Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya
semua. Amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan fiqh
fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya. Semoga Allah menjadikan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
XIX. Warisan orang murtad
Orang yang murtad tidak
mewarisi dari orang lain dan tidak diwarisi oleh orang lain, harta warisnya
diserahkan kepada Baitul maal. Inilah pendapat Imam Syafi'i, Imam Malik, dan
yang masyhur dari Imam Ahmad. Namun ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa harta
yang diperolehnya sebelum murtad, maka diwarisi oleh kerabatnya yang muslim,
dan harta yang diperolehnya setelah murtad untuk baitul maal.
XX. Warisan anak zina dan
anak li’an
Anak zina adalah anak hasil
dari bukan pernikahan yang syar’i, sedangkan anak li’an adalah anak yang
dinafikan oleh seorang suami yang syar’i adanya nasab dengannya.
Anak zina dan anak li’an
tidak bisa terjadi saling mewarisi antara anak itu dengan ayahnya berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin karena adanya penafian nasab yang syar’i. Anak
tersebut hanyalah mewarisi antara dirinya dengan ibunya.
Dari Ibnu Umar, bahwa ada
seorang yang meli’an istrinya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
menafikan anaknya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan kedua
suami-istri, dan menghubungkan anak itu kepada si wanita. (Hr. Bukhari dan Abu
Dawud, namun lafaznya (yang artinya): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadikan warisan anak li’an kepada ibunya dan kepada ahli warisnya
setelahnya).
XXI. Wanita yang ditalak
Wanita yang dicerai oleh
suaminya dalam keadaan sakit atau menjelang wafatnya, maka menurut Umar dan
Utsman bahwa wanita itu tetap mendapatkan warisan. Hal ini, karena biasanya
suami yang mencerai ini bermaksud agar tidak memberikan harta warisan kepada
isterinya.
XXII. Laqith (anak pungut)
Anak yang dipungut dari
jalan dan sebagainya, sedangkan ibu bapaknya atau keluarganya tidak diketahui,
maka harta warisannya diberikan kepada Baitul Maal. Ini adalah pendapat Umar
bin Khaththab. Namun ada juga yang berpendapat bahwa hartanya itu diberikan
kepada orang yang memungutnya. Wallahu a'lam.
XXIII. Takharuj
Takhaaruj
adalah berdamainya para ahli waris dengan mengeluarkan sebagian mereka dari
bagiannya dalam warisan sebagai ganti dari sesuatu yang ditentukan dari tarikah
atau lainnya.
Takhaaruj
bisa terjadi antara dua orang ahli waris, dimana salah seorangnya menduduki
posisi yang lain untuk memperoleh bagiannya sebagai ganti dari sejumlah uang
yang diberikan kepadanya.
Takharuj
bisa karena ada proses shulh (damai), dimana seorang ahli waris rela tidak
mengambil bagiannya dan menyerahkannya kepada ahli waris yang lain dengan
imbalan uang kompensasi atau tidak ada kompensasi sama sekali.
Takhaaruj hukumnya boleh
jika memang sama-sama ridha. Abdurrahman bin 'Auf pernah mentalak istrinya
Tumaadhir binti Al Ashbagh Al Kalbiyyah ketika ia sakit yang membawa kepada
kematiannya, lalu si suami meninggal sedangkan isteri dalam keadaan menjalani
masa 'iddah, maka Utsman menjadikan si wanita mewarisinya dengan tiga isterinya
yang lain, lalu mereka mengadakan shulh (damai) 4/8 dengan memberikan 83.000
dinar atau dirham.
Beberapa
contoh takhaaruj:
1.
Ahli waris merelakan bagiannya diambil oleh seorang ahli waris lain.
Misalnya
ahli waris terdiri dari seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan,
serta seorang ibu. Anak laki-laki merelakan bagiannya diambil oleh saudara
perempuannya. Maka saudara perempuannya mendapat bagian saudara laki-laki.
Pembagiannya
adalah sebagai berikut:
Ahli Waris |
Fardh |
AM = 6 x 3 (kepala) |
18 |
18 |
Ibu |
1/6 |
1 |
3 |
3 |
Anak pr |
Sisa |
5 |
5 |
15 |
Anak lk |
10 |
0 |
2.
Ahli waris merelakan bagiannya diambil bersama ahli waris lain seluruhnya
Dalam
hal ini, ahli waris yang menggugurkan haknya dianggap tidak ada, dan harta
dibagikan kepada ahli waris yang lain. Misalnya pada contoh di atas anak
laki-laki menggugurkan haknya kepada ibu dan saudarinya, maka pembagian arisan
hanya dilakukan kepada kedua ahli waris itu saja, tanpa memasukkan anak
laki-laki.
3.
Ahli waris yang menggugurkan haknya dari salah satu jenis harta warisan kepada
seluruh ahli waris lain dengan syarat ia mengambil kompensasi dari harta
warisan jenis lain.
Misalnya
ahli waris terdiri dari paman kandung, istri, dan seorang saudari kandung.
Harta yang ditinggalkan berupa uang tunai 100.000 rupiah, dan sebuah rumah
tinggal. Lalu istri menggugurkan bagiannya dari uang tunai dengan syarat ia
mengambil rumah tinggal sendiri, maka istri tidak dihitung ketika pembagian
uang tunai.
Saudari
kandung mendapatkan 1/2, yaitu 50.0000 rupuah, dan paman mendapatkan sisanya,
yaitu 50.000 rupiah.
Hal
ini apabila harta yang ditinggalkan berbentuk uang tunai. Jika harta yang
ditinggalkan tadi berbentuk bagian yang harus dijadikan saham (baik bangunan,
tanah dan lain sebagainya), maka harus dibuatkan tabelnya.
Caranya:
dibuat tebel sebagaimana biasa, lalu bagian isteri dibuang dan dikurangkan
dengan asal masalah.
Ahli Waris |
|
AM = 8 |
6 |
Istri |
1/4 |
2 |
Keluar |
Saudari kandung |
1/2 |
4 |
4 |
Paman |
Sisa |
2 |
2 |
Artinya,
saham saudari adalah 4/6 dari harta yang ditinggalkan, dan saham paman adalah
2/6.
XXIV. Hadirnya kerabat
yang bukan ahli waris ketika pembagian warisan
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Dan
apabila sewaktu pembagian (warisan) itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim
dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik[i].
Pemberian sekedarnya itu tidak boleh
melebihi sepertiga harta warisan, dan pemberian ini dilakukan sebelum dibagikan.
Pemberian ini hukumnya sunah, sedangkan menurut Ibnu Abbas pemberian ini
hukumnya wajib. Maksud ayat ini
adalah apabila orang-orang fakir dari kalangan kerabat yang tidak mendapatkan
warisan menghadiri pembagian harta warisan yang banyak, demikian juga dihadiri
anak-anak yatim dan orang miskin, maka diri mereka akan menjadi berharap ketika
melihat seseorang mengambil bagian ini dan yang lain mengambil bagian itu,
sedangkan mereka berputus asa karena tidak mendapatkan bagian, maka Allah
Ta’ala Yang Maha Pengasih lagi Penyayang memerintahkan agar memberikan sekedarnya
kepada mereka sebagai sikap berbuat baik, sebagai sedekah, ihsan dan
menghilangkan rasa sedih mereka.
Selesai dengan pertolongan Allah dan
taufiq-Nya, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
[i] Yakni jika ternyata tidak mungkin karena hal-hal tertentu,
maka berbicaralah dengan mereka dengan kata-kata yang lembut.
0 komentar:
Posting Komentar