بسم
الله الرحمن الرحيم
Ikhtishar Ilmu Hadits (11)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut
lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul
Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Hadits
karya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
TAKMILAH (PELENGKAP)
10. Tadwinul
Hadits (Pembukuan hadits)
Hadits di zaman Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifah rasyidin yang empat belum
dibukukan sebagaimana yang terjadi setelahnya.
Imam Baihaqi
meriwayatkan dalam Al Madkhal dari Urwah bin Az Zubair bahwa Umar bin
Khaththab radhiyallahu 'anhu ingin mencatat sunnah-sunnah, lalu ia
bermusyawarah dengan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
lain dan mereka pun mengusulkan agar dicatat, maka Umar mulai beristikharah
untuk hal itu selama sebulan dan pada pagi harinya ia diberikan sikap teguh
oleh Allah Ta’ala, ia berkata, “Sesungguhnya aku hendak mencatat sunnah-sunnah,
namun aku ingat sebuah kaum sebelum kalian, mereka mencatat banyak buku dan
menekuninya, lalu mereka tinggalkan kitab Allah. Sedangkan aku, demi Allah, tidak
akan mencampurkan kitab Allah dengan sesuatu apapun untuk selamanya.”
Pada masa khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz
rahimahullah, dimana ia khawatir hadits akan hilang, maka Umar menulis surat
kepada hakimnya di Madinah, yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin
‘Amr bin Hazm, yang isinya, “Lihatlah mana
hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu catatlah, karena aku khawatir
ilmu akan hilang dan ulama akan pergi. Jangan kamu terima selain hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan agar kamu menyebarkan ilmu, duduk
(mengajar) sehingga orang yang tidak mengetahui menjadi tahu, karena ilmu tidak
akan hilang hingga menjadi tersembunyi.”
Lalu dikirim juga surat ke tempat-tempat
yang lain, kemudian diperintahkan kepada Muhammad bin Az Zuhri untuk
membukukannya.
Oleh karena itu, orang pertama yang
menyusun buku hadits adalah Muhammad bin Syihab Az Zuhriy atas perintah Amirul
Mukminin Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahumallah, hal itu terjadi pada akhir
abad pertama hijriah, lalu orang-orang mengikutinya, dan cara mereka menyusun
hadits bermacam-macam.
Beberapa cara penyusunan hadits
Cara penyusunan hadits ada dua macam:
1.
Menyusun Ushul
(sumber utama)
Yakni hadits yang ada di dalamnya
disebutkan sanadnya oleh penyusun hingga akhir sanad, hal ini ada beberapa
macam, di antaranya:
a.
Menyusun sesuai juz’-juz’
(masalah-masalah), yakni dengan menulis pada setiap bab di
antara beberapa bab
ilmu ‘juz’
tertentu yang berdiri sendiri. misalnya untuk bab shalat ada juz tertentu,
untuk bab zakat ada juz tertentu dst. Disebutkan bahwa cara seperti inilah yang
dilakukan oleh Az Zuhri dan ulama yang semasanya.
b.
Menyusun sesuai bab, yakni dengan
menjadikan dalam satu juz’ ada lebih dari satu bab, dan diurutkan sesuai tema,
seperti urutan bab-bab fiqh atau lainnya. Contohnya adalah seperti yang
dilakukan oleh Bukhari dan Muslim serta para pemilik kitab sunan.
c.
Menyusun dengan cara musnad, yakni
dengan mengumpulkan hadits-hadits pada masing-masing sahabat secara terpisah. Misalnya
pada Musnad Abu Bakar, lalu disebutkan semua hadits yang diriwayatkan dari Abu
Bakar, pada Musnad Umar disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Umar
dst. Contohnya adalah seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.
2.
Menyusun furu’ (cabang-cabang)
Penyusunnya menukil dari kitab-kitab yang
menjadi sumber utama (ushul) dengan menyebutkan sumbernya,
namun tanpa isnad. Hal ini pun sama ada beberapa cara, di antaranya:
1.
Penyusunan sesuai bab, seperti Bulughul
Maram karya Ibnu Hajar Al ‘Asqalaani, Umdatul Ahkaam karya Abdul Ghaniy Al Maqdisiy.
2.
Penyusunan yang diurutkan
berdasarkan huruf, seperti Al Jaami’ush Shaghiir karya As Suyuthiy.
Dan
cara lainnya yang cukup banyak sesuai pandangan Ahli
Hadits
yang lebih dapat mencapai maksud dan mewujudkannya.
11. Sahabat
Ta’rif
(Definisi) sahabat, Keadaan Sahabat, Sahabat Yang Terakhir Wafatnya dan Manfaat
Mengetahuinya serta Sahabat Yang Paling Banyak Meriwayatkan Hadits
Sahabat adalah orang yang berkumpul bersama
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau melihatnya dalam keadaan mukmin dan
meninggal di atas iman.
Oleh karena itu termasuk ke
dalamnya orang yang murtad dari Islam lalu kembali ke Islam lagi, seperti Al
Asy’ats bin Qais, dimana ia murtad setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, lalu ia dibawa dalam keadaan tertawan ke hadapan Abu Bakar, kemudian ia
bertaubat dan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu menerima taubatnya.
Dan tidak termasuk ke dalam sahabat orang
yang beriman kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di masa hidupnya, namun
tidak berkumpul bersamanya seperti Raja Najasyi, demikian pula
orang yang murtad dan meninggal di atas murtadnya seperti Abdullah bin Khathal
yang dibunuh pada saat penaklukkan Makkah, serta Rabi’ah
bin Umayyah bin Khalaf yang murtad di zaman Umar dan meninggal di atasnya.
Sahabat jumlahnya banyak, tidak mungkin
dapat dipastikan berapa jumlahnya, akan tetapi jika berdasarkan
perkiraan, mereka berjumlah 114.000 orang.
Keadaan Sahabat
Sahabat semuanya tsiqah (terppercaya) dan
adil, riwayat salah seorang di antara mereka adalah diterima meskipun majhul
(tidak diketahui namanya). Oleh karena itu, Ahli
Hadits
berkata, “Majhulnya sahabat tidak bermasalah.”
Dalil tentang keadaan
sahabat seperti yang disebutkan adalah karena Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
shallallahu alaihi wa sallam memuji mereka dalam banyak nash, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam menerima perkataan salah seorang di antara mereka ketika
Beliau mengetahui bahwa ia muslim, dan Beliau tidak bertanya tentang
keadaannya.
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma bahwa seorang Arab baduwi datang kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya aku melihat hilal, -maksudnya hilal
satu Ramadhan-. “
Beliau bertanya,
“Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah selain Allah?” Ia menjawab,
“Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Ia
menjawab,
“Ya.” Maka Beliau bersabda, “Wahai Bilal,
beritahukanlah orang-orang agar besok mereka berpuasa.” (HR. Lima
orang Ahli Hadits, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban)
Sahabat Yang
Terakhir Meninggalnya Secara
Mutlak
Sahabat yang terakhir meninggalnya secara
mutlak adalah ‘Amir bin Watsilah Al Laitsiy yang meninggal di Makkah tahun 110
H, ia adalah sahabat yang terakhir meninggal di Makkah.
Sahabat yang terakhir meninggal di Madinah
adalah Mahmud bin Ar Rabi’ Al Anshaariy Al Khazrajiy, ia meninggal tahun 99 H.
Sahabat yang terakhir meninggal di
Syam-yakni di Damskus- adalah Watsilah bin Al Asqa’ Al Laitsi
yang meninggal pada tahun 86 H.
Sahabat yang terakhir
meninggal di kota Himsh adalah Abdullah bin Busr Al Maaziniy tahun 96 H.
Sahabat yang terakhir
meninggal di Basrah adalah Anas bin Malik Al Anshaariy Al Khazrajiy, yang
meninggal pada tahun 93 H.
Sahabat yang terakhir meninggal
di Kufah adalah Abdullah bin Abi Aufa Al Aslami, yang meninggal pada tahun 87
H.
Sahabat yang terakhir
meninggal di Mesir adalah Abdullah bin Al Haarits bin Juz’ Az Zubaidiy, yang
meninggal pada tahun 89 H.
Tidak ada satu pun sahabat yang meninggal
setelah tahun 120, hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhuma, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam shalat bersama kami di akhir hayatnya, setelah Beliau salam, Beliau
berdiri dan bersabda,
«أَرَأَيْتَكُمْ
لَيْلَتَكُمْ هَذِهِ، فَإِنَّ رَأْسَ مِائَةِ سَنَةٍ مِنْهَا، لاَ يَبْقَى مِمَّنْ
هُوَ عَلَى ظَهْرِ الأَرْضِ أَحَدٌ»
“Tahukah kalian malammu ini, sesungguhnya akhir seratus tahun (sejak ini)
tidak ada lagi seorang pun yang tinggal di atas bumi
ini di antara orang-orang yang ada hari ini.” (Muttafaq
'alaih)
Hal itu
diberitahukan sebulan sebelum wafatnya Beliau sebagaimana diriwayatkan oleh
Muslim dalam hadits Jabir.
Di antara manfaat mengetahui
sahabat yang terakhir meninggal adalah:
Pertama, orang yang lewat dari waktu terakhir yang
disebutkan di atas, maka tidak diterima pengakuannya sebagai sahabat.
Kedua, orang yang belum mencapai usia
tamyiz sebelum batas akhir di atas, maka
riwayatnya dari sahabat adalah munqtahi’ (terputus).
Sahabat Yang
Banyak Meriwayatkan Hadits
Di antara para sahabat
ada beberapa orang yang banyak meriwayatkan hadits sehingga banyak sekali
diambil haditsnya. Para sahabat yang meriwayatkan lebih dari seribu hadits
adalah:
1.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
hadits yang diriwayatkan darinya berjumlah 5.374
hadits.
2.
Abdullah bin Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhuma, hadits yang diriwayatkan darinya berjumlah 2.630
hadits.
3.
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu,
hadits yang diriwayatkan darinya berjumlah 2.286
hadits.
4.
Aisyah radhiyallahu 'anha, hadits
yang diriwayatkan darinya berjumlah 2.210 hadits.
5.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu
'anhuma, hadits yang diriwayatkan darinya berjumlah 1.660
hadits.
6.
Jabir bin Abdullah radhiyallahu
'anhuma, hadits yang diriwayatkan darinya berjumlah 1.540
hadits.
7.
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu 'anhu,
hadits yang diriwayatkan darinya berjumlah 1.170 hadits.
Tidak mesti banyaknya hadits yang
diriwayatkan dari mereka menunjukkan bahwa mereka orang yang paling banyak
mengambil hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam daripada yang lain.
Sebab sedikitnya hadits dari sahabat adalah karena beberapa sebab di antaranya
karena sudah meninggal lebih dulu seperti Hamzah radhiyallahu 'anhu paman Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, atau sibuk dengan
urusan yang sangat penting seperti Utsman radhiyallahu 'anhu,
atau karena sebab keduanya seperti Abu Bakar, Beliau lebih meninggal terlebih
dulu dan sibuk mengurus khilafah atau sebab lainnya.
12. Mukhadhram
Mukhadhram adalah orang yang beriman kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di masa hidup Beliau, namun tidak sempat
bertemu dengan Beliau.
Mukhadhram adalah satu lapisan atau kelompok
tersendiri antara sahabat dan tabiin, ada yang mengatakan, “Bahkan mereka
adalah tabiin besar.”
Sebagian ulama ada yang menyebutkan
jumlahnya hampir mencapai 40 orang, di antaranya: Al Ahnaf bin Qais, Al Aswad
bin Yazid, Abdullah bin ‘Aqim, ‘Amr bin
Maimun, Abu Muslim Al Khaulaaniy, dan Najaasyi Raja
Habasyah.
Hadits orang mukhadhram jika seperti mursal
tabiin,
maka ia munqathi’ (terputus), tentang diterima tidaknya seperti mursalnya
seorang tabiin yang masih dalam khilaf.
13. Tabiin
Tabiin adalah orang yang bertemu sahabat
dan beriman kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam serta wafat di atasnya.
Para tabiin jumlahnya banyak, tidak mungkin
dijumlahkan. Namun mereka ada tiga lapisan; Kubraa (besar), Shugraa (kecil) dan
di antara keduanya (wusthaa).
Tabi’in Kubra adalah tabi’in
yang kebanyakan riwayatnya berasal dari para sahabat, seperti Sa’id bin Al
Musayyib, Urwah bin Az Zubair, dan ‘Alqamah bin
Qais.
Tabiin Shughra adalah tabiin yang
kebanyakan riwayatnya berasal dari tabi’in, mereka tidak bertemu sahabat
kecuali sedikit saja, seperti Ibrahim An Nakha’iy, Abuz Zanad,
dan Yahya bin Sa’id.
Tabiin
Wustha
adalah tabiin yang riwayatnya berasal dari para sahabat dan tabi’in besar,
seperti Al Hasan Al Basri, Muhammad bin Sirin, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, Asy
Sya’biy, Az Zuhriy, ‘Athaa’, Umar bin Abdul ‘Aziz,
dan Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi
3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al
Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu
Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu
Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah
ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul
Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh
Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.
0 komentar:
Posting Komentar