بسم الله الرحمن الرحيم
Risalah
Taubat (4)
(Diringkas
dari kitab “Uriidu An Atuuba wa laakin” karya Syaikh M. bin Shalih Al
Munajjid oleh Marwan bin Musa)
Þ Masalah: “Saya pernah melakukan dosa
kemudian bertobat darinya, namun hawa nafsu saya lebih kuat sehingga membuat
saya mengulangi perbuatan itu. Lalu apakah taubat saya yang pertama itu batal
sehingga saya menanggung dosa yang dahulu dan setelahnya?”
Jawab: Mayoritas para ulama berpendapat,
bahwa untuk sahnya taubat tidak disyaratkan harus tidak boleh mengulanginya
lagi, akan tetapi tobat menjadi sah jika pelakunya segera meninggalkannya,
menyesali perbuatannya, dan berniat keras untuk tidak mengulanginya lagi.
Kalau pun mengulanginya lagi maka ia sama seperti orang yang baru mengerjakan
maksiat yang harus bertobat lagi, dan tobatnya yang pertama adalah sah.
Þ Masalah: “Sahkah tobat dari suatu perbuatan
dosa, sedangkan saya masih mengerjakan perbuatan dosa yang lain?”
Jawab: Tobat dari suatu perbuatan dosa
adalah sah, meskipun ia masih melakukan dosa yang lain, selama dosa yang lain
itu tidak termasuk dosa yang pertama. Misalnya seseorang bertobat dari
perbuatan riba, namun belum bertobat dari meminum minuman keras, maka tobatnya
dari perbuatan riba adalah sah. adapun jika seseorang bertobat dari riba fadhl,
namun melakukan riba’ nasii’ah, maka dalam keadaan ini tobatnya tidak diterima.
Demikian juga, jika seseorang bertobat dari narkoba, namun masih saja meminum
minuman keras, maka tobatnya tidak diterima.
Þ Masalah: “Dahulu saya tidak memenuhi
hak-hak Allah yaitu tidak melaksanakan shalat, juga tidak berpuasa, dan tidak
menunaikan zakat, lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
Jawab: Orang yang meninggalkan shalat
–menurut pendapat yang rajih/kuat- adalah tidak mesti mengqadha’, karena sudah
lewat waktunya dan tidak mungkin mengerjarnya. Akan tetapi ia harus bertobat
dan banyak beristighfar serta memperbanyak shalat-shalat sunat, semoga Allah
menutupi kekurangannya.
Sedangkan orang yang tidak berpuasa, jika
ketika meninggalkannya ia sebagai orang muslim, maka ia wajib mengqadha’ dengan
memberi makan orang miskin setiap harinya. Ini adalah kaffarat karena
menunda-nunda tanpa ada ‘udzur (alasan), dan kaffarat ini hanya sekali saja
meskipun telah berlalu baginya beberapa bulan Ramadhan. Contohnya adalah sebagai
berikut:
Seseorang meninggalkan tiga hari puasa
Ramadhan tahun 1400 H, dan lima
hari pada bulan Ramadhan tahun 1401 H dengan sengaja meremehkan. Setelah
berlalu beberapa tahun, ia pun bertobat kepada Allah, maka yang harus
dilakukannya adalah mengqadha’ puasa sebanyak delapan hari dan memberi makan
orang miskin setiap harinya dari delapan hari tersebut.
Adapun orang yang tidak mengeluarkan zakat,
ia wajib mengeluarkannya. Zakat adalah hak Allah dilihat dari satu sisi, dan
hak orang fakir dari sisi yang lain.
Þ Masalah: “Aku pernah membicarakan aib
seseorang atau beberapa orang, demikian juga aku pernah menuduh orang lain
melakukan sesuatu padahal ia tidak melakukannya, lalu apakah syarat tobatnya
aku harus memberitahukan perbuatanku kepada mereka dan meminta maaf
terhadapnya?”
Jawab, “Sebenarnya masalah ini tergantung
maslahat dan mafsadat. Jika anda memberitahukan kepada mereka perbuatan anda
dan meminta maaf terhadapnya, mereka tidak marah atau dendam kepada anda serta
tidak bersedih hati karena dibicarakan aibnya, maka tidak mengapa, meskipun
dengan penjelasan yang umum tanpa tafshil (rinci). Misalnya mengatakan, “Dahulu
aku pernah menzalimimu dengan kata-kata, dan sekarang aku bertobat kepada
Allah, maka maafkanlah aku.”
Namun jika diberitahukan hal tersebut
membuat mereka marah dan dendam, atau membuat mereka sedih –mungkin umumnya
seperti ini-, atau jika diberitahukan kepada mereka secara umum, mereka pasti
meminta penjelasan lebih rincinya, dan jika diberitahukan secara rinci membuat
mereka membencinya, maka dalam keadaan seperti ini, anda tidak wajib
memberitahukan mereka, karena syari’at tidak menghendaki mafsadat bertambah
besar. Dan memberitahukan kepada seseorang masalah yang sebelumnya ia tenang,
namun setelah diberitahukan membuatnya marah adalah bertentangan dengan tujuan
syari’at yaitu berupaya menjalin hubungan baik antar sesama kaum muslimin,
bahkan bisa saja ketika diberitahukan bisa menimbulkan permusuhan. Oleh karena
itu tobat dalam hal ini cukup dengan:
- Menyesali perbuatannya dan meminta ampunan
Allah terhadapnya dengan merasakan buruknya perbuatan tersebut dan meyakini
haramnya.
- Ia pun mendustakan dirinya ketika mendengar
ghibah atau tuduhan itu, dan memberitahukan bahwa orang yang dituduh itu tidak
demikian.
- Ia menyebutkan kebaikan orang yang
dighibahinya di majlis-majlis tempat ia menggibahinya dahulu.
- Membela orang yang dighibahinya dan
menghindarkan keburukan dari orang yang hendak menimpakan keburukan kepadanya.
- Memintakan ampunan kepada Allah untuknya.
Dan perlu diketahui bahwa kezaliman terhadap
harta dengan kezaliman terhadap badan atau kehormatan itu berbeda. Kezaliman
terhadap harta, jika kita mengembalikannya, maka pemiliknya akan gembira. Oleh
karena tidak boleh disembunyikan.
Þ Masalah: “Bagaimanakah cara bertobat bagi
pembunuh yang membunuh secara sengaja?”
Jawab: Orang yang membunuh secara sengaja
wajib memenuhi tiga hak; hak Allah, hak orang yang terbunuh, dan hak ahli
warisnya.
Hak Allah dapat terpenuhi dengan taubat.
Sedangkan hak ahli waris adalah dengan ia mendatangi mereka, agar mereka
mengambil hak mereka darinya baik dengan qishas, diyat, atau memaafkan.
Sekarang tinggallah hak orang yang
terbunuh, yang tidak mungkin dipenuhi di dunia. Oleh karena itu, ahli ilmu
berpendapat bahwa jika si pembunuh benar-benar tobatnya, maka Allah akan
mengangkat hak orang yang terbunuh, dan orang yang terbunuh akan diberikan
ganti yang lebih baik dari sisi-Nya, inilah pendapat yang paling bagus. (sebagaimana
diterangkan dalam Al Madaarij 1/299)
Þ Masalah: “Saya merasakan keberatan sekali jika
mendatangi orang yang saya curi hartanya dan tidak berani berbicara secara
langsung. Demikian juga saya tidak berani berbicara untuk meminta maaf, lalu
apa yang harus saya lakukan?”
Jawab: Tidak apa-apa anda mencari jalan
lain karena merasa sangat berat berhadapan langsung. Misalnya anda mengirim hak
orang lain itu melalui seseorang dan anda meminta kepadanya agar tidak
menyebutkan nama anda. Bisa juga mengirimnya lewat pos, bisa juga anda menaruh
barang itu di depan rumahnya secara sembunyi-sembunyi, dan bisa juga anda
mengembalikannya dengan jalan tauriyah, misalnya mengatakan, “Barang-barang
anda ini ada pada seseorang, yang mana orang itu tidak mau disebutkan
namanya..” Yang penting bagaimana caranya barang itu kembali kepada pemiliknya[i].
Þ Masalah: “Saya pernah mencuri uang dari
dompet ayah saya secara sembunyi-sembunyi. Sekarang saya bertobat, dan saya
tidak bisa memastikan berapa jumlah uang yang saya ambil dan saya tidak enak
berbicara langsung dengan ayah saya?”
Jawab: “Perkirakanlah berapa uang yang anda
ambil atau keluarkanlah lebih dari yang anda ambil. Dan tidak mengapa bagi anda
mengembalikan kepada ayah anda secara sembunyi-sembunyi, sebagaimana anda
mengambilnya dahulu secara sembunyi-sembunyi.
Þ Masalah: “Saya mencuri harta orang lain.
Lalu saya bertobat kepada Allah, namun saya tidak mengetahui alamatnya?”
Jawab: Anda harus mencari alamat mereka
semampu anda. Jika anda menemukan alamatnya, maka kembalikanlah dan Al
Hamdulillah. Namun jika pemiliknya sudah meninggal dunia, maka anda bisa
memberikan kepada ahli warisnya. Dan jika anda tidak menemukan alamatnya
setelah mencari-cari, maka sedekahkanlah harta itu, niatkanlah untuk mereka
meskipun mereka itu orang-orang kafir, karena Allah akan memberikan rezeki
kepada mereka di dunia, tidak di akhirat.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madaarijus
Saalikin (1/388) menyebutkan sebuah kisah yang mirip dengan masalah ini
–berikut kisahnya secara singkat-:
Bahwa ada seseorang yang ikut berperang
bersama pasukan kaum muslimin, namun ia melakukan ghulul (pencurian) terhadap
harta ghanimah, setelah sekian lama ia pun sadar dan bertobat. Ia datang kepada
pemimpin pasukan dengan membawa harta ghulul itu, namun pemimpin pasukan enggan
menerimanya dan mengatakan, “Bagaimana mungkin saya akan membagikannya padahal
semua pasukan sudah berpisah!” orang itu pun datang kepada Hajjaj bin Asy
Syaa’ir meminta fatwa. Maka Hajjaj berkata kepadanya, “Wahai saudara,
sesungguhnya Allah mengetahui seluruh pasukan, nama, maupun nasabnya. Maka
berikanlah 1/5-nya kepada yang berhak
mendapatkan seperlima, dan sedekahkanlah sisanya, karena Allah akan
menyampaikan barang itu kepada mereka.” Orang itu kemudian melakukannya.
Mu’awiyah pun diberitahukan tentang fatwa
itu, lalu berkata, “Sungguh, aku berfatwa begitu lebih aku cintai daripada
separuh kerajaanku.”
Þ Masalah: “Saya pernah merampas harta anak
yatim, menperdagangkannya, dan mendapatkan keuntungan dari penjualannya. Harta
itu berkembang menjadi banyak, aku takut kepada Allah dan menyesali perbuatan
itu, lalu apa yang harus aku lakukan?”
Jawab: Tentang masalah ini para ulama
memiliki beberapa pendapat, yang paling pertengahan atau yang paling adilnya
adalah anda kembalikan modal asalnya kepada anak yatim dengan separuh
keuntungannya, sehingga anda dengan anak yatim seakan-akan bersama-sama mendapatkan
keuntungan. Ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan inilah pendapat
yang dipegang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim
dalam Al Madaarij 1/392.
Demikian juga apabila seseorang merampas
binatang ternak misalnya kambing, lalu kambing itu berkembang biak, maka
kambing itu beserta separuh anak-anaknya diberikan kepada yang punya. Dan jika
kambing itu ternyata sudah mati dengan meninggalkan anak-anaknya, maka
dihargakanlah kambing itu berapa harganya, lalu separuh anak-anaknya diberikan
kepada pemiliknya.
Þ Masalah: “Saya pernah membeli mobil dengan
harta yang separuhnya haram. Mobil itu ada di tangan saya sekarang, lalu apa
yang harus saya lakukan?”
Jawab: Anda bisa bersedekah senilai harta
haram yang anda pakai untuk membeli mobil. Dan jika harta haram yang Anda
gunakan untuk membeli mobil itu adalah hak orang lain, maka anda kembalikan
sesuai jumlah yang anda ambil, caranya bisa dengan cara yang bagaimana saja
yang telah disebutkan sebelumnya.
Bersambung...
[i] Ada beberapa pendapat
ulama seputar harta yang haram yang tidak diketahui siapa pemiliknya, sebagai
berikut:
-
Menurut Imam Syafi’i, harta yang
haram itu dijaga sampai tampak jelas siapa pemiliknya.
-
Menurut Fudhail bin Iyadh, bahwa
barangsiapa yang memiliki harta haram yang tidak diketahui siapa pemiliknya,
maka harta tersebut dibinasakan, dilempar ke laut dan tidak dipakai bersedekah,
dan seseorang tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah, kecuali dengan yang
baik.
-
Menurut Ibnu Rajab adalah tetap
disedekahkan, karena membinasakan harta dan menyia-nyiakannya dilarang,
mendiamkannya dapat membuatnya rusak, dan diambil oleh orang-orang zhalim.
Sedangkan menyedekahkannya tidaklah berarti bertaqarub kepada Allah dengan
sesuatu yang jelek, akan tetapi hal itu merupakan sedekah atas nama pemiliknya,
agar ia memperoleh manfaatnya di akhirat karena tidak memperolehnya di dunia.
0 komentar:
Posting Komentar