بسم
الله الرحمن الرحيم
Meluruskan Aqidah dan Manhaj (10)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang
kekeliruan dalam Aqidah dan manhaj, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
24. Jawaban orang yang
dinasehati untuk menjalankan ajaran Islam “Yang penting hatinya, hal ini tidak
penting.”
Masih
ada saja orang yang ketika dinasihati untuk menjalankan ajaran Islam, misalnya agar
dibiarkan janggutnya; tidak dicukur atau agar tidak isbal (memakai kain atau
celana melewati mata kaki)[i], namun ia malah menjawab,
“Yang penting itu hatinya, ini tidak penting.” Jawaban seperti ini
adalah jawaban yang keliru, karena sebagaimana kita ketahui bahwa ibadah itu
tidak hanya di hati saja, bahkan lisan dan anggota badan juga ada ibadahnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ
وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada penampilan dan harta
kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Hadits ini jelas sekali bahwa amal juga diperhatikan oleh
Islam.
25. Menolak kebenaran.
Termasuk
kesalahan fatal adalah ketika seseorang telas mengetahui dengan jelas
kebenaran, lalu menolaknya atau tidak mau mengikutinya. Bahkan hal ini adalah
kesombongan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR.
Muslim)
Atau bahkan menjadikan
hawa nafsunya sebagai tolok ukur kebenaran; jika tidak sesuai dengan hawa
nafsunya, maka ditolak kebenaran itu.
وَمَنْ
أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti
hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Qashash:
50)
Oleh karena itu, bagi yang telah jelas kebenaran, lalu
tidak mengikutinya maka sama saja ia telah mengikuti hawa nafsunya.
26.
Keliru
dalam menyikapi perbedaan ulama tentang hukum meninggalkan shalat.
Misalnya
mengecap “khawarij” kepada orang yang menyatakan kafirnya orang yang
meninggalkan shalat, atau mengecap “murji’ah,” kepada orang yang menyatakan
tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat (tetapi telah melakukan dosa yang
sangat besar).
Untuk
lebih jelasnya, kami nukilkan penjelasan murid-muris Syaikh Al Albani rahimahullah
tentang masalah ini dalam risalah mereka “Mujmal Masaa’ilil Iman Al
‘Ilmiyyah” sebagai berikut:
1.
Shalat
adalah rukun Islam yang merupakan amalan terpenting dan paling agung, bahkan
sebagai tiangnya. Shalat adalah tanda keimanan dan cabang keimanan pada anggota
badan yang paling agung.
2.
Orang
yang meninggalkannya –karena mengingkari- maka ia kafir keluar dari Islam, kami
tidak mengetahui adanya perbedaan di antara ulama tentang masalah ini.
Termasuk juga –yakni sebagai orang yang
murtad dan kafir- orang yang hendak dihukum mati, lalu ia lebih memilih mati
daripada mengerjakan shalat.
3.
Perbedaan
antara Ahlus sunnah –para pengikut manhaj salaf- terjadi dalam hal orang yang meninggalkan shalat karena malas;
tidak menyangkal dan tidak mengingkarinya[ii], sebagaimana hal ini
telah dinukil oleh lebih dari seorang ahli ilmu, seperti Imam Malik dan Imam
Syafi’i, ini adalah riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad.
4.
Orang
yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat secara mutlak, tidaklah
menuduh orang yang menyelisihinya sebagai murji’ah, bahkan hal itu tidak boleh
baginya.
Dan orang yang tidak mengkafirkan orang
yang meninggalkan shalat karena malas tidaklah menuduh orang yang
menyelisihinya sebagai khawarij, bahkan tidak layak menuduh begitu.
Mereka (murid-murid Syaikh Al Albani rahimahumullah) juga
menjelaskan, “Oleh karena itu, perselisihan tentang (hukum) orang meninggalkan shalat tentang
mana yang benar adalah perselisihan yang diakui di kalangan Ahlus sunah dan hal
itu tidaklah merusak persaudaraan seiman…dst.”
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam
Marwan
bin Musa
[i] Mungkin di antara sebab mereka
yang melakukan isbal adalah karena beranggapan bahwa jika tidak sombong, maka
tidak apa-apa, beralasan dengan hadits, “Allah tidak akan melihat orang yang
melabuhkan kainnya melewati mata kaki karena sombong.” (HR. Bukhari).”
Sehingga ia bawa hadits larangan isbal adalah apabila sombong mengikuti kaedah
“Hamlul mutlaq ‘alal muqayyad,” (artinya: yang masih mutlak dibawa
kepada yang muqayyad/dibatasi) Kita katakan, “Hamlul mutlak ‘alal muqayyad itu
berlaku apabila terpenuhi dua syarat; bersamaan hukm (masalah) dan ‘uqubah
(ancaman). Memang hukm di kedua hadits tersebut bersamaan yaitu tentang
masalah isbal, namun berbeda ‘uqubahnya, yang pertama “di neraka,”
sedangkan yang kedua, “Allah tidak akan melihat”, sehingga tidak berlaku kaedah
hamlul mutlak ‘alal muqayyyad, sehingga kita jama’ kedua hadits itu
seperti ini:
Apabila dilakukan tanpa rasa sombong adalah dosa, dan apabila
dilakukan dengan kesombongan, maka dosanya lebih besar lagi, berdasarkan hadits
berikut,
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ » قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثَلاَثَ
مِرَارٍ . قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ « الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ
الْكَاذِبِ » . (مسلم)
“Ada tiga
golongan yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak
dilihat-Nya, tidak dibersihkan-Nya dan bagi mereka azab yang pedih,” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkannya
tiga kali, lalu Abu Dzar berkata, “Sungguh celaka dan rugilah mereka, siapakah
mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang isbal, orang yang
menyebut-nyebut pemberiannya, dan orang yang melariskan barang dagangannya
dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim).
[ii] Ulama yang mengkafirkan orang
yang meninggalkan shalat berbeda pendapat apakah saat ia meninggalkan sebagian
shalat atau meninggalkan seluruh shalat. Di antara ulama ada yang berpendapat
bahwa orang yang meninggalkan sebagian shalat jika ia berazam untuk
mengqadha’nya, maka ia tidak kafir, namun telah melakukan dosa yang sangat
besar. Tetapi jika ia meninggalkan keseluruhannya, maka ia kafir. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar