Risalah Taubat (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Risalah Taubat (1)

(Diringkas dari kitab “Uriidu An Atuuba wa laakin” karya Syaikh M. bin Shalih Al Munajjid oleh Marwan bin Musa)

Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kaum mukminin semuanya untuk bertaubat, Dia berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An Nuur: 31)
Allah membagi hamba-hamba-Nya kepada dua golongan yaitu hamba yang bertobat dan hamba yang zalim, tidak ada yang ketiganya, Dia berfirman,
وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujuraat: 11)
Zaman sekarang adalah zaman banyaknya manusia yang jauh dari agama Allah, maksiat merata, dan kerusakan melanda sehingga hampir tidak ada satu pun orang kecuali telah dilumuri oleh dosa-dosa, selain orang yang Allah jaga.
Akan tetapi, Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci, sehingga banyak manusia yang sadar dari kelalaiannya dan bangun dari tidurnya. Mereka menyadari sikapnya selama ini yang jauh dari jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, bukan jalan orang yang dimurkai (Yahudi) dan bukan pula jalan orang yang sesat (Nasrani). Mereka pun pergi menuju menara tobat, sedangkan yang lain sudah mulai bosan dengan hidupnya, sehingga berangkatlah mereka bersama-sama untuk keluar dari kegelapan kepada cahaya.
Namun di tengah perjalanan menuju tobat ada hambatan-hambatan yang mereka kira menghalanginya dari tobat; ada hambatan yang muncul dari dalam dirinya dan ada juga hambatan yang muncul di lingkungannya.
Oleh karena itu, semoga tulisan ini dapat menyingkirkan hambatan-hambatan yang datang sehingga bisa melanjutkan perjalanannya menuju menara tobat.
Bahaya meremehkan dosa
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberikan tiga kesempatan kepada kita untuk bertobat:
Pertama, Sebelum dicatat dosa itu oleh malaikat, berdasarkan hadits berikut:
اِنَّ صَاحِبِ الشَّمَالِ لَيَرْفَعُ الْقَلَمَ سِتَّ سَاعَاتٍ عَنِ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ الْمُخْطِئِ فَإِنْ نَدِمَ وَاسْتَغْفَرَ اللهَ مِنْهَا اَلْقَاهَا وَاِلاَّ كُتِبَتْ وَاحِدَةً
“Sesungguhnya malaikat yang berada di sebelah kiri mengangkat pena (tidak mencatat) selama enam jam[i] ketika seorang hamba yang muslim melakukan dosa, jika ia menyesali perbuatannya dan meminta ampunan Allah terhadapnya, maka dilepaslah pena itu, namun jika tidak demikian, maka akan dicatat satu dosa.”[ii]
Kedua, Setelah dicatat dan,
Ketiga, Sebelum ajal tiba.
Namun sangat disayangkan, banyak orang yang tidak mengenal siapa Allah dan tidak mengetahui keagungan-Nya sehingga membuat mereka berani mendurhakai-Nya dengan melakukan dosa-dosa di malam dsan siang hari. Ada di antara mereka yang menganggap remeh suatu dosa, misalnya mengatakan, “Memangnya, apa bahaya memandang wanita?” atau “Memangnya, apa bahaya dari berjabat tangan dengan lawan jenis?” akhirnya mereka berani memandang wanita yang terbuka aurat baik di koran, majalah, televisi, dan lain-lain. Sampai-sampai di antara mereka ketika mengetahui haramnya suatu perbuatan, bertanya, “Apakah dosa ini besar atau kecil?”
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, “Sesungguhnya kalian mengerjakan perbuatan yang kalian kira lebih ringan dari sehelai rambut, padahal kami di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganggapnya termasuk perbuatan yang dapat membinasakan.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata,
«إِنَّ المُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ»أَيْ بِيَدِهِ- فَذَبَّهُ عَنْهُ
“Sesungguhnya seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah sebuah bukit, ia takut kalau bukit itu runtuh menimpanya. Sedangkan orang fajir (fasik) memandang dosa-dosanya seakan-akan ada lalat yang menempel di hidungnya, lalu ia berbuat seperti ini –yakni dengan tangannya- ia menyingkirkan lalat itu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Ahli ilmu menjelaskan bahwa dosa yang kecil itu jika dilakukan tanpa ada rasa malu, tidak peduli sama sekali, dan hilangnya rasa takut kepada Allah disertai sikap meremehkan bisa menjadikannya dosa besar.
Oleh karena itu,
لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الْاِسْتِمْرَارَ وَلاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الْاِسْتِغْفَارِ
Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus-menerus,
dan tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfar.
Menganggap remeh suatu dosa adalah penyakit berbahaya, kepada orang yang terserang penyakit ini, kami katakan, “Kamu jangan lihat kecilnya dosa yang kamu kerjakan, tetapi lihatlah kepada siapa kamu bermaksiat.”
Syarat Tobat
Tobat adalah kata-kata mulia yang isinya dalam, tidak seperti yang disangka oleh banyak orang yaitu hanya ucapan di lisan namun perbuatannya masih tetap di atas dosa, perhatikanlah ayat berikut ini:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (QS. Huud: 3)
Dari ayat ini kamu dapat mengetahui bahwa tobat adalah sesuatu yang lebih setelah istighfar.
Karena masalah taubat adalah masalah yang sangat penting, para ulama menyebutkan syarat-syarat tobat yang mereka ambil dari Al Qur’an dan As Sunnah, inilah syarat-syaratnya:
1.       Segera meninggalkan perbuatan dosa itu.
2.       Menyesalinya.
3.       Berniat keras untuk tidak mengulangi.
Dan jika ada hak orang lain yang kita ambil/zalimi maka ditambah dengan yang keempatnya yaitu mengembalikan hak mereka atau meminta dihalalkan[iii]. Berdasarkan hadits berikut:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ » .
“Barang siapa yang pernah menzalimi seseorang baik kehormatannya maupun yang lainnya, maka mintalah untuk dihalalkan hari ini sebelum datang hari yang ketika itu tidak ada dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal saleh, maka diambillah amal salehnya sesuai kezaliman yang dilakukannya, namun jika tidak ada amal salehnya, maka kejahatan orang itu akan dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Sebagian ahli ilmu menyebutkan syarat lain taubat nashuha (tobat yang sesungguhanya), yaitu:
Pertama, meninggalkan dosa tersebut karena Allah.
Yakni ia meninggalkan dosa tersebut bukan karena tidak mampu mengerjakannya, bukan juga karena takut dibicarakan oleh manusia. Sehingga tidaklah dinamakan tobat kalau seseorang meninggalkan dosa karena khawatir namanya menjadi buruk di masyarakat. Dan tidaklah dinamakan tobat kalau ia meninggalkan dosa karena khawatir sakit seperti orang yang meninggalkan zina karena khawatir terserang penyakit Aids.
Kedua, merasakan buruknya perbuatan dosa.
Yakni tobat yang sesungguhnya tidak mungkin membuat seseorang senang ketika mengingat dosa-dosanya yang telah lalu atau merasakan nikmat perbuatan dosa, atau bahkan ada keinginan untuk mengulanginya.
Ketiga, bersegera dalam bertobat.
Oleh karena itu, jika seseorang menunda-nunda tobat, berarti tobatnya masih kurang sunguh-sungguh.
Keempat, merasa khawatir tobatnya belum diterima.
Yakni seseorang yang bertobat tidak boleh memastikan bahwa tobatnya sudah diterima sehingga dirinya santai merasa aman dari makar Allah.
Kelima, adanya upaya untuk menutupi kekurangan dalam memenuhi hak Allah ketika mampu, misalnya mengeluarkan zakat yang ditahannya di tahun yang lalu, di samping adanya hak orang fakir di hartanya itu.
Keenam, meninggalkan tempat maksiat dan kawan-kawannya yang mendorongnya berbuat maksiat.
Hendaknya seseorang yang bertobat mengingat firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala ini,
الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. (QS. Az Zukhruf: 67)
Dan kawan-kawannya yang buruk kelak akan saling melaknat satu sama lain. Oleh karena itu, hendaknya ia meninggalkan kawannya itu jika ia merasakan kesulitan mendakwahinya, dan jangan sampai memberikan kesempatan kepada setan menyeret dirinya dengan ikut duduk bersama mereka, karena ada saja orang yang yang kembali lagi berbuat maksiat ketika tetap bergaul dengan kawan-kawannya yang buruk.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنَ تَوْبَةٍ فَقَالَ لاَ . فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ نَعَمْ وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللَّهَ فَاعْبُدِ اللَّهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ . فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللَّهِ . وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ . فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِى صُورَةِ آدَمِىٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ قِيسُوا مَا بَيْنَ الأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ . فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الأَرْضِ الَّتِى أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ » .
“Dahulu, di zaman sebelum kamu ada seseorang yang telah membunuh sembilan-puluh sembilan orang, dia pun bertanya kepada orang-orang siapa yang paling mengerti agama, lalu diberitahukanlah kepadanya seorang ahli ibadah, maka didatanginya ahli ibadah itu dan diberitahukannya bahwa dia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah masih bisa diterima tobatnya? Maka ahli ibadah itu menjawab, “Tidak bisa.” Lalu dibunuhlah ahli ibadah itu sehingga genap seratus orang yang telah dibunuhnya, namun dia (masih ingin bertobat) dan bertanya “Siapakah orang yang mengerti agama?” Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang alim (mengerti agama), ia pun memberitahukan kepada orang alim itu bahwa dirinya telah membunuh seratus orang, “Apakah masih diterima tobatnya?” Orang alim itu menjawab, “Ya, siapakah yang dapat menghalangi seseorang untuk bertobat. Pergilah kamu ke kampung ini atau itu, karena di sana banyak orang-orang yang beribadah kepada Allah, beribadahlah kepada Allah bersama mereka, dan jangan kembali lagi ke kampungmu, karena kampungmu adalah kampung yang buruk.” Laki-laki ini pun pergi ke sana, di tengah perjalanan tiba-tiba maut datang, sehingga berselisih malaikat rahmat dan malaikat ‘adzab (siapa di antara keduanya yang mencabut nyawanya), malaikat rahmat mengatakan, “Bukankah ia datang untuk bertobat seraya menghadapkan hatinya kepada Allah?” Sedangkan malaikat azab mengatakan, “Tetapi dia belum sempat beramal saleh.” Maka datanglah kepada mereka seorang malaikat dalam bentuk manusia, dan dijadikanlah ia sebagai hakimnya, maka hakimnya mengatakan, “Ukur saja jarak antara kedua kampung itu, jika ternyata lebih dekat ke kampung yang satunya, maka yang mencabut adalah malaikat ini.” Kedua malaikat itu pun mengukur, ternyata lebih dekat ke kampung yang hendak ditujunya, maka dicabutlah nyawanya oleh malaikat rahmat.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa perbedaan jarak antara kampung asalnya dengan kampung tujuannya hanya sejengkal. Dan dalam riwayat yang lain juga disebutkan:
فَأَوْحَى اللهُ تَعَالىَ اِلىَ هَذِهِ اَنْ تُبَاعِدَنِي وَاِلَى هَذِهِ اَنْ تُقَرِّبَنِيْ وَقَالَ قِيْسُوْا مَا بَيْنَهُمَا فَوَجَدُوْهُ اِلىَ هَذِهِ اَقْرَبُ بِشِبْرٍ فَغَفَرَ لَهُ
“Maka Allah Ta’ala mewahyukan ke kampung yang ini, “Menjauhlah” dan ke kampung yang itu “Mendekatlah,” lalu dikatakan, “Ukurlah jarak antara keduanya,” maka mereka pun mendapatkan ternyata jaraknya lebih dekat sejengkal ke kampung yang itu.”
Bersambung...
Washallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam
Diringkas dari kitab Uriidu an atuuba karya M. Bin Shalih Al Munajjid oleh Marwan bin Musa


[i] Jam di sini maksudnya bisa waktu yang singkat di malam atau siang hari.
[ii] HR. Thabrani dalam Al Kabir dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahiihah (1209).
[iii] Jika mereka tidak mau menghalalkan, maka kita wajib mengembalikan.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger