بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengenal Ilmu Ushul Fiqih (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan singkat tentang
Ushul Fiqih merujuk kepada risalah karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa’diy rahimahullah yang berjudul Risalah Lathifah fi Ushulil Fiqh, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ushuul (Prinsip-Prinsip) Yang Disimpulkan
Dari Al Qur’an dan As Sunnah
Para Ahli Ushul mengambil prinsip-prinsip yang banyak dari Al
Qur’an dan As Sunnah. Dari sana mereka membangun hukum-hukum yang sangat
banyak, bermanfaat, dan bisa diambil
manfaatnya.
Di antaranya:
اَلْيَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Perkara yang yakin
tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Banyak masalah ibadah, muamalah dan hak-hak yang dimasukkan ke dalam prinsip tersebut. Jika ada masalah
yang terdapat
keragu-raguan, maka kembali kepada prinsip ini yaitu tetap yakin.
Mereka juga mengatakan,
Asalnya segala sesuatu itu suci, hukum asal sesuatu adalah boleh,
kecuali jika ada dalil yang menunjukkan najisnya, atau ada dalil yang
menunjukkan haramnya.
Hukum asalnya adalah lepas dari
kewajiban dan lepas dari hak orang lain sampai ada dalil yang menyelisihinya.
Hukum asalnya adalah tetapnya
dibebankan dengan kewajiban memenuhi hak Allah dan hak hamba-hamba-Nya sampai
yakin sudah selesai dan sudah ditunaikan.
Di antaranya juga:
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Kesulitan mendatangkan kemudahan.
Dari prinsip ini, para Ahli Ushul membangun
rukhshah-rukhshah (keringanan) dalam safar,
meringankan beban ibadah, muamalah, dan lain-lain.
kaidah lainnya
juga adalah,
لاَ وَاجِبَ مَعَ
الْعَجْزِ، وَلاَمُحَرَّمَ مَعَ الضَّرُوْرَةِ
Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu
dilaksanakan, dan tidak menjadi haram ketika kondisi darurat.
Oleh karena itu syari’ (yang menetapkan syariat) tidak
membebani kepada kita hal-hal yang kita tidak mampu memikulnya secara menyeluruh.
Kewajiban-kewajiban agama yang ternyata tidak mampu dilakukan oleh
seorang hamba, maka gugurlah kewajiban itu darinya.
Namun jika sebagiannya ia bisa lakukan, maka ia wajib melakukan
semampunya dan yang tidak mampu gugur. Contoh dalam masalah ini sangat banyak.
Demikian juga dalam hal yang memang sangat dibutuhkan oleh seorang
hamba, maka bisa menjadi tidak haram.
Hal-hal yang kotor yang diharamkan syara’, namun jika seorang
hamba terpaksa harus mendatanginya, maka ia tidak berdosa.
Oleh karena itu, keadaan darurat bisa membolehkan
sesuatu yang sebelumnya haram serta perkara-perkara haram yang datang tiba-tiba.
Tentunya daruratnya harus disesuaikan keadaannya; tidak
boleh melebihi ukuran untuk meringankan keburukan.
Keadaan darurat membolehkan barang-barang haram baik berupa
makanan, minuman, pakaian, dsb.
Di antara kaidah dasar lainnya (yang ditetapkan Ahli Ushul)
adalah:
اَلْأُمُوْرُ ِبمَقَاصِدِهَا
Semua perkara itu tergantung dengan
tujuan atau niatnya.
Masalah ibadah dan mu’amalah masuk ke dalam dasar ini.
Diharamkannya mencari kesempatan (hiilat/tipu daya) terhadap yang haram diambil dari dasar
ini.
Beralihnya lafaz-lafaz yang masih kinayah (sindiran) dan
mengandung kemungkinan lain menjadi sebuah lafaz yang tegas pun bersandar
kepada dasar/prinsip ini.
Contoh-contohnya sangat banyak.
Termasuk dasar (yang mereka tetapkan) juga adalah,
Memilih maslahat yang lebih tinggi, dan mengerjakan
mafsadat yang paling ringan ketika terdesak (oleh dua mafsadat).
Atas dasar ini tersusunlah berbagai masalah yang banyak.
Ketika bersamaan (antara maslahat dan madharrat), timbullah prinsip:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak mafsadat lebih didahulukan daripada mengambil maslahat.”
Termasuk juga pernyataan mereka (para ahli Ushul):
لاَ تَتِمُّ الْأَحْكَامُ إِلاَّ بِوُجُوْدِ شُرُوْطِهَا وَانْتِفَاءِ
مَوَانِعِهَا
Hukum-hukum tidaklah sempurna kecuali
dengan adanya syarat dan hilangnya penghalang.
Ini juga prinsip yang agung,
berbagai masalah hukum yang begitu banyak bersandar kepadanya. Oleh karena itu jika
hilang syarat suatu ibadah, muamalah, atau hak-hak, maka dianggap tidak sah dan
tidak ada. Sebagaimana jika ada penghalangnya maka menjadikannya tidak sah dan
tidak dapat diterapkan.
Syarat bagi suatu ibadah atau muamalah adalah sesuatu yang
menentukkan keabsahannya. Syarat dapat diketahui melalui pengkajian syariat secara
mendalam.
Dengan dasar/prinsip
tatabbu’ (pengkajian mendalam), para fuqaha (Ahli Fiqh) menetapkan fardhu-fardhu
suatu ibadah, syaratnya maupun wajibnya. Seperti itu juga dalam hal
syarat-syarat bermuamalah serta penghalangnya.
Hashr (pembatasan) adalah menetapkan hukum hanya sesuai yang
disebutkan saja, dan menafikan selainnya.
Dari hashr yang dibuat fuqaha’ itulah keluar syarat-syarat sesuatu
dan beberapa perkara lainnya, sehingga selainnya tidak
bisa dihukumi dengan yang telah disebutkan.
Di antaranya juga adalah pernyataan mereka (Ahli Ushul):
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ ثُبُوْتاً وَعَدَماً
“Hukum itu berjalan bersama ‘illatnya; ada dan tidaknya.
‘Illat-‘illat (sebab) yang sempurna yang diketahui bahwa syara’ menyebutkan hukum-hukum
di atas dasar itu, maka jika ada illat itu, ada pula hukumnya dan jika tidak ada, maka
tidak dianggap hukum itu.
Termasuk prinsip juga pada pernyataan mereka mereka (para ahli Ushul) ini:
اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ
الْحَظْرُ إِلاَّ مَا وَرَدَ عَنِ الشَّارِعِ تَشْرِيْعُهُ، وَالْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ
الْإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا وَرَدَ عَنِ الشَّارِعِ تَحْرِيْمُهُ
“Asal dalam beribadah itu terlarang,
kecuali ada dalil dari syara’ yang mensyari’tkannya. Asal dalam adat (kebiasaan yang dilakukan) adalah boleh, kecuali
ada dalil pengharamannya dari syara’.
Hal itu karena ibadah itu adalah semua yang diperintahkan syara’,
baik perintahnya wajib maupun sunat. Selain itu, maka bukan ibadah.
(Sedangkan adat asalnya adalah boleh-pent), karena Allah telah
menciptakan untuk kita semua yang ada di bumi agar bisa diambil manfaatnya
dengan segala macamnya, kecuali yang diharamkan oleh syara’.
Ada juga dasar/prinsip (yang ditetapkan para Ahli Ushul):
إِذَا وُجِدَتْ أَسْبَابُ
الْعِبَادَاتِ وَالْحُقُوْقِ ثَبَتَتْ وَوَجَبَتْ، إِلاَّ إِذَا قَارَنَهَا الْمَانِعُ
Apabila ada sebab-sebab ibadah atau hak,
maka menjadi tetap dan wajibnya ibadah atau hak tersebut. Kecuali jika ada
maani’ (penghalangnya).
Ada juga prinsip yang
mereka tetapkan:
Yang wajib itu harus dikerjakan oleh
orang-orang mukallaf.
Dan Taklif (pembebanan agama menjadi wajib)
itu berlaku ketika baligh dan berakalnya orang itu.
Pengrusakan itu wajib diganti oleh
orang-orang mukalllaf dan lainnya.
Jika seseorang sudah baligh dan berakal, maka ia wajib
melaksanakan ibadah yang
wajibnya bersifat umum. Demikian juga ibadah yang bersifat khusus jika ada sifat-sifatnya bagi mereka yang terkena kewajiban karena ada sebab-sebabnya.
Orang yang lupa atau tidak tahu tidak dikenakan hukuman yakni dari
sisi dosa; bukan
dari sisi menanggung barang-barang yang telah dirusak.
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Penerjemah: Marwan
bin Musa
Maraji’:
Risalah Lathifah Fi Ushulil Fiqh (Abdurrahman As Sa’diy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar