بسم الله الرحمن الرحيم
Penyimpangan Al Qiyadah Al Islamiyah
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Risalah ini ditulis ketika dahulu muncul sebuah aliran menyimpang
di Indonesia bernama “Al Qiyadah Al Islamiyyah” yang dipimpin oleh Ahmad
Mushaddiq yang sempat menyatakan dirinya sebagai nabi. Semoga Allah menjadikan
risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن
رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيماً
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (Terj. QS. Al Ahzaab: 40)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلِى وَمَثَلُ الأَنْبِيَاءِ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا فَأَتَمَّهَا وَأَكْمَلَهَا إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَدْخُلُونَهَا وَيَتَعَجَّبُونَ مِنْهَا وَيَقُولُونَ لَوْلاَ مَوْضِعُ اللَّبِنَةِ » . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « فَأَنَا مَوْضِعُ اللَّبِنَةِ جِئْتُ فَخَتَمْتُ الأَنْبِيَاءَ »
“Perumpamaan diriku dengan para nabi yang lain seperti seorang
yang membangun sebuah rumah. Orang itu pun melengkapi dan menyempurnakannya
hanyasaja kurang satu buah bata (untuk menutupinya).” Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Akulah yang menempati lubang batu bata tersebut,
aku telah datang dan telah aku tutup para nabi.” (HR. Muslim dan lain-lain)
Telah muncul sebuah kelompok yang menamakan dirinya “Al Qiyadah Al
Islamiyah,” pemimpinnya bernama Ahmad Moushaddiq mengaku dirinya sebagai nabi
sebagaimana Musailamah Al Kadzdzab dan Mirza Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah)
yang mengaku dirinya nabi.
Beberapa buah artikel tulisan Ahmad Mushaddiq
Ahmad Mushaddiq memiliki beberapa buah artikel yang menjelaskan
keadaan dirinya yang sebenarnya. Berbekal dengan artikel yang ada tersebut,
kami sedikit menyimpulkan beberapa pemikirannya serta sebab dirinya berani
mengaku sebagai nabi.
Artikel A. Moushaddiq yang berjudul “Klarifikasi Makna Islam
Kaffah”
Pada artikel yang berjudul “Klarifikasi Makna Islam Kaffah Menurut
Tinjauan Bayyinatan” (hal. 2) Ahmad Moushaddiq berkata:
“Ada
tertulis dalam kitab Allah, yang berbunyi demikian, “Lihatlah, itu Hamba-Ku
yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepada-Nya jiwa-Ku berkenan; Aku akan menaruh
roh-Ku ke atas-Nya, dan ia akan memaklumkan hukum kepada bangsa-bangsa…dst.”
Komentar: Kami tidak mengetahui apakah maksud “kitab Allah” tersebut
adalah Al Qur’an atau kitab-kitab sebelum Al Qur’an (seperti Taurat dan Injil).
Apabila maksudnya Al Qur’an, maka tidak ada ayat yang berbunyi seperti itu. Dan
jika maksudnya Taurat dan Injil, maka kami pun tidak mengetahui apakah ada ayat
yang berbunyi seperti itu di kitab Taurat atau Injil, di samping ia tidak
menyebutkan kitab yang mana dan ayat ke berapa. Atau kemungkinan ketiga ia
mengaku menerima wahyu yang salah satu bunyi seperti itu. Maka kepadanya kami
bacakan firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً أَوْ قَالَ
أُوْحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَن قَالَ سَأُنزِلُ مِثْلَ مَا
أَنَزلَ اللّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ
وَالْمَلآئِكَةُ بَاسِطُواْ أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُواْ أَنفُسَكُمُ الْيَوْمَ
تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللّهِ غَيْرَ
الْحَقِّ وَكُنتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat
kedustaan terhadap Allah atau yang berkata, “Telah diwahyukan kepada saya,” padahal
tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata, “Saya akan
menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” Alangkah dahsyatnya sekiranya
kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul
maut, sedangkan para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata),
“Keluarkanlah nyawamu.” Pada hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat
menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang
tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.”
(QS. Al An’am: 93)
Pada halaman ketiga dari artikel tersebut Ahmad Mushaddiq dengan
berani mengatakan, “Hari ini Allah telah mengutus utusan-Nya yakni Al Masih
Al Mawud sebagai Rasul-Nya, yang mempunyai tugas yang sama sebagaimana para
Rasul sebelumnya yakni memenangkan Dien Allah atas dien-dien yang lain…dst.”
Komentar: Al Masih Al Mau’ud yang dimaksud adalah dirinya (Ahmad Moushaddiq)
sebagaimana hal itu dapat diketahui dari beberapa artikelnya. Di sana ia menyatakan
dirinya sebagai Rasul, yaitu pada kata-kata “yakni Al Masih Al Mawud sebagai
Rasul-Nya,” padahal Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدِ انْقَطَعَتْ فَلاَ رَسُوْلَ بَعْدِيْ وَلاَ نَبِيَّ
“Sesungguhnya
kerasulan dan kenabian sudah terputus. Oleh karena itu, tidak ada lagi rasul
dan nabi setelahku.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim, dishahihkan oleh Al
Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1631)
Dan pada halaman kesepuluh dari artikelnya tersebut, Ahmad Moushaddiq
berdalih dengan ayat Al Qur’an surat
Al Jumu’ah untuk mengukuhkan pernyataannya sebagai rasul, yaitu pada ayat:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata---Dan (juga) kepada
kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan
Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.----Demikianlah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai
karunia yang besar.” (Terj. QS. Al Jumu’ah: 2-4)
Menurutnya pada ayat kedua memang untuk Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam, namun pada ayat ketiga adalah informasi yang diperuntukkan
bagi rasul Allah yang sekarang ini (Al Masih Al Mau’ud), yaitu dirinya.
Komentar: Demikianlah tafsir yang dipaksa-paksakan agar cocok meskipun
sebenarnya tidak cocok ibarat mencampurkan minyak dengan air yang masih tetap tampak
mana minyak dan mana air.
Ia menyangka, bahwa ayat yang berbunyi “Dan (juga) kepada
kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka”
menunjukkan bahwa masih bisa ada nabi lagi setelahnya. Padahal ayat ketiga ini
memiliki keterkaitan dengan ayat kedua. Pada ayat pertama dijelaskan bahwa
Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengutus kepada kaum yang buta huruf (bangsa Arab)
seorang rasul (yakni Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) yang akan
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka (bangsa Arab), mensucikan mereka dan
mengajarkan mereka Al Qur’an dan Al Hikmah (sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam). Sedangkan pada ayat ketiga yaitu, “Dan (juga) kepada
kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka”, yakni
tidak hanya orang Arab saja Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diutus,
bahkan kepada orang-orang ‘ajam (di luar Arab) pun Beliau diutus untuk
mengajarkan (tarbiyah) Al Qur’an dan As Sunnah serta mensucikan (tasfiyah) mereka.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mngirimkan surat kepada raja-raja bangsa
di luar Arab seperti kepada bangsa Romawi dan Persia untuk mengajak mereka kepada
Islam (untuk lebih jelasnya lihatlah kitab-kitab tafsir).
Artikel A. Mushaddiq yang berjudul “Kitab Allah Pegangan para nabi
dan rasul”
Pada artikel ini, Ahmad Moushaddiq mengatakan, bahwa dirinya tidak
sesat karena masih berpegang dengan kitab Allah dan sunnah Rasul, di mana orang
yang berpegang teguh kepada keduanya tidak akan sesat selama-lamanya
sebagaimana disebutkan dalam hadits. Namun ia mengungkapkan bahwa yang dimaksud
kitab Allah di sini adalah umum (termasuk berpegang kepada Taurat dan Injil),
karena menurutnya dalam bahasa Arab kitab Allah itu bentuk nakirah (umum) bukan
ma’rifat (khusus). Demikian juga tafsirnya terhadap maksud dari “sunnah rasul,”
menurutnya sunnah Rasul adalah hal yang biasa dilakukan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Dan dalam hal ini, ia (Ahmad Moushaddiq) telah mengerjakan
kebiasaan Rasulullah yaitu berusaha memenangkan dien haq di atas dien-dien
lainnya.
Komentar: Pernyataan bahwa dirinya berpegang dengan kitab Allah dan Sunnah
Rasul hanyalah semata-mata iddi’a (pengakuan), siapa pun bisa mengaku seperti
itu, akan tetapi kenyataan yang membuktikan benar tidaknya pengakuan tersebut.
Dan pada kenyataannya ia tidak mengakui bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam sebagai penutup para nabi. Padahal dalam Al Qur’an sudah jelas bahwa
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi, terlebih
dalam As Sunnah sangat banyak sekali hadits-hadits yang menyatakan demikian.
Namun karena menurutnya kitab Allah adalah umum, sehingga jika
seseorang saat ini berpegang dengan Taurat dan Injil maka ia tidak akan
tersesat. Untuk menyingkirkan syubhat ini, perlu kiranya jawaban secara rinci.
Pertama, Kitab Allah dalam bahasa Arab bukan nakirah (umum), karena
“kitabullah” dalam ilmu nahwu disebut mudhaf-mudhaf ilaih, dan suatu
kalimah (kata) menjadi ma’rifat (khusus) di antara caranya adalah dengan
diidhafatkan. Berbeda jika hanya menyebut “kitaabun”, maka ini nakirah. Ini
salah satu bukti kurang mengertinya ia tentang bahasa Arab, akibatnya
menafsirkan ayat atau hadits jadi menyimpang.
Dan akibat sangkaannya bahwa “kitab Allah” adalah umum, akhirnya
ia agak sering merujuk kepada kitab Taurat (Perjanjian Lama) dan Injil
(Perjanjian Baru) dalam beberapa artikelnya. Padahal siapa pun mengetahui
apabila Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan kitab Allah,
maka maksudnya adalah Al Qur’an, tidak selainnya.
Ahmad Moushaddiq sepertinya tidak pernah membaca firman Allah
Ta’ala tentang kitab-kitab terdahulu:
مِّنَ الَّذِينَ هَادُواْ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah
perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS. An Nisaa’: 46)
Yakni orang-orang Yahudi ikut campur tangan terhadap kitab-kitab sebelum Al Qur’an
baik dengan memberikan tambahan, merubah, mengurangi, atau menghilangkan
sehingga tidak murni lagi seperti keadaan ketika diturunkan, berbeda dengan Al
Qur’an yang dijaga kemurniannya oleh Allah (lihat QS. Al Hijr: 9). Oleh karena
itu, kita hanya membenarkan berita dari kitab-kitab tersebut yang dibenarkan
oleh Al Qur’an dan As Sunnah dan kita dustakan berita-berita yang didustakan
oleh Al Qur’an dan As Sunnah. Dan setelah diturunkan Al Qur’an, maka
kitab-kitab tersebut sudah mansukh (dihapus) tidak bisa diamalkan, yang
diamalkan hanyalah Al Qur’an saja atau hukum yang dibenarkan oleh Al Qur’an
saja (lihat QS. Al Ma’idah: 48). Oleh karena itu Sulaiman bin Habib pernah
berkata, “Kita hanya diperintahkan beriman kepada Taurat dan Injil dan tidak
diperintahkan mengamalkan hukum yang ada pada keduanya.”
Kedua, bahwa sunnah tidak terbatas hanya mengikuti perbuatan yang biasa
dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan mencakup mengikuti
ucapan, perbuatan, taqrir (hal yang dibenarkan Beliau) dan hammiyyah
(keinginan) yang berasal dari Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalau
seandainya dia mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
seharusnya dia mendengarkan sabda Beliau ketika bersabda:
وَاَنَا الْعَاقِبُ الَّذِيْ لَيْسَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ
“Dan
akulah adalah Al ‘Aaqib (yang terakhir), yang tidak ada lagi nabi setelahnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dan tentu dirinya tidak mengakui ada lagi nabi setelah Beliau.
Jika masih mengakui ada lagi nabi setelah Beliau, maka ini namanya berdusta
dalam kata-katanya “mengikuti sunnah rasul” dan hendak mengelabui saja.
Artikel A. Mushaddiq yang berjudul “Syahru Ramadhan dan ‘Ied Al
Fitrah”
Pada artikel ini, A. Moushaddiq membagi dakwah ke dalam dua fase;
fase Makkiyyah dan fase Madaniyyah. Dalam fase Makkiyyah kewajiban-kewajiban
Islam seperti shalat, puasa, hajji menurutnya tidak wajib, ia berkata (lihat
hal. 2), “Contoh sederhana, semua Rasul Allah, pada awal dakwahnya berfokus
pada masalah ‘akidah (yaitu soal kemusyrikan), bukan membicarakan soal wudhu’,
sholat, haji, ritual shoum, atau puasa Ramadhan dan ibadah mahdhah lainnya.”
Dan pada hal. 4, A. Moushadiq menegaskan bahwa puasa Ramadhan tidak wajib,
karena menurutnya hari ini kondisinya adalah fase Makkiyyah.
Di artikel tersebut, ia juga memaknai puasa Ramadhan dengan dua
makna; muhkam dan mutasyabihat. Muhkam berarti puasa dalam arti yang jelas
yaitu menahan lapar dan haus dari terbit fajar hingga tenggelam matahari selama
sebulan, sedangkan makna mutasyabihat berarti periode waktu Allah menurunkan Al
Qur’an, yaitu 23 tahun, yang di sana ada fase sirron (sembunyi-sembunyi),
jahron (terang-terangan), hijrah, qital, futuh dan Al Madinah Al Munawwarah.
Dengan demikian yang dimaksud syahru/bulan Ramadhan tidak lain adalah sittati
ayyam (6 fase) tersebut..dst.”
Komentar: Kalau mau jujur, sebenarnya shalat lima waktu diwajibkan ketika Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam masih di Makkah (fase Makkiyyah), sebelum Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, Beliau sudah
diisra’-mi’rajkan terlebih dahulu. Namun karena kurang mengerti sejarah (sirah
Nabawiyyah), akhirnya ia berkata seperti itu. Bahkan sebelum isra’-mi’raj pun
shalat sudah difardhukan. Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika
menafsirkan firman Allah,
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ
طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan
bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam(nya).” (QS. Qaaf: 39)
“Shalat yang fardhu sebelum Beliau diisra’kan hanya dua kali,
yaitu sebelum terbit matahari di waktu fajar dan sebelum tenggelam matahari di
waktu ‘Ashar…dst (lihat tafsir Ibnu Katsir surat Qaaf).
Pembagian dakwah ke dalam dua fase, fase pertama ajaran Islam
seperti yang disebutkan di atas tidak wajib, sedangkan fase kedua ajaran Islam
barulah diwajibkan adalah pembagian bid’ah yang dibuatnya. Padahal sejak
difardhukannya puasa, zakat, jihad dsb. maka sejak saat itu hingga hari kiamat
menjadi wajib. Tidak ada ayat maupun hadits yang menerangkan tentang penundaan
pelaksanaan shalat, puasa dan zakat. Bahkan sebaliknya, perintah shalat, puasa
dsb. menuntut untuk segera diamalkan sebagaimana dalam Ushul Fiqh “Al Amru
yaqtadhil faur” (Perintah menuntut agar dilakukan segera). Inilah akibat
tidak mempelajari ilmu alat untuk memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti ilmu Ushul Fiqh, pemahamannya atau hasil
istinbathnya menjadi “menyimpang.”
Sedangkan pembagian makna puasa kepada makna muhkam dan
mutasyabihat. Ini hanya pembagian dia saja, dan sepertinya ia termasuk korban
ilmu filsafat, di mana ia memaksakan diri menggali sesuatu di balik yang sudah
jelas yang hasilnya hanya meragukan. Hasil yang meragukan itu disangkanya
sebuah ilmu, demikianlah ilmu filsafat sehingga orang-orang yang berpengalaman
mengatakan, “Mengetahui ilmu filsafat adalah kebodohan dan bodoh terhadap
filsafat adalah pengetahun.”
Wallahu a’lam
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar