بسم
الله الرحمن الرحيم
Adakah Bid'ah Hasanah?
(Bag. 2)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut
ini lanjutan pembahasan tentang bid'ah, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan
penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Beberapa contoh bid’ah di tengah-tengah
umat
1.
Mengadakan peringatan maulid Nabi,
peringatan Isra’-Mi’raj, dan peringatan malam Nishfu Sya’ban.
2.
Memperingati milad (ulang tahun)
tertentu.
3.
Tabarruk (ngalap berkah) pada
tempat, atsar (jejak-jejak peninggalan), seseorang baik yang masih hidup atau
sudah meninggal (pada kuburannya).
4.
Melakukan dzikr jama’i.
5.
Membacakan suratul Fatihah untuk ruh
fulan, fulan dan fulan, dan pada kesempatan tertentu.
6.
Mengkhususkan bulan Rajab untuk
umrah dan melakukan ibadah tertentu.
7.
Membaca niat dalam shalat.
8.
Bertawassul dengan jah (kedudukan)
atau hak seseorang.
Syubhat
dan jawabannya
Sebagian
orang yang mengatakan adanya bid'ah hasanah (yang baik) beralasan dengan beberapa
dalil berikut:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ
سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ
بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا،
وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
"Barang
siapa yang mengadakan sunnah yang baik dalam Islam, lalu diamalkan oleh orang
setelahnya, maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang
melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa
yang mengadakan sunnah yang buruk dalam Islam, lalu diamalkan oleh orang
setelahnya, maka akan dicatat dosa atasnya seperti dosa yang orang melakukannya
tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa mereka." (HR. Muslim)
Hadits
ini memiliki sababul wurud (sebab keluarnya), yaitu ketika segolongan
orang Arab badui datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
penampilan yang tidak sedap dipandang dan tampak kekurangan, lalu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan para sahabat bersedekah, kemudian
datang salah seorang Anshar membawa sekantong perak, kemudian diikuti yang lain
dan seterusnya, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda demikian. Hal ini menunjukkan, bahwa maksud
sunnah yang baik dalam hadits tersebut adalah mencontohkan dalam Islam sebuah
sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu diikuti oleh yang lain.
Mengapa dijadikan alasan berbuat bid'ah, padahal lafaznya "sunnah,"
bukan "bid'ah," dimana maksudnya adalah sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, dan lagi orang itu melakukan sebuah sunnah
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu bersedekah kemudian diikuti yang
lain. Tafsir seperti ini ditunjukkan pula dalam hadits Amr bin Auf Al Muzanniy,
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ
سُنَّتِي، فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا
يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً، فَعُمِلَ بِهَا، كَانَ
عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا
شَيْئًا
"Barang
siapa yang menghidupkan salah satu sunnahku, lalu dilakukan oleh manusia, maka
dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa
dikurangi dari pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mengadakan
sebuah bid'ah, lalu dikerjakan oleh yang lain, maka ia akan menanggung dosa
seperti dosa orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa
orang yang melakukannya." (HR. Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih lighairih
oleh Al Albani).
Hadits
ini juga merupakan penjelas terhadap sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, "Mengadakan sunnah yang buruk dalam Islam," bahwa
maksudnya adalah berbuat bid'ah.
Kedua, perkataan Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini," terhadap
praktek shalat tarawih berjamaah di zamannya.
Hal
ini sudah diterangkan sebelumnya, bahwa perkataan bid'ah di sini adalah bid'ah
secara bahasa, bukan secara syara'. Karena arti bid'ah secara syara' adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa dasar dalil. Praktek shalat tarawih secara berjamaah
ini pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau
tinggalkan karena khawatir shalat tersebut diwajibkan. Hal ini berdasarkan
hadits Aisyah radhiyallahu 'anha berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ
نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ
اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: «قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي
صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ
تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
"Bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam suatu malam pernah shalat di masjid,
lalu sebagian orang ikut shalat bersamanya, demikian pula pada malam
selanjutnya. Akhirnya, banyak orang-orang yang ikut shalat bersama Beliau.
Selanjutnya mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar (mengimami mereka). Pada pagi
harinya, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku telah melihat
apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar, selain karena
aku khawatir shalat itu diwajibkan kepada kalian." Hal itu terjadi pada
bulan Ramadhan." (HR. Bukhari)
Bahkan
shalat tarawih berjamaah bersama imam dianjurkan oleh Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam dalam sabdanya,
إِنَّهُ
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya
orang yang melakukan Qiyamullail bersama imam hingga selesai, maka akan
dicatatkan untuknya Qiyamullail semalaman.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu
Majah, serta dishahihkan oleh pentahqiq Jaami’ul Ushuul 6/121).
Ketiga, perkataan Abdullah bin Mas'ud,
مَا رَآهُ
الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
"Apa saja
yang dipandang oleh kaum muslim sebagai sesuatu yang baik, maka di sisi Allah
juga baik."
Maksud
kaum muslim di sini adalah kaum muslim tertentu, karena di sana terdapat "
ال " yang
menujukkan ma'rifat (khusus). Dan kaum muslim yang dimaksud Ibnu Mas'ud adalah
para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini ditunjukkan oleh
perkataan Ibnu Mas'ud sendiri,
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ
لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ
بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ
، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ ، يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ ، فَمَا رَأَى
الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا
فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
"Sesungguhnya
Allah melihat hati para hamba-Nya, lalu Dia mendapati hati Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hati hamba-hamba-Nya yang terbaik, maka
Dia pilih Beliau untuk diri-Nya, lalu Dia mengutusnya dengan membawa risalah-Nya. Kemudian Dia melihat hati para
hamba setelah hati Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Dia mendapatkan
hati para sahabatnya sebagai hati yang paling baik di antara hati
hamba-hamba-Nya. Dia pun menjadikan mereka sebagai pembela Nabi-Nya dan
berperang di atas agama-Nya. Oleh karena itu, apa saja yang dipandang baik oleh
kaum muslim, maka di sisi Allah juga baik, dan apa saja yang mereka pandang buruk,
maka di sisi Allah juga buruk." (Diriwayatkan oleh Ahmad, dan dihasankan
oleh Al Albani).
Bisa
juga huruf " ال "di sini
menunjukkan lil istighraq (umum), yakni ijma' (kesepakatan) kaum muslim
yang termasuk ahlul ijma' (para ulama), dimana ijma' mereka adalah hujjah.
Keempat, perkataan sebagian ulama yang
membagi bid'ah ke dalam beberapa bagian; ada yang wajib, haram, sunat, makruh,
mubah, yang terpuji dan tercela.
Terhadap
pembagian seperti ini, Imam Syathibi berkata, "Pembagian ini adalah
pembagian yang diada-ada, tidak ditunjukkan oleh dalil syar'i, bahkan di
dalamnya terdapat pertentangan, karena hakikat bid'ah adalah yang tidak ditunjukkan
oleh dalil syar'i; tidak oleh nash-nash syariat maupun kaidah-kaidahnya. Hal
itu, karena jika ada dalil dari syara' yang menunjukkan wajib, sunat, atau
mubah, maka itu bukan bid'ah. Bahkan amal itu termasuk ke dalam keumuman amal
yang diperintahkan atau diberikan pilihan. Oleh karena itu, mengumpulkan
perkara yang sifatnya bid'ah dengan suatu perkara yang ada dalilnya yang
menunjukkan wajib, sunat, atau mubah berarti mengumpulkan dua hal yang saling
bertentangan."
Di
samping itu, para ulama yang membagi bid'ah ke dalam beberapa bagian itu,
seperti Al Izz bin Abdussalam, Ash Shan'ani, dan lainnya, adalah orang-orang
yang keras menentang bid'ah.
Syihabuddin
Abu Syamah murid Al Izz bin Abdissalam berkata, "Beliau (Al Izz bin
Abdissalam) adalah orang yang paling pantas disebut khatib dan imam. Beliau
sering menyingkirkan bid'ah yang dilakukan para khatib, seperti menggertak
pedang di atas mimbar dan lainnya. Demikian pula Beliau menyatakan batilnya dua
shalat, yaitu shalat Ragha'ib dan Nishfu Sya'ban, serta melarang
melakukannya." (Thabaqat Asy Syafi'iyyah 8/210).
Imam
Ash Shan'ani dalam Subulussalam berkata, "Tidak ada dalam bid'ah
itu yang terpuji, bahkan semua bid'ah adalah sesat." (Lihat Subulussalam
pada syarah hadits no. 347).
Kalau
pun maksud sebagian ulama tentang bid'ah adalah seperti itu, yakni bahwa bid'ah
dalam agama tidak semuanya sesat dan tercela, bahkan menjadi beberapa bagian;
ada yang terpuji dan ada yang tercela, maka kita tetap tidak boleh
mengedepankan perkataan mereka di atas sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam yang menyatakan, bahwa semua bid'ah adalah sesat. Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma berkata,
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ
حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ. أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
"Hampir
saja kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda," tetapi kalian mengatakan,
"Abu Bakar dan Umar berkata."
Wallahu
a'lam wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa alihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Al Amru bil Ittiba'
wan Nahyu 'anil Ibtida' (Imam As Suyuthiy), Al I'tisham (Imam
Syathibiy), Al Luma' fir Radd 'alaa Muhassinil bida' (Abdul Qayyum As
Suhaibani), At Tauhid Al Muyassar (Abdullah Al Huwail), Aqidatut
Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Al Hidayah fii Masa'il Fiqhiyyah
Muta'aridhah (A. Zakariya), Minhajul Firqatin Naajiyah (M. bin Jamil
Zainu), dll.
0 komentar:
Posting Komentar