بسم
الله الرحمن الرحيم
Ikhtishar Ilmu Hadits (10)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut
lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul
Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Hadits
karya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
TAKMILAH (PELENGKAP)
7. Tahammulul Hadits
Tahammulul hadits
Ta’rif (definisi),
syarat, dan macam-macamnya
Tahammulul hadits adalah mengambil hadits
dari orang yang hendak diambil haditsnya.
Syaratnya ada tiga:
a.
Tamyiz (bisa membedakan),
yaitu memahami apa yang disampaikan dan dapat menjawabnya dengan benar. Biasanya
hal ini dimulai pada saat seseorang berusia sempurna tujuh tahun. Oleh karena
itu, tidak sah menerima hadits orang yang belum dapat membedakan karena usianya
yang masih kecil, demikian juga jika hilang tamyiznya karena tua (pikun) atau
lainnya, maka tidak sah menerimanya.
b.
Berakal, sehingga orang
gila dan orang dungu tidak dapat mengambil hadits.
c.
Selamat dari beberapa penghalang. Oleh karena itu,
tidak sah jika mengambil hadits dalam keadaan sangat mengantuk,
sangat berisik,
atau sangat sibuk.
Tahammulul hadits banyak macamnya,
di antaranya:
1.
Mendengarnya dari lafaz guru, yang
paling tinggi adalah yang berupa imla’ (dikte).
2.
Membaca di hadapan guru, dinamakan
juga ‘ardh (dihadapkan).
3.
Ijaazah, yaitu seorang guru
mengizinkan orang lain meriwayatkan darinya, baik izinnya berupa
lafaz maupun tulisan.
Meriwayatkan dengan jalan ijazah adalah sah
menurut jumhur ulama karena dibutuhkan, namun disyaratkan tiga syarat:
Pertama, sesuatu yang
dizinkan diketahui, baik secara ta’yin (ditentukan) seperti mengatakan, “Saya
izinkan kamu meriwayatkan dariku Shahih Bukhari”, maupun secara umum, seperti
mengatakan, “Saya izinkan kamu meriwayatkan dariku semua hadits riwayatku”,
sehingga semua yang telah sah bahwa itu semua termasuk hadits riwayatnya, maka
sah juga disampaikan berdasarkan ijazah yang sifatnya umum.
Namun jika sesuatu yang diiizinkan itu
mubham (tidak diketahui), maka tidak sah meriwayatkannya. Contoh: “Saya izinkan
kamu meriwayatkan dariku sebagian Shahih Bukhari atau sebagian riwayatku”, hal
itu, karena ia tidak mengetahui bagian mana yang
diizinkan.
Kedua, orang yang mendapatkan ijazah (izin)
ada, sehingga tidak sah pemberian izin kepada orang yang tidak ada, baik
mengikutinya maupun berdiri sendiri.
Sehingga jika seseorang berkata,
“Aku beri izin kamu dan kepada anakmu yang akan lahir” atau “saya beri izin
kepada anak yang akan lahir dari si fulan”, maka tidak sah ijazahnya.
Ketiga, orang yang diberi
izin ditentukan orangnya atau sifatnya. Contoh,
“Saya beri izin kamu dan si fulan meriwayatkan hadits-hadits riwayatku,”
atau “saya beri izin bagi para penuntut ilmu hadits meriwayatkan hadits-hadits
riwayatku.”
Jika bentuknya umum, maka ijazahnya tidak
sah. Contoh,
“Saya beri izin kepada semua kaum muslimin untuk meriwayatkan hadits-hadits
dariku.”
Ada
yang mengatakan bahwa orang yang belum ada adalah sah ijazah untuknya,
demikian juga orang yang tidak ditentukan orangnya. Wallahu ‘alam.
8. Adaa’ul hadits
(menyampaikan hadits)
Ta’rif, Syarat
Diterimanya, dan Shighat
(bentuk lafaz yang digunakan)
Adaa’ul hadits maksudnya adalah
menyampaikan hadits kepada orang lain.
Hendaknya meriwayatkan hadits sesuai yang
didengarnya sampai dalam shighat (bentuk
kalimat)
menyampaikan, sehingga tidak boleh dirubah kata “ حَدَّثَنِي ” (telah menceritakan
kepadaku)
dengan “ أَخْبَرَنِي
“ (telah
mengabarkan kepadaku)” atau “ سَمِعْتُ
“ saya
mendengar” dsb. hal itu karena perbedaan maknanya dalam istilah.
Telah dinukilkan dari
Imam Ahmad, bahwa ia berkata, “Ikutilah ucapan guru saat mengatakan “ حَدَّثَنِي ” (telah menceritakan kepadaku), “ حَدَّثَنَا
” (telah menceritakan kepada kami), “
سَمِعْتُ ” (aku
telah mendengar), “ أَخْبَرَنَا ” (telah mengabarkan kepada kami), jangan
melewatinya.”
Untuk diterimanya penyampaian hadits disyaratkan
beberapa syarat, di antaranya:
1.
Berakal, sehingga hadits
tidak dapat diterima dari orang yang gila, orang yang dungu, juga orang yang
sudah hilang tamyiz (kemampuan membedakan) karena tua atau lainnya.
2.
Baligh, sehingga tidak
diterima dari anak kecil, namun ada yang mengatakan, “masih bisa diterima dari
orang yang hampir baligh jika dapat dipercaya.”
3.
Muslim, sehingga tidak
diterima dari orang kafir, meskipun saat menerimanya pertama kali (tahammul) ia seorang muslim.
4.
Adil, sehingga
tidak diterima dari orang fasik, meskipun saat
menerimanya pertama kali (tahammul) ia
seorang yang adil.
5.
Selamat dari beberapa penghalang,
sehingga tidak diterima dari orang yang sangat mengantuk
atau sangat sibuk yang membuat pikirannya kacau.
Shighat dalam penyampaian hadits
maksudnya adalah lafaz yang digunakan dalam menyampaikan hadits.
Hal
ini ada beberapa tingkatan:
Pertama, “ سَمِعْتُ ” (saya mendengar),
“ حَدَّثَنِْيْ “ (telah menceritakan
kepadaku),
apabila ia sendiri yang mendengarnya dari seorang guru.
Jika
ada yang lain, maka digunakan kata-kata “ سَمِعْنَا ” (kami mendengar)
dan “ حَدَّثَنَا ” (telah menceritakan
kepada kami).
Kedua, “ قَرَأْتُ عَلَيْهِ ” (saya telah membacakan kepadanya), “ أَخْبَرَنِي قِرَاءَةً عَلَيْهِ ” (telah mengabarkan
kepadaku secara qiro’ah (dibacakan)), “أَخْبَرَنِي ” (telah
mengabarkan kepadaku) jika ia membaca di hadapan guru.
Ketiga, “ قُرِئَ عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ ” (telah dibacakan
kepadanya dan saya mendengarnya), “ قَرَأْنَا
عَلَيْهِ
” (kami membacakan di hadapannya), “
أَخْبَرَنَا ” (telah
mengabarkan kepada kami) apabila dibacakan kepada seorang guru, dan ia mendengarnya.
Keempat, “ أَخْبَرَنِي إِجَازَةً ” (telah mengabarkan kepadaku sambil
memberikan ijaazah (izin)), “ حَدَّثَنِي
إِجَازَةً
“ (telah menceritakan kepadaku
secara ijazah), “ أَنْبَأَنِي
عَنْ فُلاَن ” (telah memberitakan kepadaku dari fulan), jika
ia meriwayatkan darinya secara ijazah.
Hal ini di kalangan
orang-orang mutaakhkhirin (generasi belakang), adapun di kalangan orang-orang
mutakadimin (generasi awal), mereka memandang bahwa kalimat “ حَدَّثَنِي—أَخْبَرَنِي--أَنْبَأَنِي ” (telah menceritakan
kepadaku, telah mengabarkan kepadaku, dan telah memberitakan kepadaku) adalah
semakna, digunakan kata-kata tersebut jika seorang mendengar dari seorang guru.
9. Kitabatul Hadits (Penulisan hadits)
Ta’rif, hukum, dan sifatnya
Penulisan hadits maksudnya adalah
menukilkannya melalui tulisan.
Hukum menulis hadits asalnya adalah boleh,
karena ia sebagai sarana, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri
mengizinkan Abdullah bin Amr untuk menulis hadits yang didengarnya dari Beliau
(HR. Ahmad dengan isnad hasan). Jika dikhawatirkan ada sesuatu yang dikhawatirkan
syara’, seperti bercampurnya Al Qur’an dengan hadits maka bisa dilarang. Oleh
karena itu, larangan dalam sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,
لَا تَكْتُبُوا عَنِّي، وَمَنْ
كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
“Janganlah kalian menulis sedikit pun selain Al Qur’an, siapa
yang menulis sesuatu selain Al Qur’an, maka hapuslah.” (HR. Muslim dan
Ahmad)
Dibawa maksudnya
seperti itu.
Jika untuk menjaga Sunnah dan menyampaikan
syariat bersandar kepada tulisan, maka menulisnya menjadi wajib. Kepada maksud
inilah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menuliskan haditsnya untuk
orang-orang mengajak mereka kepada Allah Azza wa Jalla dan menyampaikan syariat-Nya.
Dalam Shahihain (shahih Bukhari
dan Muslim) disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah pada tahun penaklukkan Makkah,
lalu seorang yang berasal dari Yaman bernama “Abu Syaah” berdiri dan berkata,
“Buatkanlah cacatan untukku, wahai Rasulullah.” Maka Beliau bersabda,
اُكْتُبُوْا لِأَبِي شَاه
“Buatkanlah catatan
untuk Abu Syaah” yakni (catatan) khutbah yang didengarnya dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sifat penulisannya
harus betul-betul teliti dalam menuliskan hadits, karena ia merupakan salah
satu sarana untuk menukilkan, sehingga harus betul-betul diperhatikan
sebagaimana penukilannya melalui lafaz.
Penulisan hadits ini ada dua sifat; wajib
dan yang dianggap baik.
Yang wajib adalah menuliskan hadits dengan
tulisan yang jelas dan terang agar tidak menimbulkan kemusykilan dan
ketidakjelasan.
Sedangkan yang dianggap baik adalah yang
memperhatikan beberapa hal berikut:
1.
Apabila disebutkan nama Allah,
ditulis “Ta’ala” atau “Azza wa Jalla” atau “Subhaanahu”
atau kalimat pujian lainnya yang tegas tanpa menyingkat.
Jika disebutkan nama Rasul shallallahu
'alaihi wa sallam, maka ditulis “shallallahu 'alaihi wa sallam” atau “alaihish
shalaatu was salaam” dengan jelas ranpa disingkat.
Al ‘Iraqi dalam
syarh Alfiyyahnya tentang Musthalah berkata, “Makruh menyingkat shalawat kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam tulisan yakni seperti menyingkat
dengan dua huruf dsb.” ia juga berkata, “Demikian juga makruh, membuang salah
satunya baik shalawat atau salam, dan hanya menyebutkan salah satunya.”
Apabila
disebutkan nama sahabat ditulis “radhiyallahu 'anhu” (semoga Allah meridhainya),
dan ia tidak mengkhususkan salah satu sahabat dengan pujian atau doa tertentu
yang menjadi syiarnya setiap kali disebutkan namanya, sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah terhadap Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu
ketika disebut namanya, yaitu dengan mengatakan “alaihis salam” atau
“karramallahu wajhah”. Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya hal ini bagian dari
pengagungan dan penghormatan, padahal dua syaikh –yakni Abu Bakar dan Umar-
serta Amirul Mukminin Utsman- lebih layak mendapatkannya.”
Adapun jika
jika ditambahkan kata “shalawat” di samping salam saat menyebutkan Ali
radhiyallahu 'anhu saja, maka hal ini terlarang, apalagi jika dijadikan sebagai
syiar yang selalu diperhatikan, maka
meninggalkannya dalam kondisi seperti ini adalah harus” demikianlah yang
dikatakan Ibnul Qayyim dalam kitab “Jalaa’ul Afhaam”.
Jika disebutkan nama seorang tabi’in dan
orang-orang setelahnya yang berhak didoakan, maka ditulis “rahimahullah” (semoga Allah merahmatinya).
2.
Memberikan isyarat teks hadits
dengan sesuatu yang dapat digunakan untuk membedakan seperti tanda kurung “(
)”, tanda kurung kurawal “ [ ] “ atau lingkaran “ * * “ dsb. agar tidak
tercampur dengan kata-kata yang lain.
3.
Memperhatikan kaidah-kaidah yang
berlaku dalam memperbaiki kekeliruan, yaitu sebagai berikut:
a.
Yang hilang ditambah di salah satu
pinggirnya,
atau di atasnya atau di bawahnya sambil mengisyaratkan tempat yang ditentukannya.
b. Yang lebih (tambahan) dihapus dari awal kata sampai
akhirnya dengan satu tulisan, agar yang di bawahnya tidak terhapus sehingga
menimbulkan kesamaran bagi pembaca. Jika yang lebih (tambahan) itu banyak, maka
ditulis kata “laa” (tidak) sebelum kata pertama dan ditulis “ilaa” (sampai)
pada kata yang terakhir, di atas sedikit dari baris.
c.
Jika tambahannya berupa pengulangan
kata, maka dihapus yang terakhirnya, kecuali jika kata tesebut ada hubungan
dengan kata setelahnya, maka dihapus kata yang pertama. Contoh: diulanginya
kata “hamba” pada kata hamba Allah atau “seorang” pada kata “seorang muslim”,
maka dihapus yang pertama.
d.
Tidak dipisah antara dua kata dalam
dua baris yang jika dipisah dapat menimbulkan makna yang rusak. Misalnya
kata-kata Ali radhiyallahu 'anhu, “Berilah kabar
kepada si pembunuh Ibnu Shafiyyah (yakni Zubair bin Awaam) dengan neraka,”
jangan menaruh kata “berilah kabar gembira kepada si pembunuh” dalam satu
barisan dan “Ibnu Shafiyyah dengan neraka” di barisan yang satunya lagi.
e.
Menjauhi singkatan-singkatan kecuali
sudah masyhur di kalangan Ahli Hadits,
di antaranya:
(ثنا) أو (نا) و(دثنا) digunakan untuk
kalimat “telah menceritakan kepada kami”, dibacanya adalah “haddatsanaa”.
(أنا) أو (أرنا) أو (أبنا) digunakan
untuk kalimat “telah mengabarkan kepada kami”, dibaca “akhbaranaa”.
(ق) digunakan untuk kata “ia berkata”, dibaca “qoola”. Kata “qoola”
umumnya dibuang tanpa disingkat, akan tetapi diucapkan saat dibaca.
Contohnya adalah perkataan Imam Bukhari:
حدثنا أبو معمر: حدثنا عبد الوارث، قال
يزيد: حدثني مطرف بن عبد الله عن عمران، قال: قلت: يا رسول الله فيم يعمل
العاملون؟ قال: "كل ميسر لما خلق له
Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar,
telah menceritakan kepada kami Abdul Warits, Yazid berkata: Telah menceritakan
kepadaku Mutharrif bin Abdullah dari Imran, ia berkata: Aku berkata: “Wahai
Rasulullah, untuk apa orang-orang harus beramal?” Beliau menjawab: “Masing-masing dimudahkan
ke arah sesuatu yang karenanya ia diciptakan.”
Di sini dibuang kata “qoola” antara para perawi, akan tetapi diucapkan
saat dibaca. Contohnya: Bukhari berkata:
حدثنا أبو معمر قال: حدثنا عبد الوارث قال:
قال يزيد: حدثني مطرف... إلخ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul Warits,
ia berkata: Telah
menceritakan kepadaku Mutharrif…dst.”
(ح) digunakan
untuk pindah ke isnad yang lain, jika hadits tersebut memiliki banyak isnad,
baik pemindahan ini di akhir isnad maupun di tengah-tengahnya, dan dibaca
seperti itu, yakni “haa”.
Contoh pemindahan di akhir isnad:
Perkataan Imam
Bukhari:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ، عَنْ عَبْدِ العَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ،
عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ح وحَدَّثَنَا آدَمُ،
قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
Telah
menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim, ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami Ibnu ‘Ulayyah dari Abdul ‘Aziz bin Shuhaib, dari Anas dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam (ح) dan telah menceritakan
kepada kami Adam, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari
Qatadah dari Anas ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sampai aku lebih dicintainya
daripada bapaknya, anaknya dan manusia semuanya.”
Contoh pemindahan di tengah-tengahnya adalah sebagai berikut:
Perkataan Imam Muslim:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا
لَيْثٌ، ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ نَافِعٍ،
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ:
«أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْأَمِيرُ الَّذِي
عَلَى النَّاسِ رَاعٍ، وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ، وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ، وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ
سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, ia
berkata: telah menceritakan kepada kami Laits (ح) dan telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh: Telah menceritakan kepada kami Al Laits
dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau
bersabda, “Ingatlah, masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing
kalian akan diminta pertanggung jawaban tentang orang yang dipimpinnya.
Pemerintah yang memimpin manusia adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung
jawaban terhadap rakyat yang dipimpinnya. Suami adalah pemimpin bagi
keluarganya, dan ia akan diminta pertanggung jawaban tentang orang yang
dipimpinnya. Wanita adalah pemimpin dalam menjaga rumah suaminya dan
anak-anaknya, ia akan diminta pertanggung jawaban terhadap mereka. Budak juga
pemimpin terhadap harta tuannya, dan ia akan diminta pertanggung jawaban
terhadapnya. Ingatlah masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing
kalian akan diminta pertanggung jawaban terhadap orang yang dipimpinnya.”
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi
3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al
Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu
Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu
Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah
ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul
Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh
Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.
0 komentar:
Posting Komentar