بسم
الله الرحمن الرحيم
Ikhtishar Ilmu Hadits (7)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut
lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul
Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Hadits
karya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
2.
Dari sisi kepada siapa dinisbatkan
a. Qudsi (Disandarkan kepada Allah Azza wa Jalla),
Hadits Qudsi adalah
hadits yang diriwayatkan
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
Disebut juga hadits Rabbani atau Ilaahiy. Contohnya adalah sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang Beliau riwayatkan dari Rabbnya,
bahwa Allah berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ
إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي
فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ
تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ
بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Aku
mengikuti persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, Aku bersamanya saat ia menyebut
nama-Ku. Jika ia menyebut nama-Ku dalam dirinya, maka Aku menyebut namanya
dalam diriku. Jika ia menyebut nama-Ku di keramaian, maka Aku akan menyebutnya
di keramaian yang lebih baik daripadanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Kedudukan hadits Qudsi dengan Al Qur’an dan hadits Nabawi
adalah sebagai berikut:
- Al Qur’an
disandarkan kepada Allah Ta’ala baik lafaz maupun maknanya, sedangkan
hadits Nabawi disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik
lafaz maupun maknanya.
- Hadits Qudsi
disandarkan kepada Allah Ta’ala maknanya, tidak lafaznya[i]. Oleh karena itu, tidak bisa dipakai beribadah
dengan membaca lafaznya, tidak dibaca dalam shalat, demikian juga tidak
dipakai untuk menantang (orang-orang kafir).
- Hadits qudsi
tidak diriwayatkan secara mutawatir sekali seperti halnya Al Qur’an,
bahkan di antara hadits qudsi itu ada yang shahih, dha’if maupun maudhu’
(palsu).
b. Marfu (Disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
Marfu’ adalah hadits yang
disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Marfu’ terbagi menjadi
dua bagian; Marfu’ Sharih (tegas) dan Marfu’ Hukmi (dianggap marfu’).
1. Marfu’ Sharih adalah hadits yang
disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri baik berupa
sabdanya, perbuatannya, taqrirnya, sifat akhlaknya maupun sifat fisiknya.
Contoh yang berupa sabda adalah sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak kami
perintahkan, maka amalan itu tertolak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Contoh yang berupa
perbuatan adalah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila masuk ke
rumahnya bersiwak terlebih dahulu (Hr. Muslim no. 253).
Contoh taqrir Beliau adalah persetujuan
Beliau terhadap jawaban seorang budak wanita yang ditanya Beliau, “Di mana
Allah?” ia menjawab: “Di atas langit.” Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
menyetujui kata-katanya (Hr. Muslim no. 537).
Demikian juga semua perkataan atau
perbuatan (orang lain) yang diketahui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
tidak diingkarinya, maka hadits tersebut disebut marfu’ sharih yang disebut
taqrir.
Contoh sifat akhlak Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam adalah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
manusia paling dermawan dan paling berani. Tidak ada seorang yang meminta lalu
dijawab “tidak”, Beliau selalu ceria, memudahkan orang dan lembut. Tidaklah
dihadapkan kepada Beliau dua masalah, kecuali Beliau akan memilih yang paling
ringannya, kecuali jika di sana ada dosa, maka Beliau adalah orang yang paling
jauh darinya.
Contoh sifat fisiknya adalah bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam berfisik sedang; tidak tinggi dan tidak pendek,
lebar bahunya, memiliki rambut sepanjang ujung telinga, kadang sampai ke
bahunya, bagus janggutnya dan ada beberapa helai yang beruban.
2. Marfu’ Hukmi adalah hadits yang
dihukumi sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan hadits ini ada
beberapa macamnya, yaitu:
Pertama, ucapan sahabat yang tidak
mungkin berdasarkan pendapatnya, bukan merupakan
tafsir, dan yang mengucapkannya tidak dikenal mengambil dari cerita-cerita
Israiliyyat (Bani Israil). Misalnya berita tentang tanda-tanda
kiamat, keadaan hari Kiamat,
dan tentang balasan terhadap amal.
Jika berdasarkan pendapatnya, maka khabar
tersebut disebut mauquf.
Dan jika sebagai tafsir, maka asalnya
adalah bahwa ia memiliki hukum sendiri, dan tafsir adalah mauquf.
Jika orang yang mengucapkannya terkenal
sering mengambil dari cerita-cerita Israiliyyat, maka khabar tersebut bisa
sebagai cerita israiliyyat dan bisa sebuah hadits yang marfu’, namun
belum bisa dihukumi bahwa khabar atau berita tersebut adalah hadits,
karena adanya keraguan di sana.
Para ulama menyebutkan
bahwa ‘Abaadilah,
yakni Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Az Zubair, Abdullah bin Umar bin
Khaththab,
dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aash mengambil berita dari orang-orang alim bani
Israil, seperti dari Ka’ab Al Ahbaar atau yang lainnya.
Kedua,
perbuatan
sahabat jika tidak mungkin berdasarkan pendapat. Misalnya
shalatnya Ali radhiyallahu 'anhu pada saat kusuf (gerhana) lebih dari dua kali
ruku dalam setiap rakaat.
Ketiga, seorang sahabat menyandarkan sesuatu
kepada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak disebutkan bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahuinya. Misalnya kata-kata Asma’ binti Abu
Bakar radhiyallahu 'anha, “Di zaman Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, kami menyembelih seekor kuda, ketika itu kami
berada di Madinah, lalu kami memakannya.”
Keempat, seorang sahabat berkata tentang
sesuatu, “Termasuk Sunnah”. Misalnya ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu,
“Termasuk sunnah menyamarkan (suara) tasyahhud”, yakni
dalam shalat.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Jika yang mengucapkannya adalah seorang
tabi’in, ada yang berpendapat bahwa hadits tersebut marfu’ dan ada yang
berpendapat bahwa hadits tersebut adalah mauquf. Contohnya ucapan Ubaidullah
bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, “Sunnahnya adalah seorang imam berkhutbah
dalam ‘Idain (Idul Fitri dan Idul Adh-ha) dua kali, ia pisah
dengan duduk.”
Kelima, ucapan sahabat, “Kami diperintahkan” atau “Kami dilarang” atau
“orang-orang diperintahkan,” dsb. seperti ucapan Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu
'anha: “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan para gadis dalam shalat ‘Idain,”
demikian juga kata-katanya, “Kami dilarang mengiringi jenazah, namun tidak
diperkeras”, juga pada perkataan Ibnu Abbas, “Orang-orang diperintahkan agar
kewajiban (hajji) mereka yang terakhir adalah thawaf di Baitullah,” dan pada
kata-kata Anas, “Ditetapkan bagi kami waktu untuk memotong kumis, menggunting
kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, yaitu tidak lebih dari
empat puluh hari.” (Hr. Muslim)
Keenam, seorang sahabat menghukumi suatu
perbuatan sebagai maksiat. Seperti ucapan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
tehadap orang yang keluar dari masjid setelah azan,
“Adapun orang ini, maka sesungguhnya ia telah bermaksiat kepada Abul Qasim
(Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).” (Hr. Muslim)
Demikian juga jika seorang sahabat
mengukumi sesuatu sebagai ketaatan. Karena sesuatu tidak bisa menjadi maksiat
atau ketaatan kecuali dengan nash dari syara’, dan seorang sahabat tidaklah
memastikannya kecuali setelah memiliki ilmu tentangnya.
Ketujuh, ucapan perawi hadits tentang
sahabat, “Bahwa dia telah memarfu’kan hadits” atau “secara riwayat”. Contohnya
ucapan Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata,
“Kesembuhan itu ada pada tiga; minum madu, goresan bekam,
dan kay (menggunakan besi panas), namun aku melarang umatku
melakukan kay.” Ia memarfu’kan hadits itu. Atau pada ucapan
Sa’id bin Al Musayyib dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara riwayat,
“Fithrah itu ada lima atau lima macam fitrah; khitan, mencukur bulu kemaluan,
mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis.”
Demikian
juga jika mereka menyebutkan tentang sahabat, “يأثر الحديث ” (Ia mengatsarkan hadits),
atau “ ينميه ” (menisbatkan hadits)
atau “ يبلغ به ”menyampaikan hadits” dsb. kata-kata
demikian memiliki hukum marfu’ yang sharih, meskipun tidak sharih
dihubungkannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi kata-kata
tersebut memberi kesan demikian.
c. Mauquf
Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat,
namun tidak memiliki hukum marfu’. Contohnya adalah ucapan Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu: “Dapat merobohkan Islam ketergelinciran orang alim, debat
orang munafik terhadap kitab (Al Qur’an), dan keputusan para imam yang
menyesatkan.”
d. Maqthu
Maqthu’ adalah hadits yang disandarkan
kepada tabiin dan di bawahnya.
Contohnya adalah ucapan Ibnu Sirin,
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, lihatlah dari siapa kalian mengambil agama
kalian.”
Demikian pula ucapan Imam Malik,
“Tinggalkanlah amalan yang biasa dilakukan secara rahasia, dimana jika kamu
melakukannya secara terang-terangan tidak pantas.”
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi
3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al
Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu
Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu
Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah
ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul
Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh
Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.
[i] Namun yang rajih
adalah bahwa hadits qudsi lafaznya juga dari Allah Ta’ala di samping maknanya. Sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Shalih Aalusy Syaikh dalam Syarh Al Arba’in.
0 komentar:
Posting Komentar