بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (7)
BAB :
TAKUT TERJATUH KE DALAM SYIRK DAN SERUAN KEPADA TAUHID
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut
ini lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang
kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr.
Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Dalam
riwayat Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ لَقِيَ اللهَ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ،
وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ دَخَلَ النَّارَ»
“Barang
siapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu, maka dia akan masuk surga, dan barang siapa yang bertemu dengan-Nya
dalam keadaan menyekutukan-Nya, maka dia akan masuk neraka.” (HR. Muslim)
**********
Hadits
ini disebutkan oleh Muslim dalam Shahihnya no. 93 dan Ahmad dalam Musnadnya
3/345.
Jabir bin
Abdullah bin Amr bin Haram Al Anshariy adalah seorang sahabat mulia, ayahnya
juga seorang sahabat. Ia seorang yang banyak meriwayatkan hadits, ia hadir
dalam peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 19
kali, dan sebagai seorang sahabat yang paling terakhir wafatnya di Madinah
dalam usia 94 tahun.
Kata-kata,
“bertemu dengan Allah” maksudnya adalah meninggal dunia.
Kata-kata,
“tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu,” maksudnya tidak mengadakan
sekutu bagi Allah baik dalam Uluhiyyah maupun Rububiyyah.
Dalam
hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan, bahwa
barang siapa yang meninggal dunia di atas tauhid, maka dia akan masuk surga.
Jika seseorang di atas perbuatan dosa besar dan meninggal di atasnya, maka dia
berada di bawah kehendak Allah Subhaanahu wa Ta’ala; jika Allah memaafkan, maka
Dia akan masukkan ke dalam surga, dan jika tidak, maka orang tersebut akan
disiksa di neraka, lalu dikeluarkan daripadanya, kemudian dimasukkan ke dalam
surga. Sebaliknya, barang siapa yang meninggal dunia di atas perbuatan syirk
akbar (besar), maka dia tidak akan masuk surga, tidak mendapatkan rahmat-Nya,
dan akan kekal di neraka. Akan tetapi, jika seseorang meninggal dunia di atas
syirk asghar (kecil) maka dia akan masuk neraka –jika ternyata ia tidak
mempunyai kebaikan yang lebih banyak- namun ia tidak kekal di sana.
Dalam
hadits tersebut terdapat peringatan keras terhadap syirk yang mengharuskan
seseorang merasa takut terhadapnya.
Kesimpulan:
1.
Wajibnya merasa takut
terjatuh ke dalam syirk, karena selamat dari neraka tergantung selamatnya
seseorang dari perbuatan syirk.
2.
Yang dijadikan patokan
bukanlah banyaknya amal, tetapi selamatnya amal perbuatan dari syirk.
3.
Penjelasan tentang makna Laailaahaillallah,
bahwa maksudnya adalah meninggalkan syirk dan mengarahkan ibadah hanya
kepada Allah Azza wa Jalla.
4.
Dekatnya surga dan neraka
dengan seorang hamba, dimana tidak ada penghalang antara dirinya dengan
keduanya selain kematian.
5.
Keutamaan orang yang selamat
dari perbuatan syirk.
**********
BAB : MENGAJAK MANUSIA
BERSYAHADAT LAAILAAHAILLALLAH (TIDAK ADA TUHAN YANG BERHAK DISEMBAH KECUALI
ALLAH)
Firman
Allah Ta’ala,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي
أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ
اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah,
"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk
orang-orang yang musyrik." (QS. Yusuf: 108)
**********
Setelah mushannif
(penyusun kitab Tauhid) menyebutkan tentang hakikat tauhid, keutamaannya, dan perintah
memiliki sikap waspada terhadap syirk, maka Beliau menyampaikan di bab ini,
bahwa tidak sepatutnya bagi orang yang telah mengetahui hakikat tauhid,
kemudian diam dan tidak mengajak orang lain kepadanya, bahkan hendaknya ia
mengajak manusia kepada Allah Ta’ala untuk mentauhidkan-Nya, tentunya dengan
hikmah dan nasihat yang baik sebagaimana telah dilakukan oleh para rasul dan
pengikut-pengikutnya.
Maksud
mengajak manusia bersyahadat Laailaahaillallah adalah mengajak manusia
mentauhidkan (mengesakan) Allah dalam beribadah, beriman kepada-Nya, dan
beriman kepada syariat yang dibawa rasul atau dengan kata lain mengajak manusia
masuk ke dalam Islam.
Kata-kata,
“dengan hujjah yang nyata,” maksudnya di atas ilmu dan dalil baik secara
‘aqli (akal) maupun syar’i (wahyu).
Dalam
ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada manusia jalan yang ditempuhnya atau
Sunnahnya, yaitu mengajak manusia kepada Allah; agar mereka beribadah
hanya kepada-Nya, dimana dakwah yang dilakukan ini di atas ilmu dan hujjah yang
kuat. Dan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pengikutnya
menyucikan Allah Azza wa Jalla dari adanya sekutu baik dalam kerajaan-Nya
maupun dalam peribadatan, mereka juga berlepas diri dari orang-orang musyrik
meskipun ia sebagai kerabat terdekat.
Kesimpulan:
1.
Mengajak manusia
mentauhidkan Allah Azza wa Jalla merupakan jalan para rasul ‘alaihimush
shalatu was salam dan pengikutnya.
2.
Hendaknya seorang da’i
memiliki ilmu dalam dakwahnya dan berdakwah di atas dalil serta di atas keyakinan
yang kokoh.
3.
Mengingatkan para da’i agar
dakwah yang dilakukan ikhlas karena Allah; bukan untuk mengeruk keuntungan
dunia, mendapatkan harta, kedudukan, pujian manusia, dan bukan pula mengajak
kepada suatu golongan.
4.
Indahnya tauhid karena
merupakan penyucian Allah Subhaanahu wa Ta’ala dari sekutu, tandingan, dan dari
segala sifat yang tidak layak bagi-Nya.
5.
Buruknya syirk karena sama
saja mencacatkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
6.
Perintah berlepas diri dari
orang-orang musyrik.
**********
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذاً إِلَى
الْيَمَنِ قَالَ لَهُ: "إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهَ" وَفِي رِوَايَةِ: "إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى. فَإِنْ
هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ
صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ. فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ
أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ
فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ. فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ
أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ المَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا
وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ "
Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika mengutus Mu’adz ke Yaman; Beliau bersabda kepadanya, “Sesungguhnya
engkau akan mendatangi segolongan Ahli Kitab, maka hendaknya yang pertama kali
engkau serukan adalah mengajak mereka bersyahadat Laailaahaillallah. Dalam
sebuah riwayat disebutkan, “Agar mereka mentauhidkan Allah. Jika mereka telah
menaatimu, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan kepada
mereka lima kali shalat dalam sehari-semalam. Jika mereka telah menaatimu, maka
beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan kepada mereka membayar
zakat yang diambil dari orang-orang yang kaya dan diberikan kepada orang-orang
yang miskin di antara mereka. Jika mereka telah menaatimu, maka berhati-hatilah
terhadap harta pilihan mereka dan berhati-hatilah terhadap doa orang yang
teraniaya, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
**********
Hadits di
atas dalam Shahih Bukhari no. 1350, Muslim no. 19, Tirmidzi no. 625, Abu
Dawud no. 1584, dan Ahmad dalam Al Musnad (1/233).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ke Yaman sebagai da’i, pengajar
agama, gubernur, dan hakim di sana. Hal ini terjadi pada tahun ke-10 H. Ketika
itu, penduduk Yaman kebanyakan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepadanya, bahwa ia akan berhadapan
dengan orang-orang yang telah mendapatkan ilmu dari kalangan Yahudi dan Nasrani
agar ia memiliki persiapan untuk berdebat dengan mereka dan membantah syubhat
mereka, Beliau juga berpesan kepadanya agar memulai dakwahnya dari perkara yang
paling penting, yaitu tauhid. Jika mereka telah mentauhidkan Allah dengan
bersyahadat Laailaahaillallah, maka hendaknya ia (Mu’adz) menyuruh mereka
mendirikan shalat, karena ia merupakan kewajiban yang paling agung setelah
tauhid. Jika mereka telah melaksanakannya, maka hendaknya ia menyuruh mereka
membayar zakat yang diambil dari kalangan kaya di antara mereka kemudian
diserahkan kepada kalangan miskin di antara mereka. Selanjutnya Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan Mu’adz agar tidak mengambil harta
pilihan mereka dalam zakat, karena yang wajib adalah yang pertengahan. Kemudian
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Mu’adz untuk bersikap adil
agar tidak mendapatkan doa buruk dari orang yang terzalimi, karena doanya
mustajab.
Kesimpulan:
1.
Disyariatkannya mengirim
da’i ke berbagai daerah untuk mengajak manusia kepada Allah.
2.
Tauhid merupakan kewajiban
pertama dan perkara yang pertama didakwahkan.
3.
Maksud syahadat Laailaahaillallah
adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya.
4.
Orang non muslim tidak
dihukumi sebagai seorang muslim sampai mengucapkan dua kalimat syahadat.
5.
Seseorang meskipun suka
membaca dan memiliki ilmu terkadang tidak mengerti makna Laailaahaillallah atau
mengerti maknanya tetapi tidak mengamalkannya sebagaimana keadaan Ahli Kitab.
6.
Berbicara kepada orang yang
berilmu tidak sama dengan berbicara kepada orang yang jahil.
7.
Seorang da’i hendaknya
memiliki ilmu dan hujjah secara naqli (dalil) maupun ‘aqli (akal) agar dapat
menyingkirkan syubhat yang datang kepadanya. Tentunya hal itu diperoleh dengan
menuntut ilmu syar’i.
8.
Shalat merupakan kewajiban
paling agung setelah syahadat.
9.
Zakat merupakan kewajiban
paling agung setelah shalat.
10. Penjelasan tentang tempat penyaluran zakat, yaitu kepada kaum
fakir-miskin dan bolehnya ditujukan hanya kepada mereka.
11. Tidak boleh mengambil zakat dari harta berharga di sisi pemiliknya
kecuali dengan keridhaannya.
12. Peringatan terhadap bahayanya kezaliman, dan bahwa doa orang terzalimi
adalah mustajab meskipun ia pelaku maksiat.
Bersambung...
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Al
Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan
Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar