بسم
الله الرحمن الرحيم
Beberapa Larangan Dalam Jual-Beli
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut
ini beberapa larangan dalam jual-beli agar kita ketahui dan kita jauhi, semoga
Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Disebutkan dalam riwayat, bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkeliling ke pasar dan memukul sebagian
pedagang dengan tongkat kecilnya sambil berkata, "Tidak ada yang boleh
berjual-beli di pasar kita kecuali orang yang telah paham (fiqh jual-beli).
Jika tidak, maka ia akan memakan riba, baik ia menginginkan atau tidak."
Beberapa Larangan dalam jual-beli
1.
Larangan memakan riba.
Riba terbagi dua:
Pertama, riba fadhl, yaitu
tambahan pada salah satu dari alat tukar yang sejenis. Contoh: Seseorang
membeli dari orang lain 1.000 sha' gandum dengan bayaran 1200 sha' gandum, dan
kedua belah pelaku akad melakukan transaksi di majlis akad.
Demikian pula dalam alat tukar sejenis lainnya, yaitu: emas,
perak, gandum, sya'ir, kurma, dan garam. Diqiaskan pula barang-barang yang sama
'illatnya, yaitu sama-sama dipakai alat pembayaran pada emas dan perak, dan
sama-sama ditakar dan ditimbang pada selain emas dan perak.
Kedua, riba Nasi'ah. Yaitu
tambahan pada salah satu dari dua alat tukar sebagai ganti terhadap penundaan
bayaran, atau terlambatnya serah terima pada jual beli barang yang sejenis yang
sama 'ilatnya pada riba fadhl, dimana salah satunya tidak kontan.
Contoh: Seseorang menjual 1000 sha' gandum dengan bayaran 1200
gandum untuk waktu setahun, sehingga tambahan sebagai ganti perpanjangan waktu,
atau menjual satu kilo sya'ir dengan satu kilo bur, namun tidak langsung serah
terima.
Contoh
riba nasi'ah juga
adalah
seseorang meminjam uang kepada orang lain 5000 rupiah, lalu meminta
dikembalikan 5000 lebih. Lebihnya inilah riba.
2.
Larangan berjual beli yang
mengandung jahalah (ketidakjelasan), mengandung gharar (yang luarnya menipu
pembeli, sedangkan bagian dalamnya majhul/tidak jelas), dan tipuan.
3.
Larangan jual-beli kambing (dan
hewan lainnya) dengan bayaran daging.
4.
Larangan menjual kelebihan air.
Air laut, air sungai, dan semisalnya adalah
hak bersama manusia. Dalam hadits disebutkan, bahwa manusia berserikat dalam
hal tiga; dalam hal air, rumput, dan api (HR. Ahmad dan Abu Dawud, Shahihul
Jami' no: 6713) akan tetapi, apabila seseorang mengumpulkannya, atau
menggali sumur pada tanah miliknya, atau menyiapkan alat untuk menyedot air,
maka air itu menjadi miliknya, dan dalam keadaan seperti ini boleh baginya
menjual air itu meskipun lebih utama adalah memberikannya secara cuma-cuma.
Sama seperti ini adalah kayu bakar, jika seseorang mengumpulkannya, maka
kayu-kayu itu boleh ia jual.
5.
Larangan menjual-belikan anjing,
kucing, darah, khamr, patung, dan daging babi.
6.
Larangan jual-beli 'asbul fahl (mani
pejantan).
7.
Larangan mengambil upah (pembayaran)
terhadap jual-beli anjing, terhadap hasil pelacuran, dan hasil perdukunan
seperti yang dilakukan kaum Jahiliyyah.
8.
Larangan menjual dan membeli sesuatu
yang diharamkan Allah Ta'ala, dan larangan memakan upah(bayarannya)nya.
9.
Larangan melakukan najsy,
yaitu adanya orang lain yang bersekongkol dengan penjual yang meninggikan nilai
barang untuk menipu pembeli.
10.
Larangan menyembunyikan cacat pada
barang ketika menjualnya.
11.
Larangan melakukan jual-beli setelah
azan Jum'at dikumandangkan.
12.
Larangan menjual barang yang tidak
ia miliki.
13.
Larangan menjual sesuatu yang baru
ia beli, sampai ia menerimanya.
14.
Larangan menjual emas dengan emas
dan perak dengan perak kecuali seimbang dan kontan.
15.
Larangan ba'atain fii bai'ah
(dua penjualan dalam satu jual beli)[i].
Contohnya seseorang berkata, "Saya jual kepadamu budakku, namun kamu harus
jual kepadaku kudamu."
16.
Larangan salaf wa bai'
(pinjam dan jual). Contohnya: Seorang pembeli berkata, "Saya jual barang
ini kepadamu, namun kamu harus meminjamkan kepadaku barang ini."
17.
Larangan mengadakan dua syarat dalam
jual beli. Contoh: Seseorang penjual mensyaratkan kepada pembeli agar tidak
menjual barangnya dan tidak menghibahkannya.
18.
Larangan terhadap ribh maa lam
yadhman (keuntungan yang muncul dari barang yang bukan miliknya). Ini
termasuk ghasb.
19.
Larangan menjual tumpukan makanan
yang tidak ditakar dan ditimbang dengan makanan yang tidak ditakar dan tidak
ditimbang, demikian pula larangan menjual tumpukan makanan yang tidak ditakar
dan ditimbang dengan makanan yang ditakar dan ditimbang.
20.
Larangan jual-beli hashat,
yaitu jual-beli dengan cara melemparkan batu, maka barang mana saja yang
terkena lemparan batu, berarti barang itu yang dibeli.
21.
Larangan dharbatul ghawwash, yaitu
membayar penyelam dengan bayaran tertentu, baik si penyelam dapat atau tidak,
dan baik si penyelam mendapatkan hasil yang banyak atau sedikit.
22.
Larangan bai'un nataj, yaitu
melakukan akad jual-beli terhadap hewan yang masih dalam kandungan induknya.
23.
Larangan melakukan akad terhadap
susu yang masih di puting hewan.
24.
Larangan seseorang menjual di atas
penjualan saudaranya.
25.
Larangan seseorang membeli di atas
pembelian saudaranya.
26.
Larangan menjual buah sampai jelas
baiknya dan selamat dari musibah. Jual beli ini disebut dengan jual beli mukhadharah
(jual-beli buah yang masih hijau belum jelas baiknya di akhir).
27.
Larangan mulamasah dan munabadzah.
Mulamasah adalah jual-beli yang dianggap jadi dengan sentuhan tanpa
dilihat terlebih dahulu, sedangkan munazabdzah adalah jual-beli yang
dianggap jadi dengan saling lempar-melempar tanpa dilihat terlebih dahulu.
28.
Larangan Muhaqalah dan muzabanah.
Muhaqalah adalah jual beli gandum yang masih dalam bulirnya dengan
gandum yang sudah dibersihkan karena tidak adanya kesamaan. Sedangkan muzabanah
adalah membeli buah dengan kurma yang menempel di pohon[ii].
29.
Larangan mengurangi takaran dan
timbangan.
30.
Larangan jual-beli hewan dengan
hewan secara tempo. Dan boleh yang satu lebih dari yang lain jika langsung
serah-terima.
31.
Larangan menimbun barang ketika
orang-orang sedang membutuhkan.
32.
Larangan melakukan talaqqir
rukban, yaitu menjumpai (dengan membeli barang
dagangan) milik orang yang datang dari luar daerah yang membawa barang-barang
dagangan, padahal mereka belum tiba di daerah tersebut dan belum mengenal harga
pasar, sehingga mereka dirugikan karena barang dagangan mereka dibeli dengan
harga yang rendah. Jika sudah terjadi jual beli ini, maka dianggap sah namun
penjual (orang yang datang dari luar daerah) berhak khiyar (meneruskan atau
membatalkan jual beli).
33.
Larangan bagi orang kota menjualkan
barang orang desa, misalnya orang kota menjadi makelar bagi orang desa.
Misalnya
orang desa atau orang asing datang dari suatu tempat dengan membawa barang
dagangan yang ingin dijual di pasar, maka orang kota tidak boleh mendatanginya
dan mengatakan, “Taruhlah barang daganganmu kepadaku, agar nanti saya jual untukmu.”
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
دَعُوا النَّاسَ يَرْزُقُ اللهُ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ
“Biarkanlah
orang-orang mendapatkan rezeki Allah, sebagiannya dari sebagian yang lain.”
(HR. Ahmad, Muslim, dan empat Imam Ahli Hadits)
Adapun jika orang
desa datang menemui orang kota, untuk memintanya menjualkan barangnya atau
membelikan untuknya, maka tidak dilarang.
34.
Larangan menjual kulit hewan kurban.
35.
Larangan melakukan akad terhadap
bulu yang masih menempel di punggungnya.
36.
Larangan melakukan akad jual-beli
samin yang masih di dalam susu.
37.
Larangan bagi sekutu dalam hal
tanah, pohon, dan semisalnya, menjual bagiannya kepada orang lain sampai ia
tawarkan kepada kawan sekutunya.
38.
Larangan makan dari hasil pembacaan
Al Qur'an, seperti orang yang membacakan Al Qur'an kemudian meminta-minta
kepada manusia karena pembacaannya itu.
39.
Larangan memakan harta anak yatim
secara zalim.
40.
Larangan melakukan judi dan taruhan.
41.
Larangan melakukan ghasb (menguasai
hak/milik orang lain dengan tanpa hak), intihab (merampas), dan ikhtilas
(menjambret).
42.
Larangan melakukan sogokan dan
menerima sogokan.
43.
Larangan melakukan pencurian.
44.
Larangan mencuri ghanimah (harta
rampasan perang).
45.
Larangan memakan harta manusia
dengan jalan yang batil.
46.
Larangan meminjam harta orang lain
dengan niat menghabiskan hartanya dan tanpa ada niat mengembalikan.
47.
Larangan mengurangi hak-hak manusia.
48.
Larangan menyembunyikan luqathah
(barang temuan).
49.
Larangan melakukan ghisy (tipuan)
dengan segala bentuknya.
50.
Larangan mengambil harta seorang
muslim kecuali dengan keridhaannya.
51.
Larangan melariskan dagangan dengan
sumpah palsu.
52.
Larangan menerima hadiah karena sebab
syafaat (bantuan kepada orang lain melalui kedudukannya).
53.
Larangan melimpah-ruahkan harta dan
menyebarkannya ke beberapa tempat yang biasanya membuat seseorang sibuk dan
lalai dari mengingat Allah Azza wa Jalla.
Wallahu
a'lam wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa alihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Al Manhiyyat Asy
Syar'iyyah (M.
bin Shalih Al Munajjid), Mukhtashar Al Kaba'ir, Maktabah Syamilah
versi 3.35, Nailul Awthar (Imam Syaukani), Subulussalam (Imam Ash
Shan'ani), Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), 'Aunul Ma'bud (M. Asyraf Al
'Azhiim Abadiy), dll.
[i] Bisa maksudnya
seperti seseorang yang berkata, "saya jual kepadamu jika tunai Rp. 10.000,
dan jika kredit Rp. 12.000." Hal ini tidak diperbolehkan, jika si pembeli
menerima tawaran itu dalam keadaan masih mubham (belum jelas), tetapi jika seseorang
berkata, "Saya terima yang tunai sekian atau yang kredit sekian,"
maka sah.
[ii] Ada pula yang
menafsirkan, bahwa muzabanah adalah menjual kurma basah dengan kurma kering
yang ditakar, atau menjual anggur dengan kismis yang ditakar, atau menjual
tanaman dengan makanan yang ditakar. Hal ini dilarang karena tidak diketahui
kesamaan.
0 komentar:
Posting Komentar