بسم
الله الرحمن الرحيم
Ikhtishar Ilmu Hadits (4)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut
lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul
Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Hadits
karya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Hadits Mardud
2.5.6 Mursal Khafi, yaitu seorang
meriwayatkan hadits dari orang yang pernah ditemuinya, atau sezaman dengannya
namun ia tidak mendengar hadits itu darinya, dan ia menggunakan kata-kata yang
mengandung kemungkinan mendengar seperti ‘ia berkata’.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari jalan Umar bin Abdul Aziz dari Uqbah
bin Amir secara marfu (sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam),
«رَحِمَ اللَّهُ حَارِسَ الْحَرَسِ»
“Semoga
Allah merahmati pasukan yang menjaga kaum muslimin.”
Dalam
sanad di atas, Umar tidak pernah bertemu dengan Uqbah sebagaimana yang
dikatakan Al Mizziy dalam Al Athraf.
2.5.7 Mu’an’an, yaitu hadits yang
seorang rawi mengatakan ‘fulan dari fulan’. Contoh: Ibnu Majah berkata,
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ:
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أُسَامَةَ
بْنِ زَيْدٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ»
Telah
menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami Mu’awiyah bin Hisyam, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami
Sufyan, dari Usamah bin Zaid, dari Utsman bin Urwah, dari Urwah, dari Aisyah ia
berkata, “Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada mereka yang berada di sebelah kanan shaf.” [i]
Tentang
hadits mu’an’an ini menurut jumhur ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul,
bahwa hadits tersebut dianggap bersambung dengan beberapa syarat yang mereka
sepakat terhadap dua syaratnya dan memperselisihkan terhadap syarat yang lain.
Dua syarat yang disepakati adalah: (1) orang yang melakukan ‘an’anah
(menyebutkan ‘dari’) bukan seorang mudallis, (2) ada kemungkinan bertemu antara
orang yang melakukan ‘an’anah dengan
rawi yang ia terima darinya.
Adapun
syarat yang diperselisihkan adalah: (1) benar-benar bertemu, ini adalah pendapat
Bukhari, Ibnul Madini, dan para peneliti, (2) lama bersahabat, ini adalah
pendapat Abul Muzhaffar As Sam’ani, (3) mengetahui pengambilan riwayat darinya,
ini pendapat Abu Amr Ad Dani.
2.5.8 Mu-an-an, yaitu hadits yang seorang rawinya berkata, “Telah
menceritakan kepada kami si fulan, bahwa fulan berkata, “...dst.”
Hukum
hadits ini menurut Imam Ahmad dan jamaah para ulama adalah terputus sampai
jelas bersambung. Sedangkan menurut jumhur ulama hukumnya sama seperti hadits
mu’an’an.
Hadits
Dha’if Yang Disebabkan karena rawinya bermasalah
2.5.9 Maudhu, yaitu hadits yang
dibuat-buat dan mengatasnamakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam atau
hadits palsu. Hadits maudhu adalah tingkatan hadits dhaif yang paling buruk.
Hukum meriwayatkannya adalah haram kecuali dengan menerangkan kepalsuannya. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
«مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ
الْكَاذِبِينَ»
“Barang siapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits yang diketahui
dusta, maka dia salah satu dari para pendusta.” (Hr. Muslim dalam mukadimahnya)
Contoh:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى عَبْدَهُ تَعِبًا
فِي طَلَبِ الْحَلاَلِ
“Sesungguhnya Allah suka ketika melihat hamba-Nya lelah dalam
mencari yang halal.” (Hadits ini palsu, diriwayatkan oleh Dailami dalam Musnad
Al Firdaus dari hadits Ali radhiyallahu anhu secara marfu. Al Hafizh Al
Iraqi berkata, “Di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Sahl Al Aththar.
Daruquthni berkata, “Ia seorang yang memalsukan hadits.”)
Sebagian Ahli Mushthalah membedakan antara dusta yang
terjadi dengan sengaja dengan yang tidak disengaja. Jika disengaja disebut Hadits
Maudhu’, sedangkan jika tidak disengaja, maka disebut Hadits Bathil.
Cara mengetahui hadits maudhu’
Hadits maudhu’ dapat diketahui dengan
beberapa cara, di antaranya:
-
Pengakuan si pemalsu.
-
Hadits tersebut menyelisihi akal,
seperti menggabung dua hal yang bertentangan, menetapkan hal yang mustahil atau
meniadakan hal yang harus ada, dsb.
-
Menyelisihi perkara agama yang sudah
maklum sekali, misalnya mengandung pengguguran salah satu rukun Islam,
menghalalkan riba dsb. menetapkan waktu tibanya hari
kiamat, adanya kemungkinan nabi lagi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam, dsb.
Hadits-hadits maudhu’ banyak sekali, di antaranya:
-
Hadits-hadits berkenaan tentang
menziarahi kubur Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
-
Hadits-hadits tentang keutamaan
bulan Rajab dan shalat di bulan itu.
-
Hadits-hadits tentang masih hidupnya
Khidhr –kawan Nabi Musa ‘alaihis salam-, dan bahwa ia datang menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam serta hadir saat pemakaman Beliau.
-
Hadits-hadits tentang beberapa
permasalahan yang berbeda, di antaranya seperti yang kami sebutkan
berikut:
“Cintailah orang Arab karena tiga; karena
saya orang Arab, Al Qur’an berbahasa Arab dan bahasa penghuni surga adalah
bahasa Arab.”
“Perbedaan ummatku adalah rahmat.”
“Beramallah untuk duniamu seakan-akan kamu
akan hidup selama-lamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan
mati besok.”
“Cinta dunia adalah pusat segala
keburukan.”
“Cinta tanah air sebagian dari iman.”
“Hari puasamu adalah hari naharmu (kamu
menyembelih).”
Banyak para
Ahli Hadits yang menerangkan
hadits-hadits maudhu’, untuk membela sunnah dan memperingatkan
umat. Misalnya:
1.
Al Maudhuu’aat Al Kubraa, karya Imam
Abdurrahman bin Al Jauziy, yang wafat pada tahun
597 H, akan tetapi ia tidak mengupas secara tuntas, bahkan memasukkan ke
dalamnya hadits-hadits yang tidak termasuk maudhu’.
2.
Al Fawaa’idul Majmuu’ah fil
Ahaaditsi Maudhuu’ah,
karya Imam Syaukaani, wafat pada tahun 1250 H, di kitab ini
ada sikap tasaahul (menggampangkan) sehingga memasukkan beberapa hadits yang
sebenarnya bukan maudhu’.
3.
Tanziihusy syarii’ah al Marfuu’ah
‘anil Ahaaditsisy Syanii’ah
al Maudhuu’ah, karya Ibnu ‘Iraaq, wafat pada tahun 963
H, buku ini termasuk buku lengkap yang ditulis tentang masalah ini.
4.
Dll.
Para pemalsu hadits itu banyak jumlahnya, tokoh-tokohnya
yang masyhur adalah Ishaq
bin Najih Al Multhiy, Ma’mun bin Ahmad Al Harawiy, Muhammad bin As Sa’ib Al
Kalbiy, Mughirah bin Sa’id Al Kufiy, Muqatil bin Sulaiman, Al Waqidiy bin Abi
Yahya.
Motif mereka bermacam-macam, di antaranya:
Pertama, orang-orang zindik yang hendak
merusak akidah kaum muslimin dan merubah hukum-hukumnya. Misalnya Muhammad bin
Sa’id yang disalib, dan dibunuh
oleh Abu Ja’far Al Manshur, ia membuat hadits dari Anas secara marfu’,
“Saya penutup para nabi, tidak ada nabi lagi setelahku kecuali jika Allah
menghendaki.”
Contoh lainnya adalah Abdul Karim bin Abil
‘Aujaa’ yang dibunuh oleh salah seorang umara (pemerintah) Bani
Abbasiyyah di Basrah. Ia berkata saat hendak dibunuh,
“Saya telah memalsukan untuk kalian empat ribu
hadits, saya haramkan di sana yang halal dan saya halalkan di sana yang haram.”
Ada yang mengatakan,
bahwa orang-orang zindik telah membuat hadits
dengan menyandarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berjumlah
empat belas ribu hadits.
Kedua, orang-orang yang mencari perhatian
khalifah dan gubernur. Contohnya adalah Ghiyats bin Ibrahim saat masuk menemui
Al Mahdiy, sedangkan ia sedang bermain merpati, lalu dikatakan
kepadanya, “Sampaikanlah hadits kepada Amirul mukminin!”
-Maka
Ghiyats menyusun sanad lalu dibuatnya hadits palsu mengatasnamakan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata: “Tidak ada perlombaan kecuali pada khuf
(unta), nashl (memanah), berpacu kuda atau sayap (burung).”
Al Mahdiy berkata,
“Saya yang membuatnya berkata begitu”, maka ditinggallah merpati itu
dan diperintahkan merpati itu disembelih.
Ketiga, orang yang mencari perhatian
kalangan awam dengan menyebutkan hal-hal aneh untuk mendorong atau
menakut-nakuti, atau untuk menarik harta atau memperoleh kedudukan.
Misalnya para tukang cerita yang biasa bercerita di masjid-masjid dan
pertemuan-pertemuan yang membangkitkan rasa takjub karena adanya perkara aneh yang mereka sampaikan.
Telah dinukilkan dari Imam Ahmad bin Hanbal
dan Yahya bin Ma’in bahwa keduanya pernah shalat di masjid Rashaafah (di
Baghdad), lalu ada seorang tukang cerita yang berdiri bercerita: Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in, lalu ia sebutkan
sanadnya sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau
bersabda,
“Barangsiapa yang mengucapkan Laailaahaillallah, maka Allah akan
menciptakan dari setiap kalimat seekor burung yang paruhnya dari emas dan
bulunya dari marjan…”, lalu ia sebutkan kisah
yang panjang. Selesai menceritakan kisah itu dan mengambil harta yang
diberikan, maka Yahya berisyarat kepadanya menghadap seakan-akan seperti hendak
memberi, lalu Yahya berkata, “Siapa yang
menceritakan kepadamu hadits ini?” Ia berkata,
“Ahmad
bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in.” Yahya berkata, “Saya Yahya bin Ma’in dan ini
Ahmad bin Hanbal. Kami sama sekali
tidak pernah mendengarnya dalam hadits Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam!” Tukang cerita itu berkata,
“Aku selalu mendengar bahwa Yahya bin Ma’in seorang yang dungu dan itu baru aku
ketahui sekarang. Memangnya hanya kamu
saja Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hanbal, saya telah mencatat tujuh belas
(nama) Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in,”
maka Ahmad segera meletakkan lengan bajunya ke mukanya dan berkata,
“Biarkanlah dia berdiri.” Maka tukang cerita itu pun berdiri seakan-akan sambil
mengejek keduanya.
Keempat, orang-orang yang semangat yang
membuat hadits-hadits tentang keutamaan Islam dan yang berkaitan dengannya,
tentang zuhud terhadap dunia dsb. Tujuan mereka agar
orang-orang mau mendatangi agama dan zuhud terhadap dunia. Contohnya adalah Abu
‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam seorang hakim di Moro, dia membuat hadits tentang
keutamaan surat-surat dalam Al Qur’an, surat ini dan itu, ia berkata,
“Sesungguhnya saya melihat orang-orang banyak berpaling dari Al Qur’an, mereka
sibuk dengan fiqh Abu Hanifah dan sirah perang Ibnu
Ishaq,”
maksudnya ia membuat hadits palsu karena itu.
Kelima, orang-orang yang
fanatik madzhab, thariqah (cara tertentu), fanatik terhadap
bangsa, terhadap orang yang diikuti, atau terhadap
suku. Mereka membuat hadits-hadits tentang keutamaan sesuatu yang mereka
fanatik terhadapnya serta memuji-mujinya. Contohnya adalah Maisarah bin Abdi Rabbih
yang mengaku membuat hadits palsu terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
sebanyak tujuh puluh hadits tentang keutamaan Ali bin Abi Thaalib radhiyallahu
'anhu.
2.5.10 Matruk, yaitu hadits yang dalam
sanadnya ada rawi yang tertuduh dusta.
Contoh
hadits Amr bin Syamr Al Ju’fiy Al Kufi Asy Syi’iy dari Jabir, dari Abu Thufail,
dari Ali dan Ammar radhiyallahu anhuma, keduanya berkata, “Nabi shallallahu
alaihi wa sallam melakukan qunut pada saat shalat Subuh, bertakbir pada hari
Arafah dari sejak shalat Subuh dan memutuskan takbirnya pada akhir hari
tasyriq.”
Nasa’i,
Daruquthni, dan lainnya berkata tentang Amr bin Syamr, “Ia adalah seorang yang
matruk (ditinggalkan haditsnya).”
Perbedaan
antara hadits maudhu dengan matruk adalah, bahwa maudhu adalah hadits yang
dibuat-buat dan lebih buruk daripada matruk, sedangkan hadits matruk adalah
hadits yang rawinya tertuduh dusta, banyak salahnya, fasik, atau lalai.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi
3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al
Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu
Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu
Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah
ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul
Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh
Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.
[i] Syaikh
Ali bin Hasan berkata, “Isnadnya, para perawinya adalah tsiqah dan zhahirnya
adalah sahih, tetapi dalam matan, Usamah bin Zaid keliru, ia meriwayatkan
dengan lafaz, “Alaa mayaaminish shufuuf.” Sedangkan jamaah para rawi
yang tsiqah meriwayatkan dengan dengan lafaz:
عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ
“Kepada orang-orang yang menyambung shaf.”
Oleh karena itu, Imam Baihaqi dalam Sunannya
(3/103) mengisyaratkan syadznya dengan berkata, “Itulah yang mahfuzh.” (Lihat At Ta’liqat Al Atsariyyah hal. 38)
0 komentar:
Posting Komentar