Risalah Taubat (5)

بسم الله الرحمن الرحيم
Risalah Taubat (5)
(Diringkas dari kitab “Uriidu An Atuuba wa laakin” karya Syaikh M. bin Shalih Al Munajjid oleh Marwan bin Musa)
Þ      Masalah: “Apa yang harus dilakukan terhadap harta yang diperoleh dari keuntungan menjual rokok. Dan bagaimana jika harta tersebut bercampur dengan harta yang halal?”
Jawab: Siapa saja yang sebelumnya berjualan barang-barang haram seperti alat musik, CD haram, dan rokok, sedangkan ia mengetahui hukumnya, kemudian bertobat, maka hendaknya ia mengalihkan keuntungan perdagangan haram ini ke tempat-tempat sosial hanya untuk membersihkan saja, bukan sebagai sedekah, karena Allah baik dan hanya menerima yang baik-baik.
Dan jika harta haram ini bercampur dengan harta lainnya yang halal. Misalnya sebuah warung yang menjual rokok dan barang-barang mubah, maka ia perkirakan harta haram tersebut sesuai perkiraannya dan mengeluarkannya dari harta halal tersebut.
Kesimpulannya, siapa saja yang memiliki harta dari hal yang haram, lalu ia hendak bertobat darinya, maka:
-      Jika sebelumnya ia non muslim ketika mencari harta yang haram, maka ia tidak wajib mengeluarkan harta tersebut dari hartanya yang halal ketika sudah bertobat.
-      Jika sebelumnya ia seorang muslim ketika mencari harta yang haram dan mengetahui keharamannya, maka ketika ia bertobat, ia harus mengeluarkan harta haram itu dari hartanya yang halal.
Þ      Masalah: “Seseorang suka menerima suap, kemudian Allah memberinya hidayah, lalu apa yang harus dilakukan orang itu terhadap harta yang diperoleh dari suap tersebut?”
Jawab: Jika demikian, maka masalahnya tidak lepas dari ada dua keadaan di bawah ini:
-       Ia mengambil harta suap itu dari orang yang memiliki hak lagi terzalimi yang terpaksa harus menyuap agar haknya dapat diperoleh. Maka jika seperti ini, bagi orang yang bertobat dari perbuatan ini harus mengembalikan harta suap itu kepada pemiliknya, karena ini termasuk harta rampasan di samping adanya desakan kepada orang yang terzalimi untuk mengeluarkannya.
-       Ia menerima harta suap tersebut dari orang yang zalim yang sama halnya seperti dia. Misalnya orang lain menyuap dirinya agar memberikan sesuatu yang memang bukan miliknya. Maka dalam keadan seperti ini harta tersebut tidak dikembalikan kepadanya, akan tetapi orang yang bertobat darinya cukup dengan mengeluarkan harta itu untuk masalah-masalah sosial seperti menyantuni kaum fakir, dsb.
Þ      Masalah: “Saya pernah mengerjakan perbuatan haram dan mengambil upah terhadapnya. Sekarang saya bertobat, lalu apakah saya harus mengembalikan harta itu kepada orang yang memberikannya kepada saya dahulu?”
Jawab: Seorang yang mengerjakan perbuatan haram atau memberikan pelayanan haram kepada orang lain dan mengambil upah terhadapnya, maka ketika ia bertaubat, ia meninggalkan perbuatan itu dan tidak mengembalikan upahnya kepada orang yang memberikannya. Oleh karena itu, wanita pezina yang mengambil upah terhadap zinanya, tidak boleh mengembalikan upah itu kepada laki-laki yang menzinahinya. Wanita penyanyi yang mengambil upah terhadap nyanyiannya tidak boleh mengembalikan upahnya kepada pemilik pesta jika bertobat. Penjual minuman keras atau narkoba tidak boleh mengembalikan upahnya kepada orang yang menjualnya jika bertobat. Demikian juga orang yang memberikan persaksian palsu karena diminta, tidak boleh mengembalikan upahnya kepada orang yang memintanya bersaksi palsu.
Sebabnya adalah jika mengembalikan upahnya kepada orang-orang tersebut, bisa membantu mereka berbuat maksiat. Oleh karena itu, cukup hanya dengan melepaskan diri dari perbuatan itu. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan dikuatkan oleh murid Ibnul Qayyim sebagaimana dalam Al Madaarij (1/390).
Þ      Masalah: “Ada sesuatu yang membuatku gelisah, yaitu aku pernah melakukan perbuatan keji dengan seorang wanita. Lalu bagaimanakah cara aku bertobat dan bolehkah aku menikahinya untuk menutupi masalah itu?”
Dan bagaimana jika wanita yang dizinahinya hamil, apakah anak itu anaknya dan apakah ia berkewajiban mengirimkan nafkah kepadanya?”
Jawab, “Masalah ini sangat sering sekali dikemukakan, sehingga membuat seorang muslim harus lebih serius menata dirinya agar berada di atas tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah. Termasuk ke dalam menata diri di atas tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah adalah menutup segala celah yang bisa mengarah kepada zina, misalnya dengan menundukkan pandangan, menghindari khalwat (berdua-duaan) dengan wanita yang bukan mahram, tidak berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya, memberlakukan hijab syar’i,  menjauhi ikhthilat (campur baur pria-wanita), tidak bersafar ke negeri-negeri kafir, memperhatikan secara serius rumah tangganya, segera menikah, dsb.
Kembali kepada masalah di atas, jika seseorang melakukan perbuatan keji (seperti zina), maka tidak lepas masalahnya dari dua keadaan:
-       Jika ia menzinahi wanita dengan pemaksaan, maka ia harus memberikan mahar mitsil kepada wanita yang dizinahinya, sebagai ganti terhadap madharrat yang ditimpakan kepadanya disertai dengan tobat nashuha kepada Allah dan dilaksanakan hukuman hudud jika beritanya sampai kepada imam.
-       Jika ia menzinahinya dengan kerelaan si wanita, maka ia hanya wajib bertobat dan anaknya tidak bisa dinasabkan kepadanya secara mutlak, demikian juga tidak wajib baginya menafkahinya karena anak itu lahir dari perzinaan. Oleh karena itu, anak itu dinasabkan ke ibunya, tidak bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menzinahinya.
Demikian juga laki-laki yang bertobat dari zina ini tidak boleh menikahinya untuk menutupi masalah itu. Juga tidak boleh melakukan akad nikah dengan si wanita itu, ketika di perutnya masih ada janin hasil dari zina, meskipun janin itu berasal darinya, sebagaimana tidak boleh melakukan ‘akad nikah dengan si wanita, sedangkan ia tidak mengetahui apakah wanita yang dizinahinya itu hamil atau tidak.
Adapun jika laki-laki ini bertobat, demikian juga si wanita yang rela dizinahi ini bertobat dengan taubat nashuha, dan telah jelas rahim itu telah kosong dari janin dengan istibraa’[i], maka ketika ini ia boleh menikahinya dan memulai hidup baru.
Þ      Masalah: “Sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, yaitu aku melakukan perbuatan keji, dan telah melakukan ‘akad nikah dengan wanita yang aku zinahi. Telah berlalu beberapa tahun pernikahanku, aku pun sekarang menyadari dan bertobat kepada Allah sebagaimana wanita yang aku zinahi juga bertobat, lantas apa yang harus aku lakukan?”
Jawab: Jika anda berdua bertaubat, maka anda harus mengulangi nikahnya dengan syarat-syarat syar’i yaitu dengan menghadirkan wali dan dua orang saksi. Dan hal itu tidak mesti dilakukan di mahkamah, bahkan kalaupun dilakukan di rumah pun sudah cukup.
Þ      Masalah: “Ada seorang wanita yang menikahi laki-laki saleh, wanita itu sebelumnya pernah melakukan hal-hal yang tidak diridhai Allah (misalnya zina), lalu apakah wanita ini perlu memberitahukan suaminya tentang perbuatannya di masa lalu?”
Jawab: “Wanita ini tidak perlu memberitahukan suaminya tentang perbuatannya yang dilakukan di masa lalu, ia cukup bertaubat kepada Allah dan menutupi aibnya dengan tirai Allah.
Adapun jika laki-laki saleh ini menikahi wanita gadis, namun setelah digauli ternyata bukan gadis, maka si laki-laki ini berhak mengambil mahar yang telah diberikannya dan berpisah dengannya. Namun jika laki-laki saleh ini melihat wanita itu sudah bertaubat lalu laki-laki ini menutupi aibnya dan melangsungkan pernikahan dengannya, maka Insya Allah ia akan mendapatkan pahala dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
Þ      Masalah: “Apa yang harus dilakukan oleh orang yang bertobat dari homoseks?”
Jawab, “Yang wajib dilakukan oleh pelakunya dan orang yang dikenakan liwath adalah bertobat kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Karena tidak diketahui berbagai macam bentuk azab yang Allah timpakan kepada kaum yang melakukannya disebabkan kejinya perbuatan itu. Lihat kaum Luth:
-      Mata mereka dijadikan buta.
-      Ditimpa oleh suara yang mengguntur.
-      Dibalikkan negeri mereka, bagian atas di bawah dan bagian bawah di atasnya.
-      Dihujani oleh batu dari tanah yang terbakar.
Oleh karena itu, had (hukuman) bagi pelaku liwath (homoseks) adalah dibunuh baik ia sudah menikah maupun belum.
Þ      Masalah: “Sekarang saya sudah bertobat kepada Allah, dan saya memiliki barang-barang haram seperti alat musik, kaset, dan video haram. Bolehkah saya menjualnya, apalagi harga jualnya bisa tinggi?”
Jawab: Tidak boleh menjual barang-barang haram dan hasilnya penjualannya adalah haram. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِنَّ اللهَ اِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, mengharamkan juga hasilnya.” (Shahih, HR. Abu Dawud)
Demikian juga, setiap barang yang anda ketahui akan digunakan untuk yang haram, tidak boleh menjual barang itu kepadanya. Karena Allah melarang tolong-menolong di atas dosa dan pelanggaran. Ketahuilah, kalau pun anda merasa rugi karena barang tersebut tidak dijual, maka barang yang di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal. Dan Dia akan menggantinya dengan kemurahan-Nya.
Þ      Masalah: “Dahulu saya adalah orang yang tersesat. Saya menyebarkan pemikiran-pemikiran sekularisme, membuat tulisan, dan kisah-kisah sebagai penolakan terhadap agama dan menggunakan sya’ir yang saya kuasai untuk menyebarkan pemikiran serba boleh dan kemaksiatan. Kemudian Allah memberikan rahmat-Nya kepada saya, sehingga mengeluarkan saya dari kegelapan kepada cahaya, lalu bagaimanakah cara saya bertobat?”
Jawab: “Ini adalah karunia yang besar; diberikannya anda hidayah oleh-Nya, semoga Allah menjadikan anda tetap istiqamah dan teguh di atas agamanya. Selanjutnya, jika anda sebelumnya menggunakan lisan dan pena anda untuk memerangi Islam dan menyebarkan pemikiran dan keyakinan-keyakinan yang menyesatkan, maka anda harus:
-    Menyatakan terang-terangan tobat anda dan rujuknya anda dari pemikiran dahulu dengan berbagai sarana serta menjelaskan batilnya pemikiran dan keyakinan tersebut. Demikian juga menelusuri syubhat yang pernah disebarkannya kemudian membantah masing-masing syubhat tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَـئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kecuali mereka yang telah bertobat dan Mengadakan perbaikan[ii] dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah: 160)
-    Menggunakan lisan dan penanya untuk menyebarkan Islam, menggunakan kemampuannya untuk membela agama Allah, dan menerangkan yang benar kepada manusia, serta mendakwahkannya.
-    Menggunakan kemampuannya untuk membantah musuh-musuh Allah.
Ibrah (pelajaran)
Disebutkan dalam riwayat bahwa salah seorang yang saleh pernah berjalan di sebuah jalan, dilihatnya ada pintu dibuka dan dikeluarkannya seorang anak sambil berteriak menangis, ibunya yang berada di belakangnya mendorongnya untuk keluar, sehingga akhirnya anak itu berada di luar. Ibu itu pun mengunci pintu di hadapannya dan masuk kembali. Anak kecil itu kemudian pergi tidak jauh dan berhenti sambil berfikir, ia pun merasakan bahwa ia tidak memiliki tempat istirahat selain rumah tempat ia dikeluarkan dan merasakan bahwa tidak ada yang dapat menyamankannya selain ibunya. Lalu anak itu pulang dalam keadaan sedih, namun ditemuinya pintu itu tertutup, ia pun tidur dengan menaruh pipinya di palang pintu sambil mengalir air matanya membasahi pipi. Setelah beberapa lama ibunya keluar, dilihatnya anaknya dalam kondisi yang membuatnya kasihan, segeralah ibunya memeluk anaknya, mencium dan menangis karenanya, sambil berkata, “Anakku, ke mana saja kamu pergi, dan siapa yang melindungimu selainku. Bukankah ibu sudah mengatakan kepadamu, “Jangan mendurhakai perintah ibu dan jangan membuat ibu menghukummu.”
Setelah anda menyimak kisah ini, bandingkanlah dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
اَللهُ اَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
“Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada sayangnya ini (seorang ibu) terhadap anaknya.” (HR. Muslim)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ رَجُلٍ حَمَلَ زَادَهُ وَمَزَادَهُ عَلَى بَعِيرٍ ثُمَّ سَارَ حَتَّى كَانَ بِفَلاَةٍ مِنَ الأَرْضِ فَأَدْرَكَتْهُ الْقَائِلَةُ فَنَزَلَ فَقَالَ تَحْتَ شَجَرَةٍ فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ وَانْسَلَّ بَعِيرُهُ فَاسْتَيْقَظَ فَسَعَى شَرَفًا فَلَمْ يَرَ شَيْئًا ثُمَّ سَعَى شَرَفًا ثَانِيًا فَلَمْ يَرَ شَيْئًا ثُمَّ سَعَى شَرَفًا ثَالِثًا فَلَمْ يَرَ شَيْئًا فَأَقْبَلَ حَتَّى أَتَى مَكَانَهُ الَّذِى قَالَ فِيهِ فَبَيْنَمَا هُوَ قَاعِدٌ إِذْ جَاءَهُ بَعِيرُهُ يَمْشِى حَتَّى وَضَعَ خِطَامَهُ فِى يَدِهِ فَلَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ الْعَبْدِ مِنْ هَذَا حِينَ وَجَدَ بَعِيرَهُ عَلَى حَالِهِ » .
“Sungguh, Allah lebih senang dengan tobat hamba-Nya daripada seseorang yang membawa perbekalan dan wadah besar di atas unta, yang ketika berjalan di tengah padang pasir, tiba-tiba ia kelelahan. Orang itu kemudian turun dan istirahat siang di bawah sebuah pohon, tiba-tiba matanya terpejam (tidur) dan unta itu terlepas. Ketika bangun, ia cari-cari (unta itu) dari atas bukit, namun sama sekali tidak terlihat apa-apa. lalu dinaiki bukit yang lain, namun tidak terlihat apa-apa. Kemudian dinaikilah bukit ketiganya, namun tidak terlihat apa-apa. Ia pun kembali ke tempat semula. Ketika sedang duduk, tiba-tiba untanya kembali sampai-sampai kekangnya ditaruh .di tangannya. Dan Allah lebih senang (terhadap orang yang bertobat) daripada orang itu (yang kehilangan) menemukan kembali untanya. (HR. Muslim)
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات
Diringkas dari kitab Uridu an atuuba karya Syaikh M. Bin Shalih Al Mujjadi oleh Marwan bin Musa


[i] Ada yang mengatakan istibra’nya dengan satu kali haidh, sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa istibra’nya itu dengan tiga kali quruu’ jika haidh, atau tiga bulan jika tidak haidh atau dengan melahirkan jika ternyata hamil. Kecuali jika wanita itu budak, maka istibra’nya dengan satu kali haidh jika haidh, dan dengan melahirkan jika ternyata hamil.
Jika sesesorang nekad menikahi wanita yang dizinahi tanpa didahului dengan istibraa, sedangkan dia mengetahui bahwa pernikahan itu tidak boleh, maka pernikahannya tidak sah.
[ii] Mengadakan perbaikan berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger