بسم
الله الرحمن الرحيم
Ajaran Shufi Dalam Tinjauan Syariat (Bag. 1)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan tentang ajaran tashawwuf dalam timbangan syariat, semoga Allah Azza
wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
amin.
Awal
mula munculnya Shufi
Belum diketahui
kapan pertama kali munculnya shufi dan orang yang pertama kali melakukannya,
hanyasaja Imam Syafi'i ketika memasuki Mesir (th. 199 H) berkata, "Kami
meninggalkan Baghdad, namun orang-orang zindik telah mengadakan sesuatu yang
yang mereka sebut dengan simaa'."
Sima' adalah nyanyian yang mereka lantunkan. Sedangkan
orang-orang zindik yang dimaksud Imam Syafi'i adalah orang-orang shufi.
Pernyataan Imam
Syafi'i di atas menunjukkan, bahwa kegiatan sima' tersebut adalah
kegiatan yang baru pada masa itu, namun tentang orang-orang zindik itu sudah
diketahui sebelumnya oleh Beliau sebagaimana Beliau pernah berkata tentang
mereka,
لَوْ أَنَّ رَجُلاً تَصَوَّفَ
أَوَّلَ النَّهَارِ لاَ يَأْتِي الظُّهْرَ حَتَّى يَكُوْنَ أَحْمَقَ
"Kalau seseorang menjadi shufi di
pagi hari, maka tidaklah ia tiba di waktu Zhuhur melainkan akan menjadi orang
yang dungu."
Ini semua
menunjukkan, bahwa sebelum berakhir abad kedua hijriah ternyata sudah muncul
sekelompok kaum yang para ulama kaum muslimin menyebutnya zindik atau muttashawwif
(orang shufi).
Bahkan Imam
Ahmad -yang sezaman dengan Imam Syafi'i sekaligus sebagai muridnya- memiliki
beberapa perkataan yang mengkritik mereka yang menasabkan diri kepada
tashawwuf. Beliau pernah berkata kepada seorang yang bertanya tentang ucapan Al
Harits Al Muhasibiy, "Menurutku, hendaknya engkau tidak duduk bersama
mereka."
Imam Ahmad
berpendapat demikian, setelah mengetahui keadaan majlis-majlis mereka.
Menurut Syaikh
Abdurrahman Abdul Khaliq, bahwa tampaknya Imam Ahmad mengatakan demikian di
awal-awal abad ketiga, dan belum berakhir abad ketiga ternyata aliran shufi
sudah semakin tampak dan tersebar di tengah-tengah umat.
Menurut Beliau
juga, orang yang memperhatikan perkembangan tashawwuf dari awal munculnya
hingga menyebarnya, akan menemukan, bahwa para pembawa pemikiran shufi ini baik
pada abad ke-3 maupun abad ke-4 hijriah berasal dari Persia.
Dan aliran ini
semakin berkembang pesat di akhir abad ke-3 H, dimana Al Husain bin Manshur Al
Hallaj berusaha menampakkan akidahnya ke tengah-tengah umat, dimana di antara
aqidahnya adalah hulul, yang menyatakan bahwa Allah menyatu dengan
makhluk-Nya –Mahasuci Allah dari keyakinannya itu-.
Oleh karena itu,
para ulama di masanya memfatwakan kafirnya Al Hallaj dan memerintahkan untuk
dihukum mati, dan pada tahun 309 H, ia pun dihukum mati.
Meskipun
demikian, ajaran tashawwuf ini terus berkembang di Persia secara khusus, kemudian
di Irak, lalu perkembangannnya di Persia diperkuat lagi oleh seseorang yang
bernama Abu Sa'id Al Maihaniy, dimana dia membentuk perkumpulan khusus yang
selanjutkan menjadi markaz Shufi dan ia diangkat sebagai pemimpinnya.
Dari sini
kemudian muncul pada pertengahan abad ke-4 H berbagai tarekat sufi yang
tersebar secara pesat di Irak, Mesir, dan Maghribi.
Pada abad ke-6 H
muncul beberapa kelompok shufi, dimana masing-masing mereka mengaku sebagai
keturunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka juga berusaha
membuat tarekat (cara ibadah) khusus dan menarik para pengikut. Maka muncullah
Ar Rifa'i di Irak, Al Badawi di Mesir dimana ia tidak diketahui ibu dan bapak
serta keluarganya, muncul juga Asy Syadziliy di Mesir, lalu bermunculan cabang-cabang
tarekat shufi dari beberapa tarekat sebelumnya.
Pada abad ke-6,
ke-7, dan ke-8 H, aliran shufi ini semakin banyak, dan mereka membuat
kelompok-kelompok khusus, demikian pula membangun kubah-kubah di atas kubur.
Hal ini diperkuat dengan adanya Daulah Bani Fathimiyyah (kaum
Bathiniyyah-Syiah) di Mesir yang kekuasaannya meluas ke negeri-negeri Islam.
Daulah ini yang membangun tempat-tempat ziarah kubur dan kubur-kubur buatan,
seperti kuburan Al Husain bin Ali di Mesir dan kuburan Zainab. Mereka juga
mengadakan beberapa maulid, mengadakan kebid'ahan dan khurafat yang banyak dan
sampai menuhankan Al 'Ubaidiy. Ajakan kaum Bani Fathimiyyah bermula di Maghribi
untuk menjadi pengganti Daulah Abbasiyyah yang sunni.
Daulah ini juga
berusaha mengangkat tentara dari kaum Shufi dan berusaha memerangi dunia Islam
dengan tentara Salib ke negeri Islam.
Perkembangan
shufi terus berlanjut hingga pada abad ke-10, ke-11, dan ke-12 H muncul 10
tarekat shufi, hingga akhirnya akidah serta syariat shufi pun menyebar ke
tengah-tengah umat, dan hal itu terus berangsung hingga muncul kebangkitan
Islam yang baru.
Kebangkitan
Islam ini sebelumnya telah diawali pada akhir abad ke-7 dan awal abad ke-8
melalui tangan Al Mujaddid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyerang dengan
tulisannya berbagai kelompok yang menyimpang serta menerangkan secara garis
besar akidah kaum Shufi, lalu diikuti oleh muridnya Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir,
Adz Dzahabi, Ibnu Abdil Hadiy, dll.
Kekuatan shufi
tetap kuat dan menyebar ke tengah umat, akan tetapi Allah Ta'ala telah
menyiapkan untuk umat ini pada abad ke-12 H Imam Muhammad bin Abdul Wahhab yang
belajar dari kitab-kitab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, lalu ia melawan
berbagai penyimpangan tersebut, dan melalui tangannya muncullah kebangkitan
Islam yang baru. Dan orang-orang yang ikhlas di berbagai penjuru dunia Islam
menyambut dakwahnya. Meskipun demikian, ajaran Shufi masih mengakar di dunia
Islam, dan simbol-simbolnya masih ada, yaitu kuburan, tempat-tempat ziarah,
syaikh-syaikhnya, dan keyakinan-keyakinannya yang rusak.
(Lihat lebih
jelasnya kitab Al Fikrush Shufi fii Dhau'il Kitab was Sunnah karya
Abdurrahman Abdul Khaliq hal. 33 dan Ash Shufiyyah fii Mizanil Kitab was
Sunnah karya M. bin Jamil Zainu hal. 4-7)
Istilah
shufi
Menurut Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, bahwa nisbat Shufiyyah adalah kepada shuuf (wol)
karena ia adalah pakaian orang-orang zuhud pada umumnya. Ada pula yang
mengatakan, bahwa shufiyyah adalah nisbat kepada Shufah bin Mur bin Ad bin
Thabikhah sebuah kabilah Arab yang tinggal di sekitar Baitullah. Adapun orang
yang mengatakan nisbat kepada Shuffah, maka ada yang menyatakan, bahwa haknya
adalah disebut, "Shuffiyyah," demikian pula orang yang mengatakan
nisbat kepada Shafa, haknya adalah disebut "Shafaa'iyyah," kalau
dipendekkan disebut "Shafawiyyah." Jika dinisbatkan kepada shafwah,
maka dikatakan "Shafwiyyah." Jika ada yang mengatakan nisbat kepada
shaf terdepan di hadapan Allah, maka haknya adalah disebut Shaffiyyah. (Lihat Majmu'
Fatawa 10/369)
Menurut Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu, istilah shufi tidaklah dikenal di zaman Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, lalu datang segolongan orang
yang memakai baju shuf (wol), kemudian mereka disebut Shufiyyah (Shufi). Ada
yang mengatakan, bahwa istilah shufi diambil dari kata Shofiya yang artinya
bijaksana, hal ini ketika buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan, dan bukan
dari kata shafaa' seperti yang dikatakan sebagian orang, karena nisbat kepada
shafa' menjadi Shafa'i. (Lihat kitab Ash Shufiyyah karya M. bin Jamil
Zainu hal. 8)
Menurut penulis,
istilah shufi tidaklah tepat digunakan untuk pembahasan penyucian jiwa, karena
dua hal:
Pertama, dari sisi arti shufi itu sendiri, yang artinya bukan
penyucian jiwa, bahkan telah terjadi perbedaan pendapat tentang arti shufi sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya.
Kedua, telah ada kata yang lebih tepat untuk penyucian jiwa,
yaitu tazkiyatunnufus. Dan kata-kata ini disebutkan dalam Al Qur'an, seperti
dalam firman Allah Ta'ala:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي
الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ
مُّبِينٍ
"Dialah yang mengutus kepada kaum
yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As
Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata," (QS. Al Jumu'ah: 2)
Wallahu
a'lam.
Beberapa
contoh ajaran Shufi[i]
Dalam
Akidah
1. Sebagian kaum shufi berdoa kepada
selain Allah Subhaanahu wa Ta'ala, baik kepada para nabi, para wali, orang
hidup, maupun orang mati. Mereka pernah berkata,
يَارَسُوْلَ اللهِ غَوْثًا
وَمَدَد - وَ يَارَسُوْلَ اللهِ عَلَيْكَ الْمُعْتَمَدُ
Wahai
Rasulullah, berilah bantuan dan pertolongan.
Wahai
Rasulullah, kepadamulah tempat bersandar.
Padahal
kita mengetahui, bahwa berdoa kepada selain Alah Subhaanahu wa Ta'ala hukumnya
haram, syirk, dan sebagai dosa paling besar.
2. Sebagian kaum shufi berkeyakinan, bahwa
di samping Allah Ta'ala ada pula yang ikut serta mengatur urusan di alam
semesta, yaitu beberapa wali yang mereka sebut sebagai wali-wali quthub, wali-wali
badal, dsb.
Jelas
sekali, bahwa ini adalah syirk dalam rububiyyah Allah dan sebagai dosa paling
besar.
3. Sebagian kaum shufi berkeyakinan hulul,
yakni manusia dapat menyatu (menitis) dengan tuhan, seperti yang diyakini Al
Hallaj dan Abu Yazid Al Busthami.
Kita
kaum muslim sepakat, bahwa tidak mungkin makhluk menyatu dengan Allah
Subhaanahu wa Ta'ala. Allah Azza wa Jalla adalah Pencipta, sedangkan kita
adalah makhluk ciptaan-Nya. Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata,
نَعْرِفُ رَبَّنَا سُبْحَانَهُ بِأَنَّهُ فَوْقَ
سَمَاوَاتِهِ عَلَى عَرْشِهِ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ
"Kita mengenal Tuhan kita
Subhaanahu wa Ta'ala, bahwa Dia di atas langit (bersemayam) di atas Arsyi-Nya
dan terpisah dari makhluk-Nya."
4. Sebagian kaum shufi berkeyakinan wihdatul
wujud, yakni semua yang terwujud adalah Allah –Mahasuci Allah dari
keyakinan ini-, sebagaimana yang diyakini Ibnu Arabiy. Ibnu Arabi pernah
berkata,
Hamba
adalah tuhan dan tuhan adalah hamba.
Wahai
kiranya aku tahu, siapa orang yang mendapat beban?
Jika
engkau katakan, "Hamba," maka itu adalah hak
Atau
engkau katakan, "Tuhan," lalu bagaimana ia mendapatkan beban?
(Dari
kitab Al Futuhat Al Makkiyyah karya Ibnu Arabi)
Ibnu
Arabiy juga pernah berkata,
Dia
memujiku, aku memuji-Nya
Dia
menyembahku, aku menyembah-Nya
Mahasuci
Allah dari apa yang dia (Ibnu Arabi) sifatkan!
Bersambung…
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi
wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah
versi 3.45, Majmu' Fatawa (Syaikhul Islam Ibnu taimiyah), Ash Shufiyyah
fii Mizanil Kitabi was Sunnah (Syaikh M. bin Jamil Zainu), Al 'Aqidatuth
Thahawiyyah (Imam Ath Thahawi), Al Fikrush Shufi fii Dhau'il Kitab was
Sunnah (Abdurrahman Abdul Khaliq), Al 'Aqidatush Shahihah (Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baaz), dll.
[i] Contoh-contoh ini
banyak kami ambil dari kitab Ash Shufiyyah fii Mizaanil Kitab was Sunnah karya
Syaikh M. bin Jamil Zainu seorang ulama yang sebelumnya pernah tinggal di
lingkungan kaum shufi selama beberapa tahun dan pernah menghadiri beberapa
majlis tarekat.
0 komentar:
Posting Komentar