بسم الله الرحمن الرحيم
Qunut Subuh, ditinjau dari sisi Fiqih dan Hadits
Segala
puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang qunut Subuh ditinjau dari sisi fiqih dan hadits, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Pendapat Para Fuqaha (Ahli Fiqih) Terkait Qunut Subuh
Para ulama berbeda pendapat terkait qunut Subuh yang
dilakukan secara terus-menerus hingga timbul tiga pendapat:
Pendapat pertama, tidak disunnahkan melakukan
qunut Subuh kecuali karena nazilah (musibah yang menimpa kaum muslimin). Pendapat
ini dipegang oleh Ats Tsauri, Abu Hanifah, dan Ahmad. Dan ini pula yang dinukil
dari jamaah para sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Abu
Darda radhiyallahu anhum.
Ibnu
Qudamah berkata, “Tidak disunahkan qunut pada shalat Subuh dan shalat lima
waktu lainnya selain shalat witir. Inilah yang dipegang oleh Ats Tsauri, Abu
Hanifah, dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Abu
Darda.” (Al Mughni 2/114)
Dalil pendapat pertama ini adalah hadits Abu Malik Sa’ad
bin Thariq Al Asyja’I ia berkata,
قُلْتُ لِأَبِي: يَا أَبَةِ،
«إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، هَاهُنَا بِالكُوفَةِ
نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ، أَكَانُوا يَقْنُتُونَ؟» ، قَالَ: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ؟
“Aku pernah
berkata kepada ayahku, “Wahai ayah, sesungguhnya engkau shalat di belakang
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan di
belakang Ali bin Abi Thalib di Kufah ini selama kurang lebih lima tahun, apakah
mereka melakukan qunut?” Ia menjawab, “Wahai anakku. Itu adalah diada-adakan.”
(Hr. Tirmidzi no. 402, Nasa’i no. 164, Ibnu Majah no. 1241, Baihaqi no. 3156,
Ahmad no. 15879, Thabrani dalam Al Kabir no. 8178, dan Ibnu Abi Syaibah
no. 6963, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil no.
435)
Demikian
pula berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata,
قَنَتَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ
وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ،
إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ، يَدْعُو
عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ، عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ، وَيُؤَمِّنُ
مَنْ خَلْفَهُ
“Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan secara
berturut-turut di shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan shalat Subuh di bagian
akhir setiap shalat, yaitu saat Beliau mengucapkan ‘Sami’allahu liman
hamidah’ (artinya: Allah mendengar orang yang memuji-Nya) pada rakaat terakhir,
beliau mendoakan keburukan kepada beberapa suku dari Bani Salim, juga kepada suku
Ri’il, Dzakwan, dan Ushayyah, sedangkan makmum yang di belakang mengaminkannya.”
(Hr. Abu Dawud no. 1445, Baihaqi no. 3098, Ibnu Khuzaimah no. 618, Ahmad no.
2746, Hakim no. 820, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan
Abi Dawud no. 1443)
Hadits
di atas menunjukkan bahwa qunut yang Beliau lakukan karena nazilah, dan itu
dilakukan dalam semua shalat lima waktu, dan ditinggalkan qunut ketika tidak
ada nazilah. Akan tetapi qunut yang sering dilakukan Beliau adalah pada shalat Subuh.
Demikianlah pendapat mayoritas fuqaha dari kalangan Ahli Hadits.
Pendapat kedua, disunahkan terus-menerus melakukan qunut pada shalat
Subuh, inilah pendapat Malik dan Syafi’i.
Dalilnya
adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam senantiasa qunut dalam shalat Subuh sampai meninggal dunia.
(Hr. Baihaqi no. 3105, Daruquthni no. 1694, Ahmad no. 12657, Ibnu Abi Syaibah
no. 312, Abdurrazzaq no. 4964, namun didhaifkan oleh Al Albani dalam Adh Dha’ifah
no. 1238, dan nanti akan dijelaskan kedhaifannya lebih lanjut insya Allah).
Pendapat
ketiga, bahwa qunut sudah mansukh,
karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada awalnya melakukan kemudian
meninggalkan, karena ‘meninggalkan’ menunjukkan dimansuknya (dihapusnya)
perbuatan itu sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada awalnya berdiri
terhadap jenazah, setelah itu Beliau duduk, sehingga sikap ‘duduk’ Beliau
menasakh (menghapus) sikap ‘berdiri’. Ini adalah pendapat segolongan ulama dari
kalangan penduduk Irak.
Hadits
Qunut Subuh
Imam
Tirmidzi membuat bab dalam Sunannya ‘Bab Tentang Qunut Pada Shalat Subuh’, lalu
ia bawakan hadits berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، وَمُحَمَّدُ
بْنُ المُثَنَّى، قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ
عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، «أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ
وَالمَغْرِبِ»
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah dan Muhammad bin Al Mutsanna, keduanya
berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah,
dari Amr bin Murrah, dari Ibnu Abi Laila, dari Barra bin Azib, “Bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut dalam shalat Subuh dan Maghrib.”
Tirmidzi
berkata, “Dalam masalah ini ada riwayat dari Ali, Anas, Abu Hurairah, Ibnu
Abbas, dan Khufaf bin Ima bin Rahdhah Al Ghifari. Hadits Barra adalah hadits
hasan shahih.”
Ia
melanjutkan, “Para ulama berbeda pendapat tentang qunut pada shalat Subuh,
sebagian Ahli Ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan
lainnya berpendapat adanya qunut di shalat Subuh. Ini adalah pendapat yang
dipegang oleh Syafi’i. Namun menurut Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak dilakukan
qunut dalam shalat Subuh kecuali ada bencana yang menimpa kaum muslimin. Ketika
ada bencana (nazilah), maka bagi imam berhak mendoakan kemenangan untuk pasukan
kaum muslimin.” (Sunan Tirmidzi no. 401, dan dishahihkan oleh Al Albani,
dan demikian keadaannya setelah kami periksa (shahih). Hadits tersebut juga
disebutkan oleh Muslim no. 305, Abu Dawud no. 1441, dan Nasa’i no. 1076).
Selanjutnya
Imam Tirmidzi (no. 402) membuat ‘bab tentang meninggalkan qunut’ dan membawakan
hadits dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Malik Al Asyja’i ia berkata,
قُلْتُ لِأَبِي: يَا أَبَةِ،
«إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، هَاهُنَا بِالكُوفَةِ
نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ، أَكَانُوا يَقْنُتُونَ؟» ، قَالَ: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ؟
“Aku pernah
berkata kepada ayahku, “Wahai ayah, sesungguhnya engkau shalat di belakang
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan di
belakang Ali bin Abi Thalib di Kufah ini selama kurang lebih lima tahun, apakah
mereka melakukan qunut?” Ia menjawab, “Wahai anakku. Itu adalah diada-adakan.”
(Dalam riwayat Nasa’i dengan lafaz ‘bid’ah’)
Tirmidzi
berkata, “Hadits ini hasan shahih. Dan inilah yang diamalkan oleh kebanyakan
Ahli Ilmu. Sufyan Ats Tsauri berkata, “Jika seseorang melakukan qunut di waktu
Subuh, maka itu baik. Dan jika tidak qunut juga baik.” Namun ia memilih untuk
tidak qunut. Ibnul Mubarak memandang tidak disyariatkan qunut di waktu Subuh,
sedangkan Abu Malik Al Asyja’i, namanya adalah Sa’ad bin Thariq bin Asy-yam.”
(Hadits
ini dishahihkan pula oleh Al Albani, dan demikianlah keadaannya (shahih)).
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Salamah
bin Abdirrahman, bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata,
وَاللهِ لَأُقَرِّبَنَّ بِكُمْ
صَلَاةَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ
«يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ، وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ، وَصَلَاةِ الصُّبْحِ، وَيَدْعُو
لِلْمُؤْمِنِينَ، وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ»
“Demi Allah,
aku akan memperlihatkan shalat yang mirip dengan shalat Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam. Ketika itu Abu Hurairah qunut di waktu Zhuhur, Isya yang
terakhir, dan shalat Subuh. Ia mendoakan kebaikan bagi orang-orang mukmin dan
melaknat orang-orang kafir.”
Al
Hazimi dalam kitab Al I’tibar berkata, “Ahli Ilmu sepakat untuk
meninggalkan qunut tanpa sebab pada empat shalat lima waktu, yaitu Zhuhur,
Ashar, Maghrib, dan Isya.” Ia juga berkata, “Namun para ulama berbeda pendapat
tentang qunut pada shalat Subuh, tetapi banyak dari kalangan sahabat, tabiin,
dan setelahnya dari para ulama berbagai negeri yang menetapkan adanya qunut
(pada shalat Subuh).” Lalu ia menyebutkan sahabat dan tabiin yang melakukan
demikian. Selanjutnya ia berkata, “Namun banyak pula para ulama yang menyelisihinya
dan menyatakan tidak disyariatkan qunut Subuh. Sebagian mereka memandang, bahwa
pada awalnya disyariatkan lalu dimansukh (dimansuk).”
Menurut
Al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya, bahwa Beliau qunut di shalat Subuh dan Magrib
ini di awal-awal Islam.
(Tuhfatul
Ahwadzi 2/360)
Imam
Syaukani dalam Nailul Awthar berkata, “Berhujjah dengan hadits itu
(qunut Nabi shallallahu alaihi wa sallam di shalat Maghrib dan Subuh) mereka
yang menetapkan qunut di shalat Subuh. Namun dijawab, bahwa tidak ada
pertentangan tentang terjadinya qunut di waktu Subuh. Demikian pula dijawab,
bahwa tidak ada pertentangan tentang dilakukannya qunut oleh Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, bahkan yang dipertentangkan adalah terus-menerusnya
disyariatkan qunut. Jika mereka mengatakan, “Lafaz ‘kaana’ menunjukkan
disyariatkan terus-menerus. Maka kita katakan, ‘Imam Nawawi menukil dari jumhur
(mayoritas) para muhaqqiq (peneliti) bahwa lafaz ‘kaana’ tidak menunjukkan
demikian. Anggaplah kita terima, bahwa hal itu menunjukkan ‘terus-menerus’,
namun hal itu tidak menafikan keadaan Beliau yang kemudian meninggalkan qunut
sebagaimana ditegaskan oleh dalil-dalil yang lain. Baiklah bahwa hadits
tersebut menunjukkan Beliau melakukan qunut di waktu Subuh dan Maghrib, lalu
bagaimana pendapat kalian tentang shalat Maghrib (yakni apakah Beliau juga
terus-menerus qunut di shalat Maghrib) yang juga merupakan jawaban kami
terhadap shalat Subuh. Di samping itu, dalam hadits Abu Hurairah yang telah
disepakati keshahihannya, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan
qunut pada rakaat terakhir shalat Zhuhur, shalat Isya yang terakhir, dan shalat
Subuh, lalu apa jawaban kalian terhadap kandungan lafaz ‘kaana’ di sini. Itulah
jawaban kami. Jika mereka mengatakan, “Namun Daruquthni, Abdurrazzaq, Abu
Nu’aim, Ahmad, Baihaqi, Hakim dan ia menshahihkannya meriwayatkan dari Anas,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى قَاتِلِي أَصْحَابِهِ بِبِئْرِ مَعُونَةَ
ثُمَّ تَرَكَ فَأَمَّا الصُّبْحُ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Bahwa
Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan mendoakan
keburukan kepada para pembunuh sahabatnya di sumur Ma’unah, lalu Beliau
meninggalkannya. Adapun Subuh, maka Beliau senantiasa melakukan qunut sampai
Beliau meninggalkan dunia.”
Memang
bagian awal hadits ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Akan tetapi kalau
hadits di atas shahih tentu menjadi penyelesaian terhadap perselisihan ini.
Akan tetapi hadits tersebut melalui jalan Abu Ja’far Ar Razi, yang tentangnya
Abdullah bin Ahmad berkata, “Tidak kuat.” Ali bin Al Madini berkata,
“Hafalannya bercampur.” Abu Zur’ah berkata, “Ia banyak keliru.” Amr bin Al
Fallas berkata, “Jujur, namun buruk hafalan.” Ibnu Ma’in berkata, “Tsiqah,
namun keliru.” Ad Dauri berkata, “Tsiqah, namun jatuh dalam kekeliruan.” As
Saji berkata, “Jujur namun tidak hati-hati.” Memang dia ditsiqahkan oleh lebih
dari seorang, dan hadits ini memiliki syahid (penguat dari jalan lain), akan
tetapi dalam isnadnya terdapat Amr bin Ubaid yang tidak bisa menjadi hujjah.
Al
Hafizh berkata, “Bertambah keruh lagi dengan riwayat Al Khathib dari jalan Qais
bin Ar Rabi dari Ashim bin Sulaiman,
bahwa kami pernah berkata kepada Anas, “Sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa
Nabi shallallahu alaihi wa sallam senantiasa qunut di waktu Subuh?” Anas
berkata, “Mereka dusta. Beliau melakukan qunut hanya sebulan mendoakan
keburukan kepada salah satu suku bangsa Arab,” namun Qais ini dha’if, tetapi
tidak tertuduh dusta.
Ibnu
Khuzaiman meriwayatkan dalam Shahihnya dari jalan Sa’id, dari Qatadah, dari
Anas, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali
jika meendoakan kebaikan atau keburukan atas suatu kaum. Sehingga hadits-hadits
dari Anas berbeda-beda dan terjadi mudhtharib (keghuncangan), oleh karenanya
tidak bisa dijadikan hujjah ketika seperti ini.”
Jika
hal ini telas jelas bagimu, maka yang benar adalah pendapat mereka yang
mengatakan bahwa qunut hanyalah khusus ketika terjadi bencana/nazilah (yang menimpa kaum muslimin seperti ditindas,
dsb.), dan bahwa ketika qunut nazilah tidak dikhususnya hanya pada satu shalat,
dan telah ada dalil yang menunjukkan demikian seperti
pada hadits Anas dalam riwayat Ibnu Khuzaimah. Dan telah disebutkan hadits Abu
Hurairah dalam riwayat Ibnu Hibban dengan lafaz,
كَانَ لَا يَقْنُتُ إِلَّا
أَنْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ
“Beliau tidak melakukan qunut kecuali jika
mendoakan kebaikan atau keburukan untuk orang lain.”
Hadits
ini asalnya ada dalam Shahih Bukhari.”
Demikianlah
pernyataan Imam Syaukani. (Tuhfatul Ahwadzi 2/360)
Takhrij
hadits Qunut Subuh
Imam
Ahmad dalam Al Musnad no. 12657 berkata,
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ،
قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ يَعْنِي الرَّازِيَّ، عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ،
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: " مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Telah
menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, ia berkata, “Telah menceritakan kepada
kami Abu Ja’far yakni Ar Razi, dari Rabi bin Anas, dari Anas bin Malik ia berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa qunut di shalat Subuh
sampai meninggal dunia.”
Pentahqiq
Musnad Ahmad berkata, “Isnadnya dha’if, Abu Ja’far Ar Razi –namanya adalah Isa
bin Mahan- adalah seorang yang buruk hafalan, dan ia menyelisihi riwayat
orang-orang yang tsiqah terhadap hadits ini dari Anas. Riwayat yang shahih dari
Anas adalah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut
selama sebulan mendoakan keburukan kepada beberapa suku bangsa Arab, yaitu
Ushayyah, Dzakwan, Ri’l, dan Lihyan.” (Lihat no. 12064 di Musnad). Hadits
tersebut juga disebutkan dalam Mushannaf Abdurrazzaq no. 4964. Dari
jalurnya pula Daruqutni (2/39) dan Adh Dhiya dalam Al Mukhtarah no. 2127
meriwayatkan.
Hadits
seperti di atas juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/312, Al Bazzar
(556-Kasyful Astar), Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 1/244, Daruquthni
2/39, Baihaqi 2/201, Baghawi (639), Al Hazimiy dalam Al I’tibar hal 86,
dan Adh Dhiya no. 2128 dari beberapa jalan dari Abu Ja’far Ar Raziy dengan
sanad ini.
Thahawi
1/243 dan Baihaqi 2/202 juga meriwayatkan dari jalan Amr bin Ubaid, dari Al
Hasan, dari Anas ia berkata, “Aku shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, dan Beliau senantiasa qunut dalam shalat Subuh sampai Beliau meninggal
dunia, aku juga shalat bersama Umar bin Khaththab, dan ia senantiasa qunut
dalam shalat Subuh sampai ia meninggal dunia.” Baihaqi menggandengkan Ismail
bin Muslim Al Makkiy dengan Amr bin Ubaid, namun ia berkata, “Kami tidak
berhujjah dengan keduanya.” Kita katakan, “Keduanya sepakat ditinggalkan.”
(Tahqiq
Musnad Ahmad oleh Syu’aib Al Arnauth, Adil Mursyid, dll. Cet. Ar Risalah
20/95)
Tentang
Amr bin Ubaid Al Mu’taziliy, maka ia seorang yang ditinggalkan haditsnya dan
pernah berdusta atas nama Al Hasan. Disebutkan tentang biografinya dalam Tahdzibut
Tahdzib (8/62):
Ibnu
Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya.”
Amr
bin Ali berkata, “Ditinggalkan haditsnya, ia seorang pelaku bid’ah.”
Abu
Hatim berkata, “Ditinggalkan haditsnya.”
Nasa’i
berkata, “Tidak tsiqah, dan tidak dicatat haditsnya.”
Abu
Dawud Ath Thayalisi berkata, “Dari Syu’bah, dari Yunus bin Ubaid, bahwa Amr bin
Ubaid berdusta terhadap Al Hasan.”
Adapun
tentang Ismail bin Muslim Al Makkiy, Imam Ahmad berkata, “Munkarul Hadits.”
Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya.” Ali bin Al Madini berkata, “Tidak
dicatat haditsnya.” Abu Hatim berkata, “Dha’if haditsnya dan bercampur
hafalannya.” Imam Abu Hatim pernah ditanya, “Ismail bin Muslim lebih engkau
sukai atau Amr bin Ubaid?” Ia menjawab, “Keduanya dha’if.” Nasa’i berkata,
“Ditinggalkan haditsnya.” Ibnu Hibban berkata, “Seorang yang dha’if, ia
meriwayatkan hadits-hadits munkar dari orang-orang terkenal dan
membolak-balikkan sanad.” (Lihat Tahdzibut Tahdzib 1/332)
Jalur
lainnya adalah dari jalur Dinar bin Abdullah pembantu Anas, dari Anas, yang lafaznya:
مَا زَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى
مَاتَ
“Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam senantiasa melakukan qunut pada shalat Subuh
hingga wafat.”
Syaikh
Al Albani rahimahullah dalam Silsilah Adh Dha’ifah berkata,
“Diriwayatkan oleh Al Khathib dalam kitab qunutnya. Ibnul Jauziy mengkritiknya
dengan pedas karena hal ini. Hal itu, karena Dinar ini menurut Ibnu Hibban,
“Meriwayatkan dari Anas atsar-atsar yang maudhu (palsu) yang tidak halal
disebutkan dalam berbagai kitab kecuali sambil mencacatkannya.” (3/386)
Di
antara para ulama yang menyatakan bahwa hadits qunut Subuh terus-menerus adalah
dha’if adalah Ibnul Jauzi dalam Al Ilalul Mutanahiyah (1/444), Ibnu
Turkumani dalam ta’liqnya terhadap Al Baihaqi, Ibnu Taimiyah dalam Majmu
Fatawa (22/374), Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (1/99), Al Hafizh
Ibnu Hajar dalam At Talkhishul Habir (1/245), dan Al Albani dalam Adh
Dha’ifah (1/1238).
Pendapat
Yang Rajih (Kuat)
Menurut
penulis, pendapat yang rajih (kuat) insya Allah adalah pendapat yang mengatakan
tidak disyariatkan qunut terus menerus pada saat shalat Subuh karena haditsnya
dha’if dan riwayat yang ada menunjukkan, bahwa Beliau melakukan qunut adalah
karena nazilah (musibah yang menimpa kaum muslimin), dan prakteknya tidak hanya
pada shalat Subuh, tetapi pada semua shalat lima waktu. Inilah pendapat yang
dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Syaukani, Syaikh
Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan dan
lainnya.
Jika
Imam Qunut, apakah kita juga qunut?
Berikut
kami sampaikan pertanyaan yang diajukan ke situs Islamweb.net terkait masalah
di atas:
Pertanyaan
saya berkenaan dengan qunut Subuh adalah bahwa saya berpegang dengan pendapat
orang yang mengatakan bahwa qunut Subuh terus menerus adalah bid’ah. Akan tetap
pertanyaan saya adalah, “Saya tidak mengangkat tangan ketika qunut (karena
banyak dalil yang bukan di sini untuk disampaikan). Akan tetapi apa yang perlu
saya lakukan, yakni apakah saya tetap diam atau mengulang-ulang doa bangun dari
ruku (Rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thayyiba...dst.)? Dan bolehkah bagi
saya memisahkan diri dari imam kemudian menyempurnakan shalat sendiri? Jika
boleh; apakah yang lebih utama tidak memisahkan karena akibatnya ada
pembicaraan dan menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat? Semoga Allah
memberikan berkah pada ilmu Anda?”
Jawab:
Segala puji bagi Allah,
shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, dan
para sahabatnya, amma ba’du:
Qunut
pada shalat Subuh termasuk masalah khilafiyyah dan banyak sekali alasan baik
dari para ulama yang menetapkannya maupun yang meniadakannya. Meskipun
demikian, para ulama sepakat sahnya shalat dalam dua keadaan tersebut; baik
yang qunut maupun yang tidak qunut. Perselisihan mereka hanyalah dalam hal yang
lebih utama.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Pembagian
kedua, masalah yang disepakati para ulama, yakni apabila dilakukan kedua macam
itu, maka ibadahnya sah dan tidak berdosa. Akan tertapi mereka berbeda pendapat
terkait mana yang lebih utama, terkait yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, demikian pula masalah qunut Subuh dan qunut witir,
menjaharkan basmalah, cara isti’adzah, dan lain sebagainya yang termasuk ke
dalam bagian ini. Mereka sepakat, bahwa mereka yang menjaharkan basmalah dan
yang tidak menjaharkan tetap sah shalatnya, yang qunut dan yang tidak qunut
tetap sah shalatnya, demikian pula qunut dalam witir.” (Majmu Fatawa
22/267)
Jika
engkau telah memahami apa yang kami sebutkan, maka ketahuilah bahwa sepatutnya
bagimu untuk mengikuti imammu ketika qunut karena hal ini termasuk masalah
ijtihadiyyah, dan imam itu dijadikan untuk diikuti. Berikut pernyataan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang kami sebutkan sebagai faedah, ia berkata
setelah menguatkan tidak disyariatkan qunut terus menerus pada shalat Subuh,
“Mereka
yang mengatakan bahwa qunut Subuh termasuk sunnnah Ab’adh yang jika
ditinggalkan harus sujud sahwi, maka karena melihat hal itu sunnah yang
dilakukan terus menerus seperti halnya tasyahhud awal dan semisalnya. Namun telah
jelas, bahwa yang tepat tidak demikian. Ia bukan sunnah yang terus-menerus dan
tidak dilakukan sujud sahwi karena ditinggalkannya. Akan tetap orang yang
meyakini demikian karena memahami begitu, maka ia berhak memahami demikian
sebagaimana masalah-masalah ijtihad lainnya. Oleh karena itu, bagi makmum
hendaknya mengikuti imamnya dalam hal yang boleh berijtihad di sana. Ketika imam
qunut, maka ia qunut bersamanya, dan ketika ia tidak qunut, maka ia juga tidak
qunut, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Imam itu dijadikan
untuk diikuti.” Beliau juga bersabda, “Jangan menyelisihinya.” Dan telah
disebutkan dalam hadits Shahih bahwa Beliau bersabda, “Para imam shalat untuk
kalian. Iika mereka benar, maka kalian dan mereka mendapatkan pahala, tetapi
jika jika imam salah, maka kalian mendapatkan pahala dan mereka mendapatkan
dosa.” Bukankah engkau memandang bahwa jika imam membaca di dua rakaat terakhir
surat Al Fatihah dan memperlamanya tentu engkau harus mengikutinya. Adapun mendahului
imam, maka tidak boleh. Jika imam qunut, maka tidak boleh bagi makmum
mendahuluinya, bahkan harus mengikutinya. Oleh karena itu, Abdullah bin Mas’ud
pernah mengingkari Utsman karena melakukan shalat empat rakaat (tidak diqashar)
saar di Mina, namun ia kemudian shalat empat rakaat, lalu ia ditanya mengapa
demikian, maka ia jawab, “Perselisihan itu buruk.” Demikian pula Anas bin Malik
saat ditanya seseorang tentang kapan waktu melempar jamrah, lalu diberitakan
dan ia berkata, “Kerjakan seperti yang dikerjakan imammu. Wallahu a’lam. (Majmu
Fatawa 23/116)
Dari
Imam Ahmad ada riwayat, bahwa makmum cukup diam dan tidak mengikuti imam saat
qunut Subuh.
Dalam
Al Mubdi’ disebutkan, “Abul Husain menyebutkan riwayat tentang orang
yang shalat di belakang orang yang qunut Subuh, bahwa ia cukup diam dan tidak
mengikutinya.”
Yang
rajih (kuat) adalah apa yang kami sebutkan kepadamu bahwa yang disyariatkan
adalah mengikuti imam yang qunut Subuh, tidak diam dan tidak pula
mengulang-ulang doa i’tidal.
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Barang siapa yang shalat di
belakang imam yang qunnut pada shalat Subuh, maka hendaknya ia mengikuti imam
melakukan qunut Subuh dan mengaminkan doanya, dan telah ada nash dari Imam
Ahmad terhadap hal itu.”
Adapun
memisahkan diri dari imam karena ia melakukan qunut Subuh, maka tidak
diperbolehkan sama sekali karena di dalamnya terdapat mafsadat, di samping
karena hal itu sama saja memisahkan tanpa uzur karena hal itu termasuk masalah
Ijtihadhiyyah seperti yang telah engkau ketahui, sedangkan memisahkan diri dari
imam dapat membatalkan shalat menurut kebanyak ulama, lihat fatwa no. 136577.
Marwan bin Musa
Maraji’:
Maktabah Syamilah versi 3.45, ‘Aunul Ma’bud (Muhammad
Asyraf bin Amir Al Azhim Abadi), Tuhfatul Ahwadzi (Abul Ala Muhammad
Abdurrahman Al Mubarakfuri), https://islamqa.info/ar/answers/101015/%D8%A7%D8%AD%D8%A7%D8%AF%D9%8A%D8%AB-%D8%A7%D9%86%D8%B3-%D9%81%D9%8A-%D9%82%D9%86%D9%88%D8%AA-%D8%A7%D9%84%D9%81%D8%AC%D8%B1 , https://www.alukah.net/sharia/0/131322/ (Tulisan
Abdu Rabbish Shalihin Abu Dhaif Al ‘Atmuni), dll.
0 komentar:
Posting Komentar