Mengenal Ilmu Ushul Fiqih (1)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫أصول الفقه‬‎
Mengenal Ilmu Ushul Fiqih (1)


Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan singkat tentang Ushul Fiqih merujuk kepada risalah karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy rahimahullah yang berjudul Risalah Lathifah fi Ushulil Fiqh, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Menggali hukum-hukum syar'i dari sumbernya (Al Qur’an dan As Sunnah), tidaklah berdasarkan hawa nafsu. Bahkan, harus ada jalur-jalur tertentu yang dilalui oleh seorang mujtahid. Demikian juga harus ada kaidah-kaidah sebagai petunjuk yang dijadikan pegangan. Dengan demikian, ijtihadnya diterima dan lebih dekat kepada hukum-hukum yang benar.
Ilmu yang membahas sumber hukum, kehujjahan sumber hukum tersebut dan tingkatan-tingkatannya dalam menggunakannya sebagai dalil, syarat-syarat dalam berdalil, menerangkan tentang cara menggali hukum dan menggali kaidah-kaidah yang membantu untuk itu; yang juga digunakan oleh mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang tafshil (sudah rinci) adalah ilmu Ushul Fiqih.
Definisi Ushul Fiqh
Ushul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari dalil-dalil fiqih yang sifatnya kulliyyah (umum). Hal itu karena Fiqih itu:
-        Bisa berupa masalah-masalah yang menuntut diputuskan dengan salah satu dari hukum yang lima (wajib, sunah, haram, makruh atau mubah).
-        Dan bisa juga berupa dalil-dalil yang bisa dijadikan alasan terhadap masalah-masalah itu.
Jadi Fiqih adalah mengetahui masalah atau hukum-hukum syariat disertai dengan dalil-dalilnya.
Dalil-dalil tersebut terbagi dua:
Pertama, Kulliyyah (umum), yakni yang mencakup semua hukum dari satu jenis dari awal pembahasan fiqih sampai akhirnya. Misalnya pada pernyataan kita “Perintah itu menunjukkan wajib”, “Larangan itu menunjukkan haram” dsb. Inilah Ushul (dasar-dasar) Fiqh.
Kedua, salil-dalil yang juz’i (satuan) atau rinci yang masih butuh dibangun di atas dalil-dalil yang umum. Jika telah sempurna, maka ditetapkan hukum-hukumnya.
Mengetahui hukum-hukumnya sudah pasti butuh kepada dalil-dalil yang rinci, sedangkan dalil-dalil yang rinci butuh kepada dalil-dalil yang umum.
Dari sini kita mengetahui penting dan perlunya mempelajari Ushul Fiqh, ia dapat membantu mengetahui hukum, di samping sebagai asas dalam menimbang dan berijtihad terhadap masalah hukum.
Hukum-Hukum Yang Ilmu Fiqih Berjalan di Atasnya
Hukum-hukum yang ilmu Fiqh berjalan di atasnya adalah:
  1. Wajib, yaitu yang pelakunya akan diberi pahala, sedangkan orang yang meninggalkannya akan disiksa.
  2. Haram, yaitu lawan dari wajib. Yakni pelakunya akan diberi siksa, sedangkan orang yang meninggalkannya akan diberi pahala.
  3. Masnun (sunat), yaitu yang pelakunya akan diberi pahala, dan tidak diberi hukuman/siksa bagi orang yang meninggalkannya.
  4. Makruh, yaitu lawan sunah.
  5. Mubah (boleh), yaitu tidak wajib dan tidak haram.
Wajib terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, Fardhu ‘Ain, yaitu (perbuatan) yang menuntut dikerjakan oleh masing-masing mukallaf (orang yang sudah wajib mengerjakan beban agama), yang baligh dan berakal, yaitu mengerjakan semua syariat yang wajib.
Kedua, Fardhu Kifayah, yaitu (perbuatan) yang menuntut dilakukan oleh sebagian orang mukallaf, tidak masing-masingnya. Misalnya mempelajari beberapa macam ilmu dan cara membuat barang-barang bermanfaat, azan, amar ma’ruf-nahy mungkar, dsb.
Hukum-hukum yang lima masing-masingnya berbeda, tergantung keadaan, tingkatan, maupun pengaruhnya;
a.        Jika yang ada hanya maslahat (kebaikan) atau maslahatnya lebih besar, maka syara’ (agama) memerintahkannya dengan perintah yang bisa wajib maupun sunah.
b.       Jika yang ada hanya mafsadat (kerusakan/bahaya) atau mafsadatnya lebih besar, maka syara’ melarangnya dengan larangan yang bisa haram dan bisa juga makruh.
Asas ini meliputi seluruh perintah dan larangan.
Adapun hal-hal yang mubah, maka syara’ membolehkan dan mengizinkannya.
Namun bisa saja yang mubah mengarah kepada:
-          Kebaikan, maka yang mubah menjadi diperintahkan.
-          Keburukan, maka yang mubah menjadi terlarang.
Ini adalah asas (dasar) yang agung, yakni bahwa wasilah (sarana yang menjembatani) tergantung tujuan-tujuannya.  Dari sini dapat diketahui, bahwa:
ü   Suatu kewajiban jika tidak dapat sempurna kecuali dengan mengerjakan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.
ü   Suatu perbuatan sunah jika tidak dapat sempurna kecuali dengan mengerjakan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi sunah.
ü   Sesuatu yang mengarah kepada yang haram, maka menjadi haram.
ü   Dan sarana yang mengarah kepada yang makruh, maka sarana itu pun makruh.
Empat Sumber Yang Dijadikan Sandaran Fiqh
Dalil-dalil yang dijadikan sandaran fiqh itu ada empat:
1. Al Qur’an dan As Sunnah, keduanya adalah rujukan utama yang ditujukan kepada orang-orang mukallaf, dan di atasnya agama mereka dibangun.
2. Ijma’ (kesepakatan ulama) dan Qiyas yang shahih, keduanya pun bersandar kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Pembahasan fiqih dari awal sampai akhirnya tidak lepas dari keempat dasar ini.
Kebanyakan hukum-hukum yang urgen (penting) diliput oleh dalil-dalil yang empat di atas; bisa disebutkan langsung oleh nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah, diijmakan oleh ulama dan bisa juga didasari oleh qiyas yang shahih karena adanya manfaat dan maslahat di dalamnya jika memang diperintahkan atau adanya madharrat (bahaya) jika memang dilarang.
Sangat sedikit masalah yang diperdebatkan ulama, dan yang paling dekat kepada kebenaran dalam masalah itu adalah orang yang mengembalikan masalahnya kepada dasar yang empat di atas.

Al Qur’an dan As Sunnah Dengan Kandungannya

Adapun Kitabullah,  ia adalah Al Qur’an yang mulia, firman rabbul alamin (Tuhan semesta alam) yang dibawa oleh malaikat Jibril yang terpercaya untuk disampaikan ke dalam hati Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, agar Beliau memberikan peringatan. Kitab itu dengan bahasa Arab yang jelas, untuk semua manusia dalam hal yang mereka butuhkan baik berupa maslahat agama mereka maupun dunia. Kitab itu dibaca oleh lisan, tertulis di mus-haf-mus-haf dan dihapal dalam dada. Kitab itu tidak bisa dimasuki oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, turun dari Allah Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Sedangkan As Sunnah, isinya sabda-sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, perbuatannya dan taqrir (persetujuannya) terhadap suatu ucapan ataupun tindakan.
Sehingga, hukum-hukum syara’:
-        Bisa diambil langsung dari Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu yang berupa lafaz yang jelas yang tidak mengandung arti lain.
-        Bisa juga diambil melalui zhahirnya (yang tampak) [i] dari lafaz Al Qur’an dan As Sunnah yang memang menunjukkan demikian berdasarkan keumuman lafaz maupun makna.
-        Bisa juga diambil dari manthuq, yakni yang memang disebutkan dalam teks itu[ii].
-        Bisa juga diambil dari mafhumnya (yang tersirat/lawan dari manthuq), yaitu yang menunjukkan suatu hukum berdasarkan:
a.        Mafhum Muwafaqah, yaitu jika masalahnya sama dengan yang disebutkan[iii] atau bahkan melebihi[iv].
b.       Mafhum Mukhaalafah, yaitu jika kebalikannya atau yang bertentangan dengan yang di manthuq[v], bisa manthuqnya berupa sifat atau syarat jika ada syarat. Dan jika tidak ada sifat atau syarat itu, maka hukumnya pun dianggap tidak ada.
Dilalah (kandungan suatu kalimat) dalam Al Qur’an dan As Sunnah ada tiga macam:
-             Dilalah muthabaqah, yakni jika kita ratakan lafaz untuk semua makna[vi].
-             Dilalah tadhammun, yakni jika kita berdalih dengan suatu lafaz yang menunjukkan sebagian maknanya[vii].
-             Dilalah iltizam, yakni jika kita berdalih dengan lafaz Al Qur’an dan As Sunnah, sedangkan maknanya mengikutinya, menyempurnakannya dan menjadi syarat-syaratnya. Serta segala sesuatu yang mahkum fiih (perbuatan yang sudah dihukumi dengan salah satu dari lima hukum; wajib, sunat dsb.) atau yang diberitakan yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya[viii].
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Penerjemah: Marwan bin Musa
Maraji’: Risalah Lathifah Fi Ushulil Fiqh (Abdurrahman As Sa’diy), dll.


[i] Lafaz yang menunjukkan dua makna, tetapi ada makna yang lebih kuat, dan inilah yang didahulukan. Kita tidak beralih kepada makna yang kalah kuat kecuali ada dalil.  –pent.
[ii] Misalnya wajibnya shalat dan zakat diambil dari ayat “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” –pent.
[iii] Yakni Lahnul khithab. Contoh: Di dalam Al Qur’an kita dilarang memakan harta anak yatim secara zalim, maka sama dalam hal ini adalah menghilangkan harta mereka, merusaknya, dsb.
[iv] Yakni Fahwal khithab. Contoh: Di dalam Al Qur’an kita dilarang mengatakan kepada orang tua “Ah”, maka lebih dilarang lagi memaki orang tua, apalagi memukulnya.
[v] Seperti perintah memohonkan ampunan untuk orang-orang beriman dari ayat yang melarang memintakan ampunan untuk orang-orang musyrik. Demikian pula larangan durhaka kepada orang tua dari adanya perintah berbakti kepada orang tua, dsb.
[vi] Contoh: nama Allah Al Khaaliq (Allah Maha Pencipta), menunjukkan kepada dzat Allah, demikian juga menunjukkan sifat mencipta, ini disebut muthaabaqah (artinya: menunjukkan secara bersamaan), yakni nama tersebut menunjukkan kedua-duanya secara bersamaan.
[vii] Misalnya nama-Nya Al Khaaliq juga menunjukkan kepada masing-masingnya; dzat dan sifat mencipta, yakni nama Al Khaaliq ini sudah mengandung dzat dan mengandung sifat, inilah yang disebut tadhammun (artinya: terkandung dan sudah termasuk di dalamnya).
[viii] Gambaran Dilalah iltizam adalah pada kata “manusia” yang mana menunjukkan kesiapannya menerima pengetahuan, berbicara, dsb.
Contoh lainnya nama Allah Al Khaaliq menunjukkan adanya sifat ilmu (mengetahui) dan sifat qudrah (memiliki kemampuan), inilah yang disebjut iltizam (artinya: menghendaki demikian).

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger