Ajaran Shufi Dalam Tinjauan Syariat (3)


بسم الله الرحمن الرحيم
Ajaran Shufi Dalam Tinjauan Syariat (Bag. 3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang ajaran tashawwuf dalam timbangan syariat, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Beberapa contoh ajaran Shufi
Dalam Ibadah
19.   Sebagian kaum shufi beranggapan, bahwa beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala tidaklah dilakukan karena takut kepada neraka-Nya dan karena mengharap surga-Nya. Mereka berdalih dengan perkataan yang dinisbatkan kepada Rabi'ah Al 'Adawiyyah, "Ya Allah, jika aku beribadah kepada-Mu karena takut kepada neraka-Mu, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, maka haramkanlah aku memasukinya."
Padahal landasan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla itu tiga; rasa takut (lihat QS. Al An'aam: 15), rasa berharap (lihat QS. Al Anbiya': 90), dan rasa cinta (lihat QS. Al Baqarah: 165).
Bahkan sebagian mereka melantunkan perkataan Abdul Ghani An Nabulisiy,
Barang siapa menyembah Allah karena takut neraka, maka dia telah menyembah neraka.
Barang siapa yang menyembah Allah karena ingin masuk surga, maka dia telah menyembah berhala.
Subhaanallah!
20.      Kaum shufi membolehkan tarian, alat musik, dan mengeraskan suara dalam berdzikr.
Kita semua sudah mengetahui, bahwa dzikr menuntut kehusyuan dan keseriusan. Jika seseorang berdzikr sambil menari dan memainkan musik menunjukkan ketidak-khusyuan dan bermain-main. Pantaskah berdzikr sambil menari dan memainkan alat musik, padahal Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
"Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (Terj. QS. Al A'raaf: 205)
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al A'raaf: 55)
21. Sebagian kaum shufi ada yang berani menyebut-nyebut nama khamr (arak) di masjid.
Penyair mereka yang bernama Ibnul Faridh berkata,
Kami meminum mudamah (salah satu arak) ketika mengingat sang kekasih
Kami dibuat mabuk olehnya sebelum anggur dicipta
Syaikh M. bin Jamil Zainu menyatakan, bahwa dirinya pernah mendengar mereka melantunkan di masjid perkataan ini,
Berilah segelas raah (salah satu arak)
 dan tuangkanlah untuk kami beberapa gelasnya
22. Sebagian kaum shufi menyebut-nyebut kata cumbu-rayu dalam majlis-majlis dzikrnya, mereka ulang-ulang kata hub (cinta), 'isyq (rindu), hawa (keinginan), Laila (nama wanita), Su'aad (nama wanita), dsb.
Padahal tidak pantas majlis dzikr diulang-ulang kata-kata cumbu rayu seperti itu.
23. Kaum shufi mengadakan acara maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu mereka membacakan shalawat buatan, dzikr-dzikr buatan, dan nyanyian-nyanyian.
Acara maulid sendiri tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, belum lagi dengan pembacaan-pembacaan di dalamnya yang terdiri dari shalawat buatan, dzikr buatan, ditambah dengan beberapa nyanyian. Ini semua tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan amalan yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tertolak.
Sedangkan yang pertama kali mengadakan maulid adalah Kaum Syi'ah Bani Fathimiyyah; bukan Shalahuddin Al Ayyubi. Mereka memiliki beberapa maulid, seperti maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain, dan lain-lain  di samping maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan mereka ini sebagaimana diterangkan para ulama adalah orang-orang yang fasik.
24. Sebagian kaum shufi melakukan tour ziarah kubur dengan maksud ibadah, mencari berkah di sisinya, serta melakukan thawaf di sekelilingnya dan berkurban di sana.
Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengadakan perjalan jauh dengan maksud ibadah selain ketiga masjid; Masjidilharam, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha.
25. Sebagian kaum shufi fanatik kepada gurunya meskipun menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah Al Khaliq." (HR. Ahmad dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 7520)
Shufi dan jihad
Kaum shufi kurang peduli terhadap jihad. Menurut mereka, jihad yang paling besar adalah berjihad melawan hawa nafsu, mereka berdalih dengan sebuah hadits palsu yang berbunyi,
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ
"Kita pulang dari jihad yang kecil kepada jihad yang besar."[i]
Ibnu Arabi pernah berkata, "Sesungguhnya Allah apabila memberikan kekuasaan kepada orang yang zalim terhadap sebuah kaum, maka tidak wajib melawannya, karena hal itu adalah hukuman Allah kepada mereka."
Oleh karena itu, Ibnu Arabi dan Ibnul Faridh kedua tokoh besar kaum shufi yang hidup di masa perang Salib tidak terdengar sama sekali dorongan jihad dari keduanya.
Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ النَّاسِ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِه ثُمَّ مُؤْمِنٌ فِي شِعْبٍ مِنَ الشِّعَابِ يَتَّقِي اللَّهَ، وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ
"Sebaik-baik manusia adalah orang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya, kemudian orang mukmin yang berada di salah satu lereng gunung bertakwa kepada Allah dan meninggalkan keburukan manusia." (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Bahkan sebagian tarekat shufi ada yang dipakai musuh Islam sebagai sarana untuk menguasai negeri Islam. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Muhammad Fihr Syaqfah As Suuri dalam kitab "Fit Tashawwuf",
"Menurut kami, termasuk kewajiban yang harus kami lakukan sebagai khidmat kepada hakikat yang sebenarnya dan sejarah adalah kami sampaikan, bahwa pemerintah Perancis pada saat memberikan dorongan menyerang Syiria, berusaha menyebarkan tarekat ini (Tijaniyyah) dan menyewa sebagian syaikhnya untuk tugas ini. Pemerintah Perancis menyiapkan untuk mereka harta dan tempat untuk membentuk generasi yang condong kepada Perancis. Akan tetapi para mujahid Maghrib (Maroko) melihat kepada kesadaran orang-orang yang ikhlas dari penduduk negeri itu akan bahayanya tarekat Tijani, dan bahwa ia adalah kaki tangan para penjajah Perancis yang berkedok dengan agama, maka bangkitlah Damaskus sebagaimana sebelumnya dalam satu kesatuan aksi."
Contoh-contoh pernyataan tokoh-tokoh shufi
Jalaluddin Ar Rumi pernah berkata, "Muslim adalah aku, akan tetapi aku juga Nasrani, Brahmani, dan Zaradasyti. Aku tidak memiliki selain satu sesembahan…masjid, gereja, atau rumah berhala."
Ibnul Faridh berkata, "Sesungguhnya Allah menampakkan diri kepada Qais dengan rupa Laila. Menampakkan diri kepada Kutsayyir dengan rupa Izzah, dan menampakkan diri kepada Jamil dengan rupa Butsainah."
Ibnu Arabi berkata dalam Al Futuhat Al Makkiyyah, "Kadang hadits yang shahih perawinya, diketahui oleh orang yang mendapat kasyf (penyingkapan tabir) yang melihat langsung fenomena itu, ia bisa bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hadits itu, lalu Beliau mengingkarinya dan berkata kepadanya, "Aku tidak pernah mengucapkannya dan memutuskan demikian," ia (orang yang mendapat kasyf) pun bisa mengetahui kedhaifannya dan tidak mengamalkannya dengan hujjah dari Tuhannya, meskipun hadits itu diamalkan oleh Ahli hadits karena shahih jalurnya, padahal sebenarnya tidak."
Jika menghukumi hadits sebagai shahih atau dhaif bisa dilakukan dengan cara demikian, maka betapa banyak hadits yang dilemahkan karena tidak sesuai seleranya, dan apa kegunaan ilmu hadits. Dan sesungguhnya pada pernyataan tersebut secara tidak langsung mencela para Ahli Hadits yang dengan sungguh-sungguh mengumpulkan hadits dan memilahnya antara yang shahih dengan yang dhaif seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain.
Ibnu Arabi pernah berkata dalam kitab Al Fushus, "Sesungguhnya seseorang ketika berhubungan dengan istrinya, sebenarnya sedang berhubungan dengan Al Haq."
An Nabulisi menafsirkan perkataan Ibnu Arabi, bahwa maksudnya menikahi Al Haq.
Abu Yazid Al Busthami mengaku, bahwa dirinya pernah diangkat lalu ditempatkan di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta'ala, lalu Allah berfirman kepadanya, "Wahai Abu Yazid! Sesungguhnya makhluk-Ku ingin melihat dirimu." Maka Abu Yazid berkata,
"Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, pakaikanlah aku dengan kesendirian-Mu, angkatlah aku kepada kesatuan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihatku, maka mereka berkata, "Kami lihat engkau," sehingga Engkau adalah orang itu, dan bukan aku lagi di sini."
Abu Yazid juga pernah berkata tentang dirinya, "Mahasuci aku, mahasuci aku. Betapa agungnya diriku. Surga adalah permainan anak-anak."
Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari semua pernyataan itu. Itu semua adalah wahyu dari setan, namun mereka tidak menyadari.
Kisah Syaikh Abdul Qadir Al Jailani agar menjadi pelajaran bagi kaum Shufi
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani berkata, "Suatu ketika aku sedang beribadah, lalu aku melihat sebuah singgasana besar yang di atasnya ada cahaya, lalu ada yang berkata, "Wahai Abdul Qadir! Saya adalah Tuhanmu, dan Aku telah menghalalkan untukmu semua yang Aku haramkan atas selainmu." Maka aku berkata, "Apakah engkau adalah Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Hinalah wahai musuh Allah!"
Maka cahaya itu segera sirna dan menjadi gelap. Kemudian ada yang berkata, "Wahai Abdul Qadir! Engkau selamat dariku dengan pemahamanmu terhadap agama, ilmumu dan sikapmu dalam beberapa keadaan. Sungguh, aku telah berhasil menyesatkan dengan kisah (kejadian) ini tujuh puluh orang."
Kemudian ada yang bertanya kepada Beliau, "Bagaimana engkau mengetahui bahwa itu setan?" Beliau menjawab, "Yaitu dari perkataannya kepadaku, "Aku halalkan untukmu semua yang Aku haramkan kepada selainmu," padahal aku tahu, bahwa syariat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dapat dihapus dan diganti, dan karena ia mengatakan, "Aku Tuhanmu," dan tidak mampu mengatakan, "Aku adalah Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Aku." (Majmu' Fatawa 1/172)  
Khatimah
Demikianlah pembahasan tentang Shufi yang dapat kami tulis, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, serta menjadikan tulisan ini sebagai sebab kembalinya saudara-saudara kami yang terjatuh ke dalam ajaran shufi kepada ajaran Islam yang shahih; yang sesuai dengan Al Qur'an dan As Sunnah menurut pemahaman generasi pertama umat ini.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, Majmu' Fatawa (Syaikhul Islam Ibnu taimiyah), Ash Shufiyyah fii Mizanil Kitabi was Sunnah (Syaikh M. bin Jamil Zainu), Al 'Aqidatuth Thahawiyyah (Imam Ath Thahawi), Al Fikrush Shufi fii Dhau'il Kitab was Sunnah (Abdurrahman Abdul Khaliq), Al 'Aqidatush Shahihah (Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz), dll.




[i] Yang shahih adalah hadits berikut:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهِدَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ وَ هَوَاهُ
"Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad terhadap jiwa dan hawa nafsunya." (HR. Ibnun Najjar, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1099)
Dan hadits berikut:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
"Jihad yang paling utama adalah berkata yang hak di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Nasa'i, Thabrani, Baihaqi dalam Asy syu'ab, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1100).

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger