Kaum Salaf dan Kebencian Mereka Terhadap Popularitas

بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum Salaf dan Kebencian Mereka Terhadap Popularitas
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum Salaf dalam hal kebencian mereka terhadap popularitas yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf dalam hal kebencian mereka kepada popularitas
Dari Habib bin Abi Tsabit ia berkata, “Suatu hari Ibnu Mas’ud keluar, lalu diikuti oleh orang-orang, maka ia berkata kepada mereka, “Apa kalian punya keperluan (denganku)?” Mereka menjawab, “Tidak. Tetapi kami ingin  berjalan bersamamu,” Ibnu Mas’ud berkata, “Pulanglah kalian. Karena hal itu kehinaan bagi yang mengikuti dan fitnah bagi yang diikuti.” (Shifatush Shofwah 1/406).
Dari Harits bin Suwaid ia berkata, “Abdullah berkata, “Kalau sekiranya kalian mengetahui apa yang aku ketahui tentang diriku, tentu kalian akan menaburkan tanah ke atas kepalaku.” (Shifatush Shofwah 1/406, 407).
Dari Bustham bin Muslim ia berkata, “Biasanya Muhammad bin Sirin apabila ada orang yang berjalan bersamanya, maka ia berhenti dan berkata, “Apa kamu punya keerluan (denganku)?” Jika ia punya keperluan, maka ia tunaikan. Jika ternyata orang itu kembali berjalan bersamanya, maka ia berhenti dan berkata lagi, “Apa kamu punya keperluan (denganku)?” (Shifatush Shofwah 3/243).
Al Hasan[i] berkata, “Suatu hari aku pernah bersama Ibnul Mubarak, lalu kami mendatangi tempat penampungan air, dimana orang-orang mengambil minum daripadanya, lalu ia mendekat untuk mengambil minum, sedangkan orang-orang tidak mengetahui beliau, akhirnya mereka mendesaknya dan mendorongnya. Ketika keluar dari kerumunan ia berkata, “Tidaklah kehidupan kecuali seperti ini,” yakni pada saat kita tidak dikenal dan tidak dihormati.
Al Hasan melanjutkan, “Ketika kami berada di Kufah, ada yang membacakan kitab Manasik kepadanya (Abdullah Ibnul Mubarak) dan pada saat sampai pada sebuah hadits, tertulis di sana, “Abdullah berkata, “Inilah yang kami pegang,” maka Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “Siapa yang mencatat pendapatku ini.” Aku berkata, “Penulisnya yang menulis kitab ini.” Maka Ibnul Mubarak terus saja menghapusnya dengan tangannya hingga hilang, lalu ia berkata, “Siapa saya sehingga pendapatnya pantas dicatat.” (Shifatush Shofwah 4/135).
Dari Al Husain bin Al Husain Al Marwazi ia berkata, “Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “Jadilah orang yang senang tersembunyi; tidak terkenal. Jangan kamu tunjukkan bahwa kamu tidak suka ketenaran itu sehingga engkau sama saja mengangkat dirimu. Sesungguhnya engkau mengklaim diri sendiri sebagai orang yang zuhud, justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan, karena kamu saja menyeret pujian dan sanjungan untuk dirimu.” (Shifatush Shofwah 4/137).
Dari Ahmad bin Yunus Al Yarbu’i, Mu’awiyah bin Hafsh telah menceritakan kepada kami dari Dawud bin Muhajir dari Ibnu Muhairiz, ia mendengar dari Fadhalah bin Ubaid, dan pernah kutanya, “Berikanlah nasihat kepadaku!” Ia menjawab, “Ada beberapa perkara yang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengannya; jika kamu sanggup untuk mengenal namun tidak dikenal, maka lakukanlah. Jika kamu sanggup mendengar dan tidak berbicara, maka lakukanlah. Dan jika kamu sanggup menghadiri majlis ilmu tanpa orang-orang datang ke majlismu, maka lakukanlah.” (Siyar A’lamin Nubala 3/116).
Dari seorang laki-laki, ia berkata, “Aku pernah melihat bekas kegundahan di wajah Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal), ketika itu ada orang yang memujinya dan disampaikan kepadanya, “Semoga Allah balas engkau dengan kebaikan jasamu terhadap Islam,” maka ia berkata, “Justru Allah memberikan kejayaan kepada Islam karena jasanya kepadaku. Siapa saya dan apa kedudukan saya?” (Siyar A’lamin Nubala 11/225).
Kisah Muhammad bin Al Munkadir dengan hamba saleh yang tidak terkenal
Muhammad bin Al Munkadir berkata, “Saya mempunyai tiang di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang di sana aku duduk dan melakukan shalat malam. Suatu ketika penduduk Madinah tertimpa paceklik selama setahun, akhirnya penduduknya melakukan shalat istisqa (minta diturunkan hujan kepada Allah Azza wa Jalla), tetapi mereka belum mendapatkan curahan hujan. Pada  suatu malam, aku shalat Isya di Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian pergi mendatangi tiangku dan meyandarkan tubuhku kepadanya. Tiba-tiba datang laki-laki hitam yang kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung, dan di lehernya ada lagi kain yang lebih kecil daripadanya. Laki-laki itu kemudian mendekati tiang yang berada di depanku, sedangkan aku berada di belakangnya, lalu ia bangun dan shalat dua rakaat, kemudian duduk dan berdoa, “Ya Allah, penduduk tanah suci Nabi-Mu meminta air, namun Engkau tidak mencurahkan hujan untuk mereka. Sekarang aku bersumpah atas nama-Mu, turunkanlah hujan.”
Ibnul Munkadir berkata, “(Mungkin ia) orang gila. Tetapi ketika ia hendak meletakkan tangannya, tiba-tiba aku mendengar suara guntur diikuti dengan hujan yang turun dari langit yang menyebabkan diriku berkeinginan kembali ke rumah. Saat orang itu mendengar hujan turun, maka ia memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah aku dengar sebelumnya, lalu orang itu berkata, “Siapa saya sehingga doaku terkabul, akan tetapi aku berlindung dengan memuji Diri-Mu dan aku berlindung dengan pertolongan-Mu.”
Kemudian laki-laki ini bangkit mengenakan kainnya yang digunakan sebagai sarungnya dan menurunkan kain yang bergantung di punggungnya ke kakinya, lalu shalat dan terus saja shalat, sehingga ketika ia merasakan waktu Subuh hampir tiba, maka ia shalat witir dan melakukan shalat sunah fajar dua rakaat. Ketika iqamat dikumandangkan, maka ia ikut shalat bersama orang-orang, aku pun ikut shalat bersamanya.
Setelah imam mengucapkan salam, maka ia keluar, lalu aku keluar mengikutinya dari belakang, sehingga ketika ia sampai ke pintu masjid, ia keluar dengan mengangkat kainnya dan melewati air, aku pun ikut keluar sambil mengangkat kainku melewati air, kemudian aku tidak tahu lagi ke mana ia pergi.
Pada malam selanjutnya, aku shalat di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mendatangi tiangku dan berbaring di sana, kemudian ia datang sambil mengenakan kainnya dan menurunkan kain yang sebelumnya di punggung ke kakinya, lalu shalat. Ia terus menjalankan shalat sehingga saat Subuh hampir tiba, maka ia segera shalat witir dan shalat sunah fajar dua rakaat, kemudian iqamat dikumandangkan, lalu ikut shalat bersama manusia, aku pun ikut shalat bersamanya. Ketika imam selesai mengucapkan salam, maka ia keluar, lalu aku keluar di belakangnya. Ia terus berjalan sedangkan aku membuntutinya sehingga masuk ke salah satu rumah di Madinah yang kukenal, kemudian aku kembali ke masjid.
Ketika matahari telah terbit, aku pun shalat (Dhuha) dan keluar mendatangi rumahnya. Ketika sampai, aku melihatnya dalam keadaan duduk mengesol, dan ternyata ia tukang sepatu. Saat ia melihatku, maka ia segera mengenaliku dan berkata, “Wahai Abu Abdillah, selamat datang. Adakah yang bisa dibantu? Maukah aku buatkan sepatu untukmu?”
Lalu aku segera duduk dan berkata, “Bukankah engkau adalah kawanku pada malam pertama?”
Rona wajahnya pun berubah menjadi hitam dan berkata keras kepadaku, “Wahai Ibnul Munkadir! Apa urusanmu dengan kejadian itu?”
Laki-laki itu pun marah dan aku segera keluar daripadanya sambil berkata, “Sekarang juga aku akan keluar dari tempat ini.”
Pada malam ketiga, aku shalat Isya di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendatangi tiangku serta bersandar kepadanya, namun ia tidak datang, aku pun berkata, “Innaa lillah, apa yang telah kulakukan?”
Ketiba tiba waktu Subuh, aku duduk di masjid sampai terbit matahari, lalu aku keluar sehingga sampai di rumah tempat laki-laki itu berada, namun aku lihat pintunya dalam keadaan terbuka dan ternyata di rumah sudah tidak ada apa-apa lagi, maka pemilik rumah berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara kamu dengan dirinya kemarin?”
Aku balik bertanya, “Memangnya kenapa?”
Orang-orang di situ berkata, “Ketika engkau keluar dari dari sisinya kemarin, maka ia segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumahnya dan tidak menyisakan di dalam rumah itu sebuah kulit maupun alat pencetak sepatu, semuanya ia masukkan ke dalam kain dan dibawanya kemudian pergi, dan kami tidak tahu ke mana ia pergi.”
Muhammad bin Al Munkadir berkata, “Setiap rumah yang ada di kota Madinah yang kuketahui pasti aku kunjungi untuk mencarinya, namun aku tidak menemukannya lagi, semoga Allah merahmatinya.” (Shifatush Shofwah 2/190-192).
Khatimah
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
« تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ ، تَعِسَ وَانْتَكَسَ ، وَإِذَا شِيكَ فَلاَ انْتَقَشَ ، طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ، أَشْعَثَ رَأْسُهُ مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ ، إِنْ كَانَ فِى الْحِرَاسَةِ كَانَ فِى الْحِرَاسَةِ ، وَإِنْ كَانَ فِى السَّاقَةِ كَانَ فِى السَّاقَةِ ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ ، وَإِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ »
“Celaka hamba dinar, hamba dirham dan hamba Khamishah[ii]. Jika diberi dia senang, dan jika tidak, dia marah. Celaka dan tersungkurlah, apabila terkena duri semoga ia tidak dapat mencabutnya. Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kekang kudanya di jalan Allah, rambutnya kusut dan kedua kakinya berdebu. Jika ia ditugaskan sebagai penjaga, dia setia berada di pos penjagaan, dan jika ditugaskan di garis belakang, dia akan tetap setia di garis belakang. Jika ia meminta izin (untuk menemui raja atau penguasa) tidak diperkenankan, dan jika bertindak sebagai pemberi syafaat (sebagai perantara) maka tidak diterima syafaatnya (perantaraannya). ”
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab  Aina Nahnu min Akhlaqis salaf  oleh Marwan bin Musa


[i] Di antara murid Ibnul Mubarak adalah Al Hasan bin Ar Rabi’, Al Hasan bin Arafah, Al Hasan bin Isa bin Masirji, mungkin Al Hasan di atas salah seorang di antara mereka, lihat Siyar A’lamin Nubala 8/380.
[ii] Khamishah adalah pakaian dari wool atau lainnya yang berwarna hitam dan memiliki corak-corak.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger