بسم
الله الرحمن الرحيم
Meluruskan Aqidah dan Manhaj (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan pembahasan tentang kekeliruan dalam Aqidah dan manhaj, semoga Allah
menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
10. Keliru dalam memahami
tujuan jihad
Banyak orang yang keliru
memahami tujuan jihad. Mereka menyangka bahwa jihad itu dilakukan untuk
menumpahkan darah atau sekedar balas dendam.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin
Baz pernah berceramah, “Wahai orang yang menjadikan jihad sebagai syi’arnya!
Pernahkah anda bertanya kepada diri anda sehari saja “Apakah termasuk jihad fii
sabiilillah menghalalkan darah orang-orang yang dijamin keamanannya? Apakah
termasuk jihad fii sabiilillah merusak harta benda milik kaum muslimin?….”
Ia juga berkata, “Wahai
orang yang mencintai jihad dan meninggikan syi’arnya, sesungguhnya Islam tidak
menghendaki menumpahkan darah, bahkan berusaha menjaganya setiap kali ditemui
jalan untuk menjaganya,
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
“Dan jika
mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya.” (QS. Al Anfal:
61).”
Jadi, jihad tidaklah
disyari’atkan bertujuan untuk menumpahkan darah, membunuh dan sebagai balas dendam.
Perang yang dilakukan tidak lain bertujuan untuk memadamkan fitnah, agar
manusia dapat beribadah kepada Allah dengan aman, agar jiwa-raga, kehormatan
dan harta mereka terpelihara, agar dakwah Islam dapat disebarluaskan ke semua
manusia; untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya.
Ta'rif (definisi) Jihad
dan pembagiannya
Jihad artinya seseorang mengerahkan semua kesanggupan
dan kemampuannya serta siap memikul derita
dalam memerangi musuh dan menahan agresinya.
Biasanya istilah jihad dipakai untuk memerangi
orang-orang kafir.
Berjihad memerangi orang-orang kafir bisa dilakukan dengan
tangan, harta, lisan dan hati. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
جَاهِدُواالْمُشْرِكِيْنَ
بِأَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Berjihadlah melawan
orang-orang musyrik dengan harta, tangan dan lisan kalian.”
(Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i)
Makna jihad bisa lebih luas lagi dari sekedar melawan
orang kafir.
Istilah Jihad juga bisa dipakai untuk sikap menahan
nafsu, melawan setan, dan melawan orang-orang fasik.
Adapun berjihad menahan nafsu adalah dengan belajar
agama, mengamalkannya, bersabar dan mengajarkannya.
Berjihad melawan setan,
yaitu dengan membantah syubhat yang dibawanya kepada kita dan meninggalkan hawa
nafsu yang telah dihiasnya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ
فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ
السَّعِيرِ
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia
musuh(mu), karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka
menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Faathir: 6)
Sedangkan jihad terhadap orang-orang fasik bisa dengan
tangan, lisan, dan hati sesuai kemampuannya. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
» .
“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka
rubahlah dengan tangannya. Jika tidak sanggup, maka dengan lisannya, dan jika
ia tidak sanggup maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jihad itu
ada yang dilakukan dengan tangan, ada juga yang dilakukan dengan dakwah dan
penegakkan hujjah, demikian juga dengan lisan, pikiran, siasat dan membuat
peralatan. Ia (jihad) wajib sesuai yang bisa dilakukannya. Bagi orang yang
tidak ikut karena ‘udzur, harus mengurus keluarga mujahidin dan harta mereka.”
Tujuan disyari’atkan jihad
Dalam Islam, jihad
disyari’atkan karena dua hal:
1. Untuk membela diri, membela
kehormatan, membela harta dan tanah air ketika diserang atau dijajah. Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَقَاتِلُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا
"Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas…" (QS. Al Baqarah: 190)
2. Untuk membela dakwah ketika
dihalangi. Misalnya orang yang masuk Islam disiksa, dihalanginya orang yang
hendak masuk Islam, atau dilarangnya da'i berdakwah dsb. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا
عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
"Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan
itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka
tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim." (QS.
Al Baqarah: 193)
Jihad yang paling utama
adalah “Kalimatu haqqin ‘inda sulthaanin jaa’ir” (berkata benar
di hadapan penguasa yang zhalim)[i],
seperti yang dilakukan salah seorang keluarga Fir’aun yang beriman kepada Nabi
Musa ‘alaihis salam, ketika Fir’aun hendak membunuh Nabi Musa ‘alaihis salam,
orang itu berkata kepada Fir’aun,
"Apakah kamu akan
membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan, "Tuhanku adalah Allah, padahal
dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan
jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan
jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya
kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang
melampaui batas lagi pendusta.”
Demikian juga seperti
yang diucapkan Abu Bakr Ash Shiddiq kepada ‘Uqbah bin Abi Mu’aith “Apakah
kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan, "Tuhanku adalah
Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan
dari Tuhanmu.” Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dicekik
lehernya dengan kain oleh ‘Uqbah bin Abi Mu’aith.
Hukum jihad adalah
fardhu kifayah; jika sudah ada yang melakukan, maka kaum muslimin yang lain
tidak berdosa. Dan bisa menjadi fardhu ‘ain dalam keadaan-keadaan berikut:
1. Apabila ia hadir
dalam peperangan itu, maka ia wajib ikut berperang, tidak boleh pulang.
2. Apabila musuh
mengepung negerinya. Hal itu, karena dalam dua keadaan ini jihad menjadi jihad
daf’ (pembelaan). Jika ia mundur, orang-orang kafir nantinya akan menguasai
daerah kaum muslimin.
3. Ketika kaum muslimin
butuh berperang dan mengadakan pembelaan.
4. Apabila imam kaum
muslimin memintanya untuk berangkat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam “Idzas
tunfirtum fan firuu” (Apabila kalian diminta berangkat perang, maka
berangkatlah)[ii].
Pembahasan
panjang tentang jihad bisa dilihat di kitab-kitab fiqh, di sini kami hanya
menjelaskan pemahaman keliru tentang tujuan disyari’atkan jihad.
Demikian
pula sebelum dilakukan jihad dengan perang, hendaknya seseorang melakukan jihad
dengan ilmu (menegakkan hujjah), yakni menyampaikah dakwah terlebih dahulu sebagaimana
yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berada di
Makkah. Saat itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan
pembelaan (jihad fisik), karena melihat
kaum muslimin masih sedikit, dikhawatirkan jika melakukan pembelaan, kaum
muslimin akan dihabiskan, hal ini merupakan siyasah syar’iyyah (politik syar'i).
Ada
masalah penting juga yang menurut kami perlu dibahas, yaitu tentang “Bom Bunuh
Diri” untuk melumpuhkan orang-orang kafir, yakni apakah hal itu dibolehkan atau
tidak?
Jawab:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata ketika
mensyarah hadits tentang kisah As-habul Ukhdud di Riyadhush Shalihin,
“Adapun yang dilakukan sebagian orang yakni dengan melakukan bunuh
diri, ia membawa bom dan maju ke hadapan orang-orang kafir lalu meledakkannya
di tengah-tengah mereka, maka hal ini termasuk bunuh diri wal ‘iyadz billah…dst.”
Beliau juga berkata,
“Hal itu, karena ia sama saja telah membunuh dirinya dan bukan
untuk maslahat Islam. Jika ia membunuh dirinya dan berhasil membunuh sepuluh,
seratus atau dua ratus musuh, maka Islam sama sekali tidak mendapatkan manfaat
dari hal itu, orang-orang pun tidak masuk Islam; berbeda dengan kisah pemuda
(dalam kisah as-habul ukhdud), karena sikapnya membuat manusia masuk Islam.
Semua yang berada di tanah lapang itu masuk Islam. Adapun jika yang mati dari
kalangan musuh hanya sepuluh, dua puluh, seratus atau dua ratus, maka hal itu
tidak membuat orang lain masuk Islam. Yang demikian, karena rakyat Palestina
jika salah seorang di antara mereka meninggal dunia karena bom tersebut dan
berhasil membunuh enam atau tujuh orang, akibatnya musuh membunuh enampuluhan
orang atau lebih, sehingga hal itu tidak bermanfaat bagi kaum muslimin dan
tidak memberikan manfaat bagi orang-orang yang meledakkan bom ke tengah-tengah
musuh.
Oleh karena itu, kami memandang bahwa yang dilakukan sebagian
orang yakni dengan melakukan aksi bunuh diri, bahwa hal itu merupakan bunuh
diri dengan tanpa alasan yang benar, dan bahwa hal itu dapat menjadikan
seseorang masuk neraka –wal ‘iyaadz billah-, orang yang melakukannya bukan
syahid. Akan tetapi, jika seseorang melakukannya karena menta’wil bahwa hal itu
boleh, maka kita berharap ia terlepas dari dosa, namun jika dicatat sebagai
syahid maka hal itu tidak, karena ia tidak menempuh jalan syahid, tetapi
selamat dari dosa karena salah ta’wil, dan barang siapa yang berijtihad, namun
ijtihadnya salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (1/223)
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam
Marwan
bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar