Misalnya, seorang wafat meninggalkan saudara
seibu atau seayah dan ‘ammah (bibi dari pihak bapak), maka ia (saudara)
mengambil semua bagiannya, dan ‘ammah tidak mendapatkan apa-apa, karena ia
termasuk dzawul arham, dan tidak ada dari warisan yang diberikan kepadanya.
Demikian pula jika seorang wafat meninggalkan ibu dan khalah, maka harta untuk
ibu sebagai as-habul furudh dan mendapatkan radd, sedangkan khalah tidak
mendapatkan apa-apa. Adapun jika seorang wafat meninggalkan istri dan puteri
dari saudara laki-laki, maka istri mendapatkan ¼ sebagai fardhnya, sedangkan
sisanya untuk puteri dari saudara, karena ia menduduki posisi bapaknya yang
menjadi ‘ashabah yang mengambil sisa fardhnya.
2. Dzawul arham ketika berkumpul bersama, maka dilihat keadaan
mereka, dan bahwa seakan-akan mereka adalah ahli waris yang asli dari kalangan
as-habul furudh dan ‘ashabah, sehingga yang lebih tinggi memahjub yang berada
di bawahnya, dan yang sekandung memahjub yang seayah.
Ketika terjadi kesamaan derajatnya dan
kedekatannya, maka mereka sama dalam warisan, dimana salah satunya tidak lebih
dari yang lain dan untuk laki-laki dua kali bagian perempuan. Contohnya adalah
seorang wafat meninggalkan puteri dari puteri, puteri dari puteri dari puteri
atau putera dari puteri dari puteri, maka harta untuk puteri dari puteri saja,
adapun puteri dari puteri dari puteri tidaklah memperoleh apa-apa, demikian
pula putera dari puteri dari puteri, karena puteri dari puteri lebih tinggi
derajatnya dan yang tinggi memahjub yang rendah.
Contoh lainnya adalah seorang wafat
meninggalkan puteri dari saudara sekandung dan puteri dari saudara seayah, maka
harta untuk puteri dari saudara sekandung, sedangkan untuk puteri dari saudara seayah
tidaklah memperoleh apa-apa karena saudara sekandung memahjub saudara seayah.
Oleh karena itu, diperhatikan siapa yang mewarisi dan yang termahjub, maka yang
menghubungkan dengan ahli waris menjadi mewarisi sedangkan yang menghubungkan dengan selain ahli waris, maka
tidaklah mewarisi. Misalnya seorang wafat meninggalkan puteri dari puteri dari
anak laki-laki dan putera dari putera dari puteri, maka harta untuk puteri dari
puteri dari anak laki-laki, sedangkan putera dari putera dari puteri tidaklah
memperoleh apa-apa, karena ia meskipun sama derajatnya, sampai kepada yang
wafat itu dua derajat, hanyasaja puteri dari puteri dari anak laki-laki telah
menghubungkan dengan ahli waris sehingga mewarisi, adapun putera dari putera
dari puteri, maka ia menghubungkan dengan selain ahli waris sehingga tidak
mewarisi, karena putera dari putera itu ahli waris, sedangkan putera dari
puteri bukanlah ahli waris.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar