بسم
الله الرحمن الرحيم
Meluruskan Aqidah dan Manhaj (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan pembahasan tentang kekeliruan dalam Aqidah dan manhaj, semoga Allah
menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
5.
Keliru dalam mengenal siapa “Ahlus Sunnah wal Jamaah”
Misalnya
menganggap bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang tidak
melupakan peninggalan tradisi nenek moyangnya atau orang-orang banyak yang
biasa mengerjakan tradisi turun-temurun seperti tahlilan, ratiban, barzanjian,
dsb. Bahkan sebenarnya Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang
berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah
(generasi pertama Islam) dan pemahaman para ulama yang mengikuti jejak mereka,
mereka tidak membuat hal-hal yang baru (bid’ah) dalam agama; yang tidak pernah dicontohkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun jumlah mereka sedikit. Ahlus
Sunnah wal Jamaah berpegang dengan dalil (Al Qur’an dan As Sunnah) dan
mengedepankannya, sedangkan selain mereka mendahulukan akal[i],
berpegang dengan mimpi dan kasyf[ii]
atau mengedepankan pendapat seseorang[iii].
6.
Keliru dalam melihat Al Haq (kebenaran)
Misalnya
melihat kebenaran dengan banyaknya orang yang melakukan. Padahal, banyaknya
orang yang melakukan bukanlah sebagai tolok ukur yang menentukan benar tidaknya
sesuatu, bukankah Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta.” (QS. Al An’aam: 116)
7.
Keliru dalam menafsirkan Al Qur’an
Dalam
memahami ayat Al Qur’an dan hadits yang masih samar, langkah yang benar adalah
mencari dalil yang tegas (sharih) yang menjelaskan ayat atau hadits itu, lalu
mengikuti pemahaman As Salafus Shaalih (orang-orang terdahulu yang
terdiri dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, dan
Tabiin), kemudian mengikuti penjelasan para ulama yang mengikuti jejak mereka.
Contoh
dalam hal ini adalah apa yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahulah
dalam mukadimah kitab tafsirnya, ia berkata:
“Apabila ada seorang
yang bertanya, “Apa cara terbaik dalam menafsirkan (Al Qur’an)?” Jawab, “Sesungguhnya
cara terbaik dalam hal ini adalah menafsirkan Al Qur’an dengan (penjelasan) Al
Quran, yang masih belum jelas di ayat ini mungkin dijelaskan di ayat lain. Jika
kamu tidak menemukan (penjelasan di ayat lain), maka dengan melihat As Sunnah,
karena ia adalah pensyarah Al Qur’an dan penjelasnya…dst.” Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan, “Jika kita tidak menemukan
(penjelasannya) dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita melihat pendapat para
sahabat, karena mereka lebih tahu tentang hal itu…dst.” Ibnu Katsir berkata
lagi, “Jika kamu tidak menemukan dalam Al Qur’an, As Sunnah juga dari para
sahabat, maka dalam hal ini para imam melihat pendapat para tabi’in…dst.”
8.
Keliru dalam memahami “Syariat Islam”
Misalnya
mengira bahwa syariat Islam hanya terbatas pada hudud (hukuman khusus terhadap
tindak pidana) saja seperti potong tangan, rajam, dera, dsb. Yang benar adalah
bahwa “Syariat Islam” tidak terbatas pada itu saja, bahkan berakidah Islam,
beribadah sesuai Sunnah, bermuamalah dengan cara Islam, dan berakhlak Islam
adalah termasuk menjalankan syariat Islam di samping memberlakukan hukum-hukum
Islam tadi.
Termasuk hal
yang ingin kami jelaskan juga di sini adalah anggapan bahwa “Kewajiban menjalankan ajaran Islam
hanya berlaku bagi hukama’ (pemerintah) saja »,
Bahkan sebenarnya kewajiban menjalankan hukum Islam itu
berlaku baik bagi pemerintah (lih. An Nisaa’: 58) maupun rakyatnya (lih. An
Nisaa’: 59). Oleh karena itu rakyat juga tidak boleh memutuskan masalah yang
mereka hadapi dengan tradisi yang berlaku atau hukum tidak tertulis
meninggalkan kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Termasuk ke dalamnya adalah memutuskan berdasarkan suara terbanyak (tanpa
melihat apakah keputusan itu sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah atau tidak?),
mengikuti tradisi-tradisi yang menyalahi kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya
seperti dalam acara pernikahan ada acara tukar cincin, mandi kembang, menginjak
telur, dsb.
Maksud kami di sini bukanlah berarti bahwa rakyat berhak
melaksanakan hukuman had (seperti had bagi pelaku zina, pencurian, qadzaf,
peminum minuman keras, dsb), karena iqaamatul hudud (penegakan hudud) adalah
tugas imam (pemerintah) kaum muslimin atau orang yang ditunjuk oleh imam untuk
mewakilinya[iv].
Yang kami maksudkan di atas adalah agar rakyat dalam menyelesaikan masalah
yang mereka hadapi menggunakan ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur'an dan
As Sunnah.
9.
Keliru dalam cara menegakkan Islam
Ketahuilah,
bahwa tujuan utama dalam Islam adalah agar orang-orang beribadah hanya kepada
Allah saja (tauhid), melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ
“Dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah.” (Terj. QS. Al Baqarah: 193)
Khilafah
adalah sarana untuk menjaga agama agar tetap terpelihara dan terlaksana
ajaran-ajarannya dengan sempurna dan untuk mengatur dunia.
Oleh karena
itu, menegakkan khilafah Islam hukumnya fardhu kifayah karena sebab ini. Dalam
kaedah fiqh disebutkan,
مَالاَ
يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu kewajiban yang tidak sempurna
kecuali dengannya, maka sarana penyempurna itu menjadi wajib.”
Banyak orang yang keliru dalam menegakkan Islam, mereka
mengira bahwa cara menegakkan Islam adalah dengan memegang kekuasaan. Karena
pemahaman ini, banyak orang-orang yang berusaha menggulingkan penguasa baik
dengan berbagai cara. Padahal yang diinginkan oleh Islam adalah agar pemerintah
menjalankan ajaran Islam sebagaimana rakyat pun diperintahkan menjalankan
ajaran Islam, bukan menggulingkan kekuasaan mereka. Bahkan keinginan untuk
mengganti kekuasaan mereka adalah salah satu penghalang mereka (pemerintah)
menerima dakwah.
Kita semua ingin Khilafah Islamiyyah itu tegak, di mana
di sana hukum-hukum Islam dapat ditegakkan secara keseluruhan. Akan tetapi
caranya tidak demikian.
Caranya adalah dengan mendakwahkan pemerintah dengan
cara yang baik. Kalau mereka (pemerintah) mau menjalankan ajaran Islam falillahil
hamd dan jangan bertujuan menggulingkan kekuasaannya. Kalau pun belum mau,
maka dakwahkan dengan cara yang baik (seperti secara rahasia), tidak di hadapan
massa, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka di depan umum. Hal ini bukan dakwah
namanya, tetapi menjelek-jelekkan mereka.
Lihatlah bagaimana Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyuruh
Nabi Musa dan Harun ‘alaihimas salaam untuk berkata yang lembut dalam berdakwah
kepada Fir’aun. Firman-Nya,
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا
لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (44)
“Pergilah
kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas---Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut." (QS. Thaha: 43-44)
Di samping itu, apakah bisa pasti, jika kita yang
memegang kekuasaan, kita dapat menegakkan hukum Islam. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman,
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa
kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?
(QS. Muhammad: 22)
Demikian juga, apakah rakyat sudah siap menerima hukum
Islam, sedangkan mereka belum ditarbiyah (dibina).
Oleh karena itu, Islam melarang seseorang meminta
jabatan, karena beratnya tugas yang harus diembannya. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada sahabatnya,
يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ : لاَ تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ ، فَإنَّكَ إِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا
عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
“Wahai
Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Jika kamu
diberikan kepemimpinan tanpa meminta, niscaya kamu akan dibantu. Namun, jika
kamu meminta kepemimpinan, niscaya urusannya akan diserahkan kepadamu (tidak
dibantu).” (Muttafaq 'alaih)
Sehingga,
cara yang benar dalam menegakkan Daulah Islamiyyah adalah mendalami ajaran Islam
dengan benar, mengamalkannya, mendakwahkannya (dengan memulainya dari diri
kita, lingkungan keluarga, masyarakat, dst. dengan tasfiyah dan tarbiyah[v],
dan dalam berdakwah hendaknya kita memulai dari yang paling penting (al ahamm
fal ahamm[vi]))
dan bersabar dalam berdakwah meskipun membutuhkan waktu yang lama serta dengan
akhlak mulia.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam
Marwan
bin Musa
[i] Seperti kaum
Mu’tazilah.
[ii] Seperti kaum Shufi.
[iii] Seperti penganut
taqlid a’maa (buta).
[iv] Imam
Thahawi meriwayatkan dari Muslim bin Yasar bahwa ia berkata, “Salah seorang
sahabat berkata, “Zakat, hudud, fai’, shalat Jum’at itu diserahkan
pelaksanaannya kepada pemerintah.” Imam Thahawi berkata, “Kami tidak
mengetahui adanya khilaf dari sahabat yang lain.”
[v] Tasfiyah artinya
membersihkan segala yang bukan dari Islam. Sedangkan tarbiyah adalah membina
kaum muslimin dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Dalil tentang tashfiyah dan
tarbiyah adalah surat Al Jumu’ah: 2,
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah).
Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Terj.
QS. Al Jumu’ah: 2)
[vi] Dalilnya adalah
hadits Mu’adz bin Jabal, dimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika
mengutusnya untuk berdakwah, Beliau menyuruhnya agar mendahulukan tauhid,
shalat, zakat dst.
0 komentar:
Posting Komentar