Beberapa Anggapan Kaum Jahiliyyah Yang Dibatalkan oleh Islam

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫لا عدوى‬‎
Beberapa Anggapan Kaum Jahiliyyah Yang Dibatalkan oleh Islam
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang beberapa anggapan kaum Jahiliyyah yang dibatalkan oleh Islam.  Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Anggapan kaum Jahiliyyah yang dibatalkan oleh Islam
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyalahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى وَلاَ صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ
“Tidak ada ‘Adwa (penyakit menular), tidak ada Shafar, dan tidak ada Hamah.”
Kemudian salah seorang dari kalangan orang Arab badui berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa ada unta yang sebelumnya berada di padang pasir seperti kijang (berjalan cepat), lalu ketika bercampur dengan unta yang berkudis, maka unta itu ikut berkudis?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu siapa yang menulari (hewan) yang pertama (yang berkudis)?”
Syarh/Penjelasan:
Dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan tiga keyakinan kaum Jahiliyyah yang bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu:
1. Tidak ada ‘Adwa
Lafaz ‘Adwa’ dalam hadits di atas artinya penyakit yang dianggap menular. Ada beberapa penyakit yang dianggap oleh masyarakat Jahiliyyah menular dengan sendirinya, di antaranya adalah penyakit kudis. Maka dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membantah anggapan mereka, bahwa tidak ada penyakit yang menular. Bahkan jika terjadi penularan, maka itu adalah dengan takdir Allah Azza wa Jalla. Oleh karenanya, saat orang Arab badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang unta yang sehat lalu ketika disatukan dengan unta yang sakit, tiba-tiba unta yang sehat itu juga sakit, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan sabdanya,
فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ؟!
“Lalu siapa yang menulari (hewan) yang pertama (yang berkudis)?”
Maksudnya, unta yang sakit pertama tidaklah terkena penyakit itu melainkan dengan takdir dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Jika hewan yang pertama terkena penyakit itu dengan takdir Allah, maka hewan yang kedua, ketiga, dan seterusnya, juga terkea penyakit itu karena takdir Allah Azza wa Jalla. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“Tidak ada suatu musibah pun yang terjadi  baik di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al Hadid: 22).
Jika seseorang berkata, “Lalu bagaimana dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
لاَ يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
“Janganlah pemilik unta membawakan untanya yang sakit kepada pemilik unta yang sehat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
وَفِرَّ مِنَ المَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ
“Dan larilah kamu dari orang yang terkena penyakit kusta sebagaimana kamu lari dari singa.” (HR. Bukhari)
Jawab, “Perintah memisahkan hewan yang sakit dengan hewan yang sehat, dan menjauhkan diri dari orang yang terkena penyakit kusta dalam hadits di atas adalah termasuk ke dalam kaidah Saddudz Dzara’i (pencegahan dari terjatuh ke dalam tindakan yang terlarang), yakni agar seseorang yang menggabungkan hewan yang sehat dengan yang sakit serta seorang yang mendekati orang yang terkena penyakit kusta, tidak beranggapan bahwa hewan miliknya atau dirinya terkena penyakit itu juga karena penyakit tersebut bisa menular sendiri, akhirnya ia membenarkan anggapan kaum Jahiliyyah itu dan jatuh ke dalam dosa, padahal tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya. Oleh karena itu, seseorang diperintahkan menjauhi orang yag terkena penyakit kusta agar dalam hatinya tidak ada anggapan kaum Jahiliyyah, yaitu bahwa penyakit bisa menular sendiri.” (Lihat pula Taisir Musthalah Hadits karya Dr. Mahmud Ath Thahhan hal. 47).
Menurut Ibnu Rajab Al Hanbaliy rahimahullah, bahwa larangan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangkan unta yang sakit kepada unta yang sehat, perintah Beliau untuk melarikan diri dari orang yang terkena penyakit kusta, dan larangan masuk ke negeri yang sedang mewabah penyakit tha’un adalah termasuk menjauhi sebab yang Allah Ta’ala jadikan sebagai sebab kebinasaan atau bahaya. Dan seorang hamba diperintahkan menjauhi sebab-sebab bala-musibah jka dirinya sebelumnya terhindar darinya. Nah, oleh karena dia juga diperintahkan untuk tidak menjatuhkan dirinya ke dalam air, api, atau ke tempat-tempat roboh dan sebagainya yang menurut kebiasaan membuatnya binasa atau terkena bahaya, maka demikian pula diperintahkan menjauhi orang yang sakit seperti kusta, atau mendatangi negeri yang tersebar wabah tha’un di dalamnya. Ini semua merupakan sebab terkena penyakit dan kebinasaan, dan Allah Ta’ala Dialah Pencipta sebab dan musabbabnya, tidak ada Pencipta selain Dia dan tidak ada pengatur selain Dia.” (Lihat Latha’iful Ma’arif pada pembahasan Wazhifah Syahri Shafar).
Dalam Fat-hul Majid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan disebutkan, “Apabila seseorang bertawakkal tinggi kepada Allah serta beriman kepada qadha’ Allah dan qadar-Nya, ia pun memberanikan diri untuk mendekati sebab-sebab tersebut karena adanya maslahat baik bagi masyarakat umum maupun orang tertentu dengan bersandar dan berharap kepada Allah agar tidak terkena  bahaya maka boleh saja.”
2. Tidak ada Hamah
Hamah adalah keyakinan kaum Jahiliyyah, bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka ruh atau tulang-belulangnya akan menjelma menjadi hamah (burung hantu). Hadits ini menunjukkan batilnya keyakinan reinkarnasi, dan bahwa hal itu tidak benar. Yang benar adalah bahwa ruh para syuhada akan berada dalam tembolok burung hijau, dimana ia bebas memakan buah-buahan surga dan bebas mendatangi sungai-sungai surga sampai Allah mengembalikan ruh-ruh itu ke jasadnya (sebagaimana dalam Shahih Muslim), dan disebutkan juga bahwa ruh orang mukmin akan berupa burung yang bertengger pada pohoh surga sampai Allah mengembalikan ke jasadnya pada hari Kiamat (Sebagaimana dalam riwayat Ahmad).
3. Tidak ada Shafar
Kata-kata ‘Shafar’ dalam hadits tersebut ada beberapa tafsir dari para ulama. Kebanyakan para ulama mutakadimin (terdahulu) berpendapat, bahwa Shafar adalah sebuah penyakit pada perut berupa adanya cacing besar seperti ular, dimana orang-orang Jahiliyyah menganggap banyak penyakit tersebut dapat menular, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan anggapan dan keyakinan ini. ini merupakan pendapat Ibnu Uyaynah, Imam Ahmad, dan lain-lain. Akan tetapi jika memang tafsirnya demikian, tentu sudah masuk ke dalam kata-kata, ‘tidak ada ‘Adwa,’ namun ada yang berpendapat bahwa hal ini termasuk meng’athafkan (menghubungkan) yang khusus kepada yang umum, dan disebutkan kata ‘Shafar’ secara khusus karena sudah masyhur di kalangan masyarakat Jahiliyyah dianggap sebagai penyakit menular.
Ada pula di antara ulama yang menafsirkan, bahwa maksud ‘Shafar’ dalam hadits tersebut adalah bulan Shafar, namun mereka berbeda pendapat tentang maksud ‘tidak ada bulan Shafar’ sehingga timbul dua pendapat, yaitu:
Pendapat pertama, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan dan membatalkan tindakan yang dilakukan masyarakat Jahiliyyah, yaitu mengundurkan bulan Haram; mereka halalkan bulan Muharram, dan mengharamkan bulan Shafar. Ini merupakan pendapat Imam Malik.
Pendapat kedua, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan sikap kaum Jahiliyyah yang merasa sial dengan bulan Shafar, dimana mereka mengatakan, bahwa bulan tersebut adalah bulan sial, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan anggapan ini. Demikian yang diriwayatkan Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid Al Makhuliy dari orang yang ia dengar menyatakan demikian.
Menurut Ibnu Rajab, bahwa pendapat kedua itulah yang lebih tepat, karena kebanyakan orang merasa sial dengan bulan Shafar, bahkan terkadang membuat seseorang tidak jadi mengadakan perjalanan pada bulan itu. Merasa sial dengan bulan Shafar termasuk bentuk Thiyarah (merasa sial dengan burung) yang terlarang itu. Termasuk ke dalam hal ini juga adalah sikap merasa sial dengan hari-hari tertentu seperti hari-hari tertentu, bulan-bulan tertentu, dsb. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Thiyarah itu syirk.” (HR. Ahmad, Bukhari dalam Al Adab, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3960)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, Latha’iful Ma’arif (Abdurrahman ibnu Rajab Al Hanbaliy), Taisir Musthalahil Hadits (Mahmud Ath Thahhan), Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger