بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih Zakat (13)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan
salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan
tentang fiqih
zakat yang banyak merujuk kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh Sayyid
Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Zakat
Rikaz dan Ma’adin (Barang Tambang)
Rikaz
berasal dari kata rakaz-yarkazu yang artinya tersembunyi. Contoh
kalimatnya ada dalam firman Allah Ta’ala,
أَوْ تَسْمَعُ لَهُمْ رِكْزًا
“Atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar?” (Qs. Maryam: 98)
Yang
dimaksud rikaz adalah harta pedaman (harta karun) kaum Jahiliyyah[i].
Imam
Malik berkata, “Perkara yang tidak diperselisihkan lagi menurut kami dan yang
saya dengar dari Ahli Ilmu, bahwa mereka mengatakan, “Rikaz adalah harta pendaman
kaum Jahiliyah, yang dicari tanpa mengeluarkan harta, dan tidak dikeluarkan
nafkah serta usaha (tenaga) besar untuknya, serta tanpa biaya.”
Apabila
dicari dengan harta, dikerahkan tenaga besar untuknya, yang terkadang dapat dan
terkadang tidak, maka itu bukan rikaz.
Abu
Hanifah dan kawan-kawannya yang semadzhab terdahulu membatasi rikaz dengan
sesuatu yang diciptakan Allah di dalam bumi berupa emas dan perak. Abu Yusuf
dalam Al Kharaj hal. 26 berkata, “Adapun rikaz, maka maksudnya adalah
emas dan perak yang Allah ciptakan di dalam bumi pada hari ia diciptakan.”
Hal
yang sama disebutkan Imam Muhammad dalam Al Muwaththa hal. 174, lalu ia
berkata, “Pada rikaz ada zakat seperlima. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan
para fuqaha kami pada umumnya.”
Imam
Muhammad dan lainnya berdalih dengan hadits Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Pada rikaz ada zakat seperlima.” Lalu ada
yang bertanya, “Apa itu rikaz wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Emas dan
perak yang diciptakan Allah di dalam bumi pada hari dia diciptakan.”
(Hadits
ini diriwayatkan oleh Baihaqi, dan ia sangat mendhaifkannya. Ia nukil pendhaifan
hadits tersebut dari Imam Syafi’i. Hadits tersebut juga didhaifkan oleh Az
Zaila’i Al Hanafi dalam Nashbur Rayah 2/380.
Menurut
Syaikh Al Albani, illatnya adalah karena dalam sanadnya terdapat Abdullah bin
Sa’id bin Abi Sa’id Al Maqbariy, dan ia telah sepakat didhaifkan. Shiddiq Khan mengira
bahwa ayahnya adalah Sa’id bin Abi Sa’id sehingga ia mengatakan bahwa ia adalah
tsiqah dan dipakai dalam Shahih Bukhari dan Muslim, sehingga ia berhujjah
dengannya, namun pendapat ini telah dikritik oleh Syaikh Al Albani dalam
risalahnya tentang Ahkamur Rikaz.
Menurut
Al Albani, bahwa rikaz secara bahasa adalah ma’adin dan harta pendaman,
sedangkan secara syara adalah harta pendaman kaum Jahiliyyah. Ia kuatkan
pendapatnya ini dalam risalahnya tersebut.
Ulama
madzhab Hanafi mutakhirin berkata, “Rikaz adalah nama untuk yang disembunyikan
Allah Al Khaliq atau disembunyikan makhluk.”
Adapun
Ma’adin (jamak dari kata ma’din) adalah bentuk kata yang muncul dari
kata ‘adana fil makan’ yang artinya menempati sebuah tempat. Contoh ayat
‘Jannaati ‘adn’ yakni surga Adn, karena keadaannya yang ditempati.
Para
ulama berbeda pendapat terkait ma’din atau barang tambang yang terkena zakat.
Menurut
Imam Ahmad, bahwa ma’adin adalah semua yang keluar dari bumi yang
diciptakan di dalamnya dan bukan tanah, tetapi yang memiliki nilai seperti
emas, perak, besi, tembaga, timah, yaqut, permata, zamrud, batu piruz, kristal,
batu akik, celak, zarnikh, ter, bensin, belerang, asam belerang, dsb.
Imam
Ahmad mensyaratkan untuk kena zakat harus mencapai nishab secara sendiri atau
senilai nishab.
Menurut
Abu Hanifah, bahwa kewajiban zakatnya tertuju kepada yang bisa dicetak atau
dileburkan dengan api seperti emas, perak, besi, dan tembaga. Adapun yang cair
seperti ter, atau yang beku yang tidak dapat dileburkan seperti yaqut, maka
tidak terkena kewajiban. Ia tidak mensyaratkan harus tercapai nishab, namun mewajibkan
mengeluarkan seperlima baik sedikit maupun banyak harta yang diperolehnya itu.
Adapun
Imam Malik dan Syafi’i, maka keduanya membatasi kewajiban zakat pada barang
yang dihasilkan yang berupa emas dan perak. Keduanya juga mensyaratkan
–sebagaimana Imam Ahmad- harus mencapai nishab 20 misqal emas, sedangkan perak
200 dirham, dan mereka sepakat tidak menggunakan haul, dan kewajiban zakat
berawal setelah adanya seperti halnya tanaman.
Dalam
keadaan di atas, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya 1/40 atau 2.5 % menurut
imam yang tiga.
Untuk
pembagiannya sama seperti zakat. Namun menurut Abu Hanifah, pembagiannya sama
seperti fai.
Dalil
disyariatkan zakat pada keduanya (rikaz
dan ma’adin)
Dalil
kewajiban zakat pada rikaz dan ma’adin adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Jamaah Ahli Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
«الْعَجْمَاءُ جَرْحُهَا جُبَارٌ، وَالْبِئْرُ جُبَارٌ، وَالْمَعْدِنُ
جُبَارٌ، وَفِي الرِّكَازِ الْخُمْسُ»
“Hewan ketika merusak sesuatu adalah sia-sia (tidak dianggap),
yang jatuh ke dalam sumur juga sia-sia, penambangan juga sia-sia, dan pada
rikaz itu zakatnya seperlima.”
Ibnul
Mundzir berkata, “Kami tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi hadits
ini selain Al Hasan, dimana ia membedakan antara barang yang diperoleh di tanah
musuh dengan di tanah Arab, ia berkata, “Jika diperoleh di tanah musuh ada zakat
khumus (seperlima), sedangkan yang diperoleh di tanah Arab ada zakatnya.”
Menurut
Ibnul Qayyim, maksud sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa ‘penambangan
juga sia-sia’ ada dua pendapat: (1) apabila seseorang menyewa orang lain
untuk menggali barang tambang untuknya, lalu ia jatuh ke dalamnya dan
meninggal, maka darahnya sia-sia (tidak ditanggung). Hal ini diperkuat dengan
digandengkannya oleh kalimat Al Bi’ru jubar dan Al Ajma jubar. (2)
Maksudnya tidak ada zakatnya. Pendapat ini diperkuat dengan digandengkan oleh
kalimat wa fir rikaz al khumus (pada rikaz ada khumus), dimana Beliau
membedakan antara ma’adin dengan rikaz, Beliau mewajibkan khumus pada rikaz
karena ia merupakan tumpukan harta yang diambil tanpa biaya dan tanpa susah
payah, lalu Beliau menggugrkan ma’adin karena untuk memperolehnya butuh biaya
dan usaha keras dalam mengeluarkannya.
Sifat
Rikaz yang terkena zakat
Rikaz
yang terkena zakat seperlima adalah semua yang berupa harta seperti emas,
perak, besi, timah, kuningan, bejana, dsb. Inilah madzhab ulama Hanafi,
Hanbali, Ishaq, Ibnul Mundzir, riwayat dari Malik, dan salah satu pendapat Imam
Syafi’i. Namun ia memiliki pendapat lain, yaitu bahwa khumus (zakat seperlima) tadi
tidak wajib kecuali pada alat pembayaran, yaitu emas dan perak.
Tempat
Rikaz
Tempatnya
tidak lepas dari beberapa keadaan berikut:
1.
Memperolehnya di tanah yang mati atau di tanah yang tidak diketahui pemiliknya
meskipun di atas permukaannya, atau di jalan yang tidak dilalui, atau di negeri
yang sudah punah, maka dalam hal ini berlaku khumus (zakat seperlima) tanpa ada
khilaf (perselisihan), sedangkan 4/5 untuknya.
Hal
ini berdasarkan riwayat Nasa’i dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya
ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang
Luqathah (barang temuan), maka Beliau bersabda,
«مَا كَانَ فِي طَرِيقٍ مَأْتِيٍّ أَوْ فِي قَرْيَةٍ عَامِرَةٍ فَعَرِّفْهَا
سَنَةً، فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَلَكَ، وَمَا لَمْ يَكُنْ فِي طَرِيقٍ مَأْتِيٍّ
وَلَا فِي قَرْيَةٍ عَامِرَةٍ فَفِيهِ وَفِي الرِّكَازِ الْخُمْسُ»
“Jika ditemukan di jalan yang dilalui atau kampung yang ramai,
maka umumkanlah setahun. Jika pemiliknya datang maka diserahkan, jika tidak,
maka itu buatmu (yakni jika pemiliknya tidak diketahui, sehingga barang itu
untuk yang menemukan jika ia membutuhkan. Jika tidak membutuhkan, maka ia bisa
sedekahkan). Tetapi jika ditemukan di jalan yang tidak dilalui dan bukan di
kampung yang ramai, maka di dalamnya atau pada rikaz itu seperlima.” (Dihasankan
oleh Al Albani)
2.
Menemukan barang itu di area miliknya yang berpindah kepadanya, maka barang ini
untuknya, karena rikaz merupakan simpanan di bumi. Pemiliknya tidak memiliki,
ia hanyalah memiliki ketika tampak olehnya sehingga menduduki posisik
barang-barang mubah seperti rerumputan, kayu bakar, dan hewan buruan yang ada
di tanah orang lain, sehingga ia lebih berhak terhadapnya kecuali jika
pemiliknya yang memang berpindah harta itu kepadanya menyatakan, bahwa barang
itu untuknya. Maka pernyataannya yang dipegang, karena tangannya berada di
atasnya (menguasainya) dimana barang itu berada di area tempatnya.
Jika
pemiliknya tidak mendakwakan atau menyatakan demikian, maka barang itu untuk
orang yang mendapatkannya. Demikian pendapat Abu Yusuf dan pendapat yang lebih
sahih menurut ulama madzhab Hanbali.
Imam
Syafii rahimahullah berkata, “Itu untuk pemilik sebelumnya, jika ia
mengakuinya. Jika tidak, maka untuk yang sebelumnya, yakni kepada pemilik
pertama.”
Jika
tempat itu berpindah karena diwarisi, maka masuk ke dalam warisan. Jika para
ahli waris sepakat bahwa itu tidak untuk si mayit yang akan mewariskan kepada
mereka, maka untuk pemilik pertama.
Jika
pemilik pertama tidak diketahui, maka harta itu seperti harta yang hilang yang
tidak diketahui pemiliknya.
Menurut
Abu Hanifah dan Muhammad, bahwa harta itu untuk pemilik pertama tanah atau ahli
warisnya jika diketahui, jika tidak diketahui, maka untuk Baitul Mal.
3.
Jika harta itu diperoleh dari tempat yang dimiliki seorang muslim atau kafir
dzimmiy (yang berada di wilayah Islam dengan membayar jizyah/pajak), maka harta
itu untuk pemilik tempat itu. Hal ini adalah menurut Abu Hanifah, Muhammad, dan
salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Ada pula nukilan dari Imam Ahmad, bahwa
harta itu untuk orang yang memperolehnya. Ini merupakan pendapat Al Hasan bin
Shalih dan Abu Tsaur, serta dianggap
baik oleh Abu Yusuf berdasarkan keterangan sebelumnya bahwa rikaz itu tidak
dimiliki karena kepemilikan terhadap tanah kecuali jika didakwakan oleh
pemiliknya. Ketika demikian, maka perkataannya yang dipegang, karena tangannya
berada di atasnya sebagai bentuk memilikinya. Jika tidak didakwakan oleh
pemiliknya, maka harta itu untuk orang yang memperolehnya.
Namun
Imam Syafi’i berpendapat, bahwa harta itu untuk pemiliknya jika ia mengakuinya,
dan jika tidak, maka untuk pemilik pertama.
Yang
wajib dikeluarkan dalam Rikaz
Telah
disebutkan sebelumnya bahwa rikaz termasuk harta pendaman kaum Jahiliyah (harta
karun), dan bahwa yang wajib dikeluarkan adalah 1/5, sedangkan 4/5 sisanya
untuk pemilik pertama tanah itu jika diketahui. Namun jika sudah meninggal
dunia, maka untuk ahli warisnya jika diketahui, dan jika tidak diketahui, maka
diletakkan di Baitul Mal. Inilah madzhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan
Muhammad.
Menurut
Ahmad dan Abu Yusuf, bahwa harta itu untuk orang yang mendapatkannya, yakni
ketika tidak didakwakan oleh pemilik tanah. Jika didakwakan oleh pemilik tanah,
bahwa harta itu miliknya, maka perkataannya yang dipegang.
Menurut
Abu Hanifah, Ahmad, salah satu dari dua riwayat dari Malik, bahwa berlaku zakat
seperlima ini baik hartanya sedikit maupun banyak tanpa melihat nishab. Namun
menurut pendapat terbaru Syafi’i, bahwa diberlakukan pula nishabnya.
Sedangkan
haul, maka tidak ada syarat haul tanpa perselisihan lagi.
Kepada
siapakah khumus (zakat seperlima) ini diwajibkan?
Menurut
jumhur ulama, bahwa khumus diwajibkan kepada orang yang menemukannya, baik
muslim, kafir dzimmiy, orang tua, anak-anak, orang berakal maupun orang gila,
hanyasaja wali bagi anak kecil dan orang gila; keduanya yang mengurus
pengeluaran zakatnya.
Ibnul
Mundzir berkata, “Telah sepakat semua orang yang kami hafal dari kalangan Ahli
Ilmu, bahwa kafir dzimmiy juga terkena zakat khumus pada rikaz yang
diperolehnya. Demikian yang dikatakan oleh Imam Malik, penduduk Madinah, Ats
Tsauri, Al Auza’i, penduduk Irak, dan para pengikut fiqih ra’yu, dan lain-lain.
Namun
menurut Syafi’i, tidak wajib khumus kecuali atas orang yang terkena zakat, karena
khumus adalah zakat.
Penyaluran
khumus
Menurut
Syafi’i penyaluran khumus sama seperti penyaluran zakat.
Hal
ini berdasarkan hadits riwayat Ahmad dan Baihaqi dari Bisyr Al Khats’ami dari
salah seorang kaumnya ia berkata, “Sebuah guci jatuh menimpaku dari sebuah
biara tua di Kufah dekat saat penarikan zakat oleh Bisyr, di dalamnya terdapat
4.000 dirham, lalu aku bawa ke hadapan Ali radhiyallahu anhu, ia pun berkata,
“Bagilah menjadi perlima!” maka aku pun membaginya, lalu Ali mengambil zakat
seperlima daripadanya dan memberiku 4/5. Saat aku pergi, ia ppun memanggilku
dan berkata, “Apakah di tengah-tengah tetanggamu ada kaum fakir miskin?” Aku
menjawab, “Ya.” Aku menjawab, “Ya.” Ali berkata, “Ambillah (seperlima ini), dan
bagikanlah di antara mereka.”
Namun
menurut Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad, bahwa penyalurannya seperti pada harta
Fai’. Hal ini berdasarkan riwayat Asy Sya’bi, bahwa ada seorang yang
mendapatkan 1.000 dinar terpendam di luar Madinah, lalu Umar bin Khaththab
radhiyallahu anhu membawakannya dan mengambil daripadanya seperlima, yaitu 200
dinar, dan menyerahkan kepada orang itu sisanya, lalu Umar membagi-bagikan 200
dinar itu kepada kaum muslimin yang hadir hingga masih ada sisa, lalu ia
berkata, “Di mana pemilik dinar?” Lalu ia berdiri menghampirinya, kemudian Umar
berkata, “Ambillah dinar-dinar ini. Itu semua untukmu.”
Dalam
Al Mughni disebutkan, “Kalau sekiranya itu zakat, tentu ia akan
mengkhususkan kepada yang berhak dan tidak akan menyerahkan kepada orang yang
mendapatkannya, dan lagi itu juga wajib kepada orang dzimmiy, sedangkan zakat
tidak wajib baginya.”
Menurut
Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, bahwa penyalurannya dikembalikan
kepada pendapat imam kaum muslimin, ia berhak menyalurkannya yang sesuai masahat
atau kepentingan negara. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Ubaid dalam Al
Amwal.
Zakat
pada benda yang keluar dari laut
Menurut
jumhur (mayoritas) ulama, tidak wajib zakat pada benda yang dikeluarkan dari
laut seperti mutiara, marjan, permata,
ikan paus, dan ikan-ikan lainnya, serta benda yang keluar lainnya. Hanyasaja
ada salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad, bahwa apabila benda-benda itu
telah mencapai nishab, maka terkena zakat.”
Hal
ini disepakati oleh Abu Yusuf pada barang berupa mutiara dan ikan paus.
Ibnu
Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Pada ikan paus tidak ada zakatnya. Ia
hanyalah hewan yang disembur oleh laut.”
Jabir
berkata, “Ikan paus tidak ada zakatnya. Ia adalah harta keuntungan bagi orang yang
memperolehnya.”
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Hal ini dapat diketahui dari tertulisnya nama-nama mereka, ukiran gambar
mereka, dsb. Tetapi jika yang tampak adalah tanta-tanda keislaman, maka masuk
ke dalam luqathah (barang temuan), dan bukan harta karun (kaum Jahiliyah),
demikian pula ketika tidak diketahui; apakah termasuk harta pendaman kaum
Jahiliyah atau di masa Islam (termasuk luqathah).
0 komentar:
Posting Komentar