بسم
الله الرحمن الرحيم
Meluruskan Aqidah dan Manhaj (12)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang
kekeliruan dalam Aqidah dan manhaj, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
29. Mengatakan, “Tidak perlu mempermasalahkan orang
yang beribadah dengan caranya sendiri, yang perlu dipermasalahkan adalah orang
yang tidak shalat.”
Jawaban
ini biasanya muncul dari beberapa orang yang tidak mau diluruskan atau menolak
yang hak (benar); ketika telah jelas yang benar, dan dirinya keliru ia balik
menjawab, “Tidak perlu mempermasalahkan orang yang beribadah dengan caranya
sendiri[i],
yang perlu dipermasalahkan adalah orang yang tidak shalat.” Atau kata-kata
yang serupa dengan itu. Seperti mengatakan, “Jangan mempermasalahkan antara
orang yang memakai “ushalliy” (yakni melafazkan niat) dengan yang tidak,
salahkanlah orang yang tidak shalat.”
Memang kita salahkan orang yang tidak shalat, akan tetapi
jika orang yang shalat juga keliru dalam mengerjakannya, apa salahnya jika kita
luruskan. Bukankah kebaikannya untuk dirinya, sehingga ia dapat lebih sempurna
dalam menjalankan ibadah dan sesuai tuntunan Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa
sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri meluruskan
sahabat-sahabatnya yang keliru shalatnya, ada di antara mereka yang shalatnya
tidak thuma’ninah, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh untuk
mengulangi shalatnya. Beliau juga meluruskan orang yang berbicara ketika
shalat, Beliau juga meluruskan orang yang rukunya tidak lurus. Lalu apa
salahnya jika kita mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
meluruskan orang yang keliru, tentunya dengan cara yang baik.
30. Tidak memahami Amar ma’ruf dan nahi munkar (amr
ma’ruf & nahi mungkar)
Amar
Ma’ruf maksudnya menyuruh orang lain mengerjakan perintah Allah, sedangkan nahi
mungkar maksudnya melarang dan mencegah kemungkaran (yang dilarang Allah).
Contoh perintah Allah adalah tauhid (ini adalah perkara ma’ruf yang paling
tinggi), mendirikan shalat, berzakat, berpuasa, berhajji, berbakti kepada kedua
orang tua, menjalin silaturrahmi, berkata jujur, menepati janji, berbuat baik
kepada tetangga, dsb. Sedangkan contoh larangan Allah adalah syirik (ini adalah
perkara mungkar yang paling besar), durhaka kepada kedua orang tua, berzina,
membunuh jiwa yang diharamkan untuk dibunuh, memakan riba, memakan harta anak
yatim, dsb. Termasuk kemungkaran juga adalah berbuat bid’ah dalam agama.
Perlu diketahui bahwa amar ma’ruf dan nahi
mukar hukumnya wajib bagi seorang muslim yang sudah baligh, mampu dan
mengetahui yang ma’ruf namun ternyata ditinggalkan, atau mengetahui yang munkar
namun ternyata dilakukan. Wajibnya adalah wajib kifayah; jika sudah ada
yang melakukannya maka yang lain tidak wajib (lihat QS. Surat Ali Imran: 104).
Akan tetapi walaupun amar ma’ruf dan nahi munkar hukumnya wajib kifayah, ia
bisa berubah menjadi wajib ‘ain dalam hal-hal tertentu, seperti:
Pertama, penunjukan resmi dari Negara, artinya jika
pemerintah menunjuknya untuk menjadi penanggung jawab hisbah (lembaga amar
ma’ruf).
Kedua, tidak adanya orang alim selain dirinya (dan
ia mampu), maka bagi orang ini amar ma’ruf dan nahi munkar menjadi wajib ‘ain.
Ketiga, perubahan situasi dan kondisi, yakni amar
ma’ruf dan nahi mungkar bisa berubah menjadi wajib ‘ain jika situasi dan
kondisi berubah seperti sedikitnya da’i, merebaknya kemunkaran atau
merajalelanya kejahilan, maka bagi setiap muslim wajib beramar ma’ruf dan
bernahi mungkar sesuai kemampuannya[ii].
Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf dan
nahi munkar hendaknya memperhatikan adab-adab berikut:
ü Memiliki niat yang ikhlas.
ü Memiliki ilmu, yakni bahwa yang
diperintahkannya adalah benar-benar perkara yang ma'ruf menurut syara' (ada
dalilnya), sebagaimana yang dilarangnya adalah perkara yang munkar menurut
syara'.
ü Hendaknya ia bersikap wara’,
yakni tidak mengerjakan perkara munkar yang hendak dicegahnya serta tidak
meninggalkan perkara ma'ruf yang hendak diperintahkannya (terutama hal-hal yang
wajib, jangan sampai ia meninggalkannya). Misalnya ia menyuruh orang lain
melaksanakan shalat berjama'ah, namun dirinya malah meninggalkannya –padahal
yang rajih hukum shalat berjama'ah adalah wajib-. Lihat surat Al Baqarah:
44.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ ،
فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ
بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ ، فَيَقُولُونَ : أَىْ فُلاَنُ
، مَا شَأْنُكَ ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ
الْمُنْكَرِ ؟ قَالَ : كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ،
وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
"Akan dihadapkan seseorang pada hari kiamat, lalu dilemparkan
ke dalam neraka hingga isi perutnya keluar. Ia pun berputar seperti berputarnya
keledai di penggilingan. Lalu para penghuni neraka berkumpul mendatanginya dan
berkata, "Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah engkau menyuruh
mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar?" Ia menjawab,
"Saya menyuruh kamu mengerjakan yang ma'ruf, namun saya sendiri meninggalkannya,
dan saya menyuruh kamu menjauhi yang munkar, namun saya sendiri
melakukannya." (HR. Bukhari,
Muslim dan Ahmad)
ü Hendaknya ia berakhlak mulia,
sabar memikul sikap kasar dari orang lain, menyuruh dengan lemah lembut,
demikian juga melarang dengan lemah lembut. Ia tidak marah dan dendam ketika
mendapatkan gangguan dari orang yang dilarangnya, bahkan bersabar dan memaafkan.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَأْمُرْ
بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ
ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
"Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik, cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah)." (QS. Luqman: 17)
ü Untuk mengetahui kemungkaran
tidak dibenarkan melakukan tajassus (memata-matai), karena tidak dibenarkan
mengetahui hal yang mungkar dengan cara memeriksa dan memata-matai, lihat QS.
Al Hujurat: 11.
ü Sebelum melakukan amar ma’ruf dan
nahy munkar, hendaknya ia memberitahukan dahulu hal yang ma’ruf, karena mungkin
orang tersebut meninggalkannya disebabkan ketidaktahuan, atau ia memberitahukan
bahwa perkara tersebut adalah munkar, karena boleh jadi, orang yang
diingkarinya menyangka perbuatannya bukan munkar.
ü Hendaknya ia bersikap bijak
(hikmah), yakni dengan memposisikan sesuatu pada tempatnya, hendaknya ia
mengetahui tingkatan dakwah (mana yang harus didahulukan dalam dakwah), keadaan
mad'uw (orang yang didakwahi) serta memperhatikan maslahat dan mafsadat yang
mungkin timbul. Lihat dalilnya di surat An Nahl: 125.
ü Dalam beramar ma’ruf dan bernahi
munkar hendaknya ia gunakan cara yang lebih ringan dahulu, menasihatinya dengan
kata-kata yang dapat menyentuh perasaannya seperti menyebutkan ayat atau hadits
yang isinya targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman). Jika tidak berhasil, maka
dengan cara di atasnya (agak tegas). Jika tidak berhasil juga, maka dengan
tangannya –hal ini bila kita memiliki kekuasaan terhadapnya-. Namun jika tidak
mampu melakukan hal itu, kita bisa meminta bantuan kepada saudara kita atau
pemerintah.
Jika ia tidak mampu merubah kemungkaran
dengan tangan dan lisannya karena mungkin mengkhawatirkan keadaan dirinya,
hartanya atau kehormatannya, ia pun tidak kuat bersabar menghadapi ancaman,
maka ia wajib mengingkari meskipun dengan hatinya.
Dalam
melakukan nahi munkar ada 4 kemungkinan yang akan terjadi:
1. Yang munkar itu hilang dan
digantikan dengan yang ma’ruf.
2. Yang munkar itu berkurang atau
menjadi lebih kecil, namun tidak hilang secara keseluruhan.
3. Yang munkar itu hilang, namun
digantikan dengan kemunkaran yang sama besarnya.
4. Yang munkar itu hilang, namun
digantikan dengan kemunkaran yang lebih besar.
Maka dalam menghadapi dua kemungkinan pertama
(no. 1 & 2), nahi mungkar disyari’atkan, sedangkan pada no. 3 merupakan
tempat berijtihad dan pada kemungkinan no. 4 kita jangan melakukan nahy munkar.
Kapankah
gugur Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar?
Amar
ma'ruf dan nahi munkar bisa menjadi gugur dalam keadaan-keadaan tertentu, di
antaranya:
1. Ketika
nasehat sudah tidak diterima dan tidak bermanfaat, karena kondisi sudah
berubah, misalnya masing-masing orang bangga dengan pendapat dan sikapnya,
dunia dinomersatukan, hawa nafsu diperturutkan, lihat QS. Al A'laa: 9 dan Al
Maa'idah: 105.
2. Jika
dilakukan amar ma'ruf dan nahi munkar ternyata malah menimbulkan kemungkaran
yang lebih besar lagi. Lihat QS. Al An'aam: 108.
3. Tidak
memiliki kemampuan atau mengkhawatirkan bahaya bagi dirinya, keluarganya atau
kaum muslimin.
Perhatikanlah
keadaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya saat masih
di Makkah, Beliau tidak melakukan jihad atau pembelaan ketika sebagian sahabat
disakiti, hal itu karena jumlah kaum muslimin masih sedikit, jika dilakukan
perlawanan, maka kaum muslimin bisa habis dibinasakan.
Namun perlu diingat, bahwa gugurnya amar
ma'ruf dan nahi munkar dalam keadaan di atas adalah dengan tangan dan lisan,
adapun hati bagaimana pun juga wajib mengingkari dan tidak meridhainya.
Kelompok
manusia dalam beramr ma'ruf dan bernahi munkar
Ada dua
kelompok manusia yang keliru dalam menanggapi amar ma’ruf dan nahi munkar:
Pertama, golongan yang meninggalkan kewajiban amar
ma’ruf dan nahi munkar. Misalnya menyerah kepada keadaan, tidak punya ghirah
(rasa cemburu) keagamaan dsb.
Kedua, golongan yang melakukan amar ma’ruf dan
nahi munkar dengan tanpa memperhatikan adab-adabnya. Dalam arti tanpa mengerti persoalan secara
jelas atau tanpa menimbang antara manfaat dan mafsadat. Contohnya adalah
orang-orang yang bermodal semangat tanpa mengindahkan dhawaabith
(ka’idah-ka’idah) dalam beramr ma’ruf dan bernahi munkar.
Sebagai
penutup, kami katakan: Bahwa sesungguhnya kaum muslimin adalah saudara kita,
فَإِنْ
تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika
mereka bertaubat (bersyahadat), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka
(mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah: 11)
Mereka
berhak diberi “An Nasiihah” (ketulusan); mereka berhak dibimbing dan diarahkan.
Jika
mereka keliru, maka luruskanlah, karena biasanya mereka melakukan kekeliruan
karena ketidaktahuan. Bersikap lembutlah dalam menasehati, jangan langsung
menjauhi mereka padahal belum didakwahi.
Kami
yakin bahwa jika anda menasehati saudara anda dengan ikhlas, menjelaskan
kekeliruan saudara anda dengan akhlak mulia sambil menyebutkan alasannya dari
Al Qur’an maupun As Sunnah Insya Allah saudara anda akan
menerima.
Dan
perlu diketahui, bahwa dalam masalah wala’ (mencintai) dan bara’ (membenci)
terbagi tiga:
q Yang
kita berikan wala’ murni,
yakni cinta kepada mereka tanpa adanya kebencian. Mereka adalah orang-orang
mukmin yang terdiri dari para nabi, shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang salih.
yang terdepannya adalah Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam,
istrinya, dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
q Yang kita
berikan baraa’ murni, yakni membenci
dan memusuhi tanpa ada rasa cinta. Mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang
musyrik, orang-orang murtad, orang-orang munafik, orang-orang atheis, komunis,
dsb.
q Yang kita
berikan wala’ dari satu sisi dan bara’ dari sisi lain, yakni rasa cinta dan benci berkumpul
bersama. Mereka adalah orang-orang mukmin yang melakukan maksiat, kita cintai
mereka karena imannya, namun kita benci karena maksiatnya.
Yang ketiga ini menghendaki kita untuk
melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar; tidak mendiamkan kemunkaran yang mereka
lakukan jika kita mampu. Bahkan mendiamkan kemunkaran termasuk perbuatan orang-orang
Yahudi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
كَانُوا
لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya sangat buruklah apa yang
selalu mereka perbuat itu. (QS. Al Maa’idah: 79)
Kalau
seandainya mereka memiliki rasa pengagungan kepada Allah Rabb mereka,
seharusnya mereka cemburu jika larangan-larangan-Nya dikerjakan dan tentu
mereka akan marah karena-Nya.
Di
samping itu, jika didiamkan kemunkaran oleh ahli ilmu, maka ilmu akan hilang
dan kebodohan akan semakin merata.
Perlu
diketahui, bahwa membenci seorang mukmin yang berbuat maksiat tidaklah sama
dengan membenci orang kafir dan memusuhinya, dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya yang sampai kepada Umar bin Al
Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم كَانَ اسْمُهُ عَبْدَاللَّهِ وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا
وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ
فَجُلِدَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ مَا أَكْثَرَ مَا
يُؤْتَى بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : ( لَا تَلْعَنُوهُ
فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ )
“Ada
seseorang di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bernama Abdullah, ia
digelari “keledai”, ia sering membuat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa. Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menderanya karena ia meminum khamr. Suatu
ketika ia pun dihadapkan lagi (karena meminum khamr), lalu Beliau memerintahkan
mendera lagi, lalu didera lagi. Kemudian salah seorang mengatakan, “Ya
Allah, laknatlah dia, sering sekali ia dihadapkan (untuk dihukum).” Maka
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah melaknatnya, demi
Allah, apa kamu tidak mengetahui bahwa ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?”
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam
Marwan
bin Musa
Maraji’:
-
Fat-hul
Majid Sayrh kitab At Tauhid (Syaikh Abdurrahman bin
Hasan Alusy Syaikh)
-
Syarh
Tsalaatsatil Ushuul (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
-
Fadhlut
Tauhid (Daarul Qaasim)
-
Fiqhus
Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq)
-
Fat-hul
Bari (Al Haafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani)
-
Minhajul
Muslim (Abu Bakr Jabir Al Jazaa’iriy)
- Al Fatawa An Nadiyyah fi ‘amaliyyaat al isytihaadiyyah
-
Akhtha’
fil ‘Aqiidah (artikel dari internet)
- Tafsir Al ‘Usyril akhiir wa yaliihi ahkaam tahummul
muslim
-
Al
Misbahul Munir fii tahdzib tafsir Ibni Katsir
(I’dad: jama’ah para ulama)
-
Kedudukan
jihad dalam syari’at Islam (Ust. Yazid bin Abdul
Qadir Jawas)
-
Muharramat
Istahaana bihan naas (Syaikh M. bin Shalih
Al Munajjid)
-
Al
Walaa’ wal Baraa’ (Dr. Shalih Al Fauzan)
-
‘Aqidatut
Tauhid (DR. Shalih Al Fauzan)
-
Syarh
Tsalaatsatil Ushul (Syaikh Shalih bin
Abdul ‘Aziz Aalusy Syaikh)
-
Zaadud
Daa’iyah illah (Syaikh M. bin Shalih Al ‘Utsaimin)
-
Ta'aawunud
du'at wa atsaruhu fil mujtama' (Syaikh M. bin Shalih
Al ‘Utsaimin)
-
Riyaadhush
Shaalihin (Imam Nawawi)
-
Al
‘Aqiidatush Shahiihah wa maa yudhaadduhaa
(Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz)
-
Al
‘Aqidatut Thahaawiyyah (Imam Thahawi)
-
Minhaajul
Firqatin Naajiyah (Syaikh M. bin Jamil Zainu)
-
Ad Da’wah ilallah (Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah
bin Baz)
-
Ensiklopedi Penghujatan terhadap
Sunnah (Ust.
Zainal Abidin Syamsuddin)
-
‘Isyruuna wasiilatan li
muwaajahatil fitan (Salman bin Yahya)
-
Mujmal Masaa’ilil iman al
‘ilmiyyah fii ushuulil ‘aqiidatis salafiyyah (Karya lima murid Syaikh Al
Albani)
Dll.
[i] Asal dalam ibadah adalah tauqif
(menunggu dalil), tidak boleh beramal tanpa dalil. Siapa saja yang beramal
tanpa dalil maka amalnya tertolak sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd”
(artinya: Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan,
maka amalan tersebut ditolak (tidak diterima)). Hal ini menunjukkan, bahwa di
samping ikhlas, harus sesuai pula dengan contoh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam. Kedua ini adalah syarat diterimanya amal.
[ii] Bagi yang memiliki kekuasaan dan
kekuatan, maka ia wajib merubah kemunkaran dengan kekuasaannya. Bagi yang
memiliki ilmu, maka dengan menasehatinya. Dan bagi orang yang tidak memiliki
kedua hal di atas, maka mengingkari bisa dilakukan dengan hatinya.
0 komentar:
Posting Komentar