بسم الله الرحمن الرحيم
Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'd:
Berikut pembahasan tentang
hal-hal
membatalkan shalat, semoga Allah Azza wa Jalla
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Hal-hal yang membatalkan shalat
1. Yakin keluar hadats
Dari Abbad bin Tamim, dari pamannya, bahwa ia pernah mengeluhkan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang
terbayang keluar sesuatu (hadats) dalam shalat, maka Beliau bersabda,
«لاَ يَنْفَتِلْ - أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ - حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا
أَوْ يَجِدَ رِيحًا»
“Janganlah ia keluar (dari shalatnya) sampai ia mendengar suara atau
mencium bau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Semua yang membatalkan thaharah (wudhu dan mandi).
3. Meninggalkan salah satu rukun atau salah satu syarat shalat dengan
sengaja dan tanpa udzur.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
seorang yang keliru shalatnya,
ارْجِعْ فَصَلِّ،
فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Kembalilah, lakukan shalat, karena engkau belum shalat!” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Demikian juga berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada seseorang yang terlihat di bagian kakinya ada bagian yang tidak terkena
air wudhu untuk mengulangi wudhu dan shalatnya (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah,
dishahihkan oleh Al Albani).
Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama sepakat, bahwa barang siapa yang
shalat tanpa bersuci, maka ia wajib mengulangi.”
4. Makan dan minum dengan sengaja
Ibnul Mundzir berkata, “Ahli Ilmu sepakat, bahwa barang siapa yang
makan atau minum dalam shalat fardhu dengan sengaja, maka ia harus mengulangi
shalatnya.” (Al Ijma’, 40).
Demikian pula dalam shalat sunah sebagaimana dinyatakan jumhur
(mayoritas) ulama, karena hal yang membatalkan shalat fardhu juga membatalkan
shalat sunah.
Adapun jika lupa atau tidak mengetahui hukumnya, maka tidak batal
sebagaimana dikatakan oleh ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali.
5. Berbicara dengan sengaja bukan untuk maslahat shalat
Dari Zaid bin Arqam ia berkata, “Kami pernah berbicara dalam shalat;
dimana salah seorang di antara kami berbicara dengan yang lain yang berada di
sampingnya, sehingga turunlah ayat yang berbunyi,
وَقُومُوا لِلَّهِ
قَانِتِينَ
“Dan berdirilah karena Allah dengan khusyu.” (QS. Al Baqarah: 238)
Maka kami diperintahkan diam dan dilarang berbicara.” (HR. Jamaah Ahli
Hadits)
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Kami pernah memberi
salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau sedang shalat, lalu
Beliau menjawabnya. Tetapi setelah kami pulang dari Raja Najasyi, kami
memberikan salam kepada Beliau, namun Beliau tidak menjawabnya. Maka kami pun
berkata, “Wahai Rasulullah, kami pernah memberi salam kepada engkau ketika
engkau shalat, lalu engkau membalasnya (mengapa sekarang tidak)?” Beliau menjawab,
إِنَّ فِي الصَّلاَةِ
لَشُغْلًا
“Sesungguhnya dalam shalat ada kesibukkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi apabila seseorang berbicara karena tidak mengetahui
hukumnya atau karena lupa, maka shalatnya tetap sah.
Dari Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy ia berkata, “Saat saya sedang
shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba ada seorang
yang bersin, lalu aku berkata, “Yarhamukallah,” (artinya: semoga Allah
merahmatimu). Maka orang-orang memperhatikan diriku, aku pun berkata, “Rugilah
kalian! Mengapa kalian memperhatikan diriku?” Mereka pun menepukkan tangan
mereka ke paha. Ketika aku mengetahui bahwa maksudnya adalah menyuruhku diam,
maka aku pun diam.” Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai
shalat, maka biarlah ayahku dan ibuku menjadi tebusan Beliau, aku belum pernah
melihat sebelumnya maupun setelahnya seorang pendidik yang lebih baik daripada
Beliau. Demi Allah, Beliau tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak
mencelaku. Beliau bersabda,
إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ
لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ
وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya shalat ini tidak layak ada sedikit pun ucapan manusia.
Shalat itu isinya tasbih, takbir, dan membaca Al Qur’an.” (HR. Ahmad, Muslim,
Abu Dawud, dan Nasa’i)
Dalam hadits tersebut Mu’awiyah tidak mengetahui hukumnya, sehingga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruhnya untuk mengulangi
shalatnya.
Adapun tidak batalnya shalat karena lupa adalah berdasarkan hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat
Zhuhur atau Ashar, lalu Beliau salam. Kemudian Dzul yadain (sebutan untuk
seorang sahabat yang agak panjang tangannya) berkata kepada Beliau, “Apakah
shalat diqashar atau engkau lupa wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Shalat tidaklah diqashar dan aku tidak
lupa.” Dzulyadain berkata, “Bahkan engkau lupa wahai Rasulullah.” Maka Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Apakah benar yang dikatakan
Dzulyadain?” Para sahabat menjawab, “Ya.” Beliau pun melakukan shalat dua
rakaat kemudian sujud dua kali.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Tertawa
Ibnul Mundzir menukilkan adanya ijma’ yang menunjukkan batalnya shalat
karena tertawa. Adapun hanya tersenyum saja, maka tidak membatalkan sebagaimana
disampaikan oleh Ibnul Mundzir dan ulama lainnya.
6. Lewatnya wanita yang sudah baligh, keledai, atau anjing hitam di
hadapan orang yang shalat
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا
كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ
يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ،
وَالْمَرْأَةُ، وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ»
“Jika salah seorang di antara kalian sedang shalat, maka akan ditutupi
jika di hadapannya ada sesuatu seperti kayu pelana. Tetapi jika di hadapannya
tidak ada sesuatu seukuran kayu pelana, maka shalatnya dapat diputuskan oleh
keledai, wanita, dan anjing hitam.” (HR. Muslim)
7. Terbuka aurat dengan sengaja
8. Membelakangi kiblat.
9. Menempelnya najis pada diri seorang yang shalat sedangkan ia
mengetahui dan ingat, yakni apabila ia tidak menyingkirkannya saat itu.
10. Melakukan banyak tindakan dengan sengaja.
Imam Nawawi berkata, “Sesungguhnya tindakan yang bukan bagian shalat
jika banyak akan membatalkannya tanpa adanya khilaf, tetapi jika sedikit, maka
tidak membatalkannya tanpa ada khilaf. Inilah batasannya.”
Ada yang berpendapat, bahwa tindakan yang banyak adalah ketika orang
lain dari kejauhan menganggap dengan yakin bahwa ia tidak dalam keadaan shalat.
Menurut jumhur, bahwa dalam hal ini melihat kepada uruf/adat. Oleh
karena itu, tidaklah membatalkan shalat tindakan yang dianggap ringan oleh
manusia, seperti berisyarat ketika menjawab salam, melepas sandal, mengangkat
sorban dan meletakkannya, mengenakan kain ringan dan melepasnya, menggendong
anak kecil dan menurunkannya, menolak orang yang lewat, menggosok ludah yang
mengenai bajunya, dsb.
Adapun perbuatan yang dianggap manusia sebagai tindakan yang banyak
misalnya melangkah berkali-kali dan berturut-turut dan tindakan lainnya secara
berurut-turut, maka shalatnya akan batal.
Hal yang dapat membatalkan shalat juga adalah sengaja menambah rukun shalat yang berupa perbuatan, sengaja tidak tertib rukun, sengaja salam sebelum selesai, sengaja merubah makna dalam membaca surat Al Fatihah, dan membatalkan niat dengan sikap ragu-ragu dan keinginan membatalkannya.
Hal yang dapat membatalkan shalat juga adalah sengaja menambah rukun shalat yang berupa perbuatan, sengaja tidak tertib rukun, sengaja salam sebelum selesai, sengaja merubah makna dalam membaca surat Al Fatihah, dan membatalkan niat dengan sikap ragu-ragu dan keinginan membatalkannya.
Wallahu a’lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad
wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Wajiz Fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz (Abdul Azhim bin
Badawi), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Fiqhus Sunnah
(Syaikh S. Sabiq), dll.
0 komentar:
Posting Komentar