بسم
الله الرحمن الرحيم
Sejarah Tahlilan di Tanah Jawa
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan
tentang sejarah tahlilan di Tanah Jawa Indonesia yang
ditulis oleh saudara Sangadji EM, semoga Allah menjadikan salinan (copy) risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Pengantar
Sebenarnya tahlil adalah istilah syar’i yang artinya
ucapan Laailaahaillallah (artinya: tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali
Allah). Namun entah kenapa, istilah ini kemudian dipakai untuk acara yang
dilakukan setelah kematian seseorang (Selamatan Kematian) dengan imbuhan ‘an’
di akhirnya menjadi ‘tahlilan’. Inilah yang kita bahas pada kesempatan kali ini
merujuk kepada tulisan saudara Sangadji EM dengan sedikit editan.
Sejarah Lahirnya Tahlilan di Tanah Jawa
Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta
pengembangan Islam di Pulau Jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah
sembilan, yang populer dengan sebuatan ‘Wali Songo’ atas perjuangan mereka,
berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat
di Demak, Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan
mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan
Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama
bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menanggulangi
masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi
dua aliran yaitu: Aliran Giri dan Aliran Tuban.
Aliran Giri adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden
Paku (Sunan Giri) dengan para pendukungnya seperti Raden Rahmat (Sunan Ampel),
Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak
mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme.
Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini,
harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan
syari'at Islam tanpa reserve (syarat). Karena murninya aliran dalam menyiarkan
dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut Islam Putih.
Adapun Aliran Tuban adalah suatu aliran yang dipimpin
oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu
terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang
sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam.
Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari'at
Islam, maka para wali aliran Tuban berusaha agar adat istiadat Budha, Hindu,
animisme dan dinamisme diwarnai keislaman.
Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih
banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang dipandang "radikal". Aliran
ini sangat disorot oleh Aliran Giri karena dianggap mencampur adukan syariat
Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam Abangan.
Dengan ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Kitab
Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian
untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati
orang yang telah mati (nenek moyang), dan ada aturan yang disebut Yajna Besar
dan Yajna Kecil.
Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian yaitu: Hafiryayajna
dan Somayjna.
1. Somayjna adalah upacara khusus untuk orang-orang
tertentu. Adapun,
2. Hafiryayajna
untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu: Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur Masya,
dan Aghrain.
Dari empat macam tersebut ada satu ajaran yang sangat
berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam yaitu upacara
Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah
mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan
bahwa _manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, akan menjelma lahir
kembali ke dunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma
menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya
selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada di lingkungan rumah
keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang
lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan
upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk
memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma menjadi manusia
yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu
menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh
si fulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan sajian-sajian
berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa,
kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci
oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.
Musyawarah Para Wali
Pada masa para wali di bawah pimpinan Sunan Ampel, pernah
diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi
orang yang telah masuk Islam.
Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku ketua aliran Tuban mengusulkan kepada
majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk
didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu
itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lainnya
sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis
itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi
ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
"Apakah tidak dikhawatirkan di kemudian hari, bahwa
adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau
demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid'ah?”
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan
Kudus sebagai berikut :
"Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali
Jaga"
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat
sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui
usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai
saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama
Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran
Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino (3 hari), mitung dina (7
hari), matang puluh (40 hari), nyatus (100 hari), dan nyewu (1.000 hari).
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja
upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan
dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu
tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar
merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan (memadukan)
ajaran Hindu dalam Islam.
Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran
klenik/aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut *Manunggaling
Kaula Gusti" yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain
sebagainya tidak usah dilakukan._
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi
murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka
kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia
semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Para Ulama aliran Giri yang
terus mempengaruhi para raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
untuk menegakkan syari'at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari
para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran
Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang
agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, di bawah pimpinan raja Amangkurat
I,_ para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta
sebanyak 7.000 orang ulama.
Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran
Giri itu, maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk
menyerang Amangkurat I itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai
pengganti ayahnya, ia membalas dendam terhadap Trunojoyo yang menyerang
pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan
semua kepala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua
keturunan Sunan Giri dihabisi pula.
Dengan
demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen.
Ulama-ulama
yang boleh hidup di masa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau
menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. Maka bertambah suburlah
adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat
Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.
Keadaan
yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulama pun yang
muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama
Pinda Pitre Yajna.
Pada
tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang
berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam kepada sumbernya yaitu Al
Qur'an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat
Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al
Qur'an dan Al Hadits, di mana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid'ah
sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif (mempertahankan kebiasaan) dan
tradisional.
Munculnya
K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat
Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada ajaran Islam, akan tetapi
juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam
menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain.
Akan
tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh
sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah
ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan
Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran
Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas
Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina,
nyatus, dan nyewu.
Pada
tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang
diberi nama "Nahdhatul Ulama" yang disingkat NU.
Pada
Muktamarnya di Makassar, NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain :
"Setiap
acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang
sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat.”
Keputusan
ini tampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU Sehingga semua acara yang
bersifat keagamaan diawali dengan _bacaan tahlilan,_ termasuk acara kematian. Mulai
saat itulah secara lambat laun _upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai
keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sesuai
dengan sejarah lahirnya, istilah Tahlilan dalam upacara kematian, hanya dikenal
di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini.
Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja.
Apalagi
di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh
dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.
Dengan
sudah mengetahui sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai
di atas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah
ajaran Islam, bahkan kita bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang
upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu.
Orang-orang
Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau kepercikan
ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan
keyakinan dan ajaran mereka?
Tidak
cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang sudah
jelas yang kita kerjakan. Kenapa harus ditambah-tambah/mengada-ada. Apakah mereka
beranggapan ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam masih kurang
sempurna?
Mudah-mudahan
setelah kita tahu sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, kita mau
membuka hati untuk menerima kebenaran yang hakiki dan kita mudah-mudahan akan
menjadi orang Islam yang konsekwen terhadap ajaran Allah subhanahu wata'ala dan
Rasul-Nya.
Daftar Literatur :
1. Sejarah
Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia K.H. Saifuddin Zuhn, Al
Ma'arif Bandung 1979.
2. Sunan
Giri, Umar Hasyim, Menara Kudus 1979.
3. Sekitar
Wali Sanga, Solihin Salam, Menara Kudus 1974.
4. Perbandingan
Agama, Drs. Abu Ahmadi Ab. Siti Syamsiyah Solo 1977.
5. Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia, Soekmono, Tri Karya, Jakarta 1961.
6. Soal
Jawab, A. Hasan. Diponegoro Bandung 1975.
7. Hasil
wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar